BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

Utang Indonesia Dikritik, Ini Penjelasan Menkeu Sri Mulyani

Bareksa26 Maret 2018
Tags:
Utang Indonesia Dikritik, Ini Penjelasan Menkeu Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan kepada media tentang Realisasi APBN Per Januari 2018 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selesa (20/2). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa

Bareksa.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) angkat bicara terkait sejumlah pihak yang mempermasalahkan perihal utang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, orang nomor satu di Kemenkeu yakni Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa utang tersebut dilakukan sangat hati-hati dengan melihat kondisi perekonomian terkini.

Ani, sapaan akrabnya mengatakan perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa. Dikatakan luar biasa dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya.

"Perhatian elit politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang tentu sangat berguna bagi Menkeu selaku pengelola keuangan negara untuk terus menjaga kewaspadaan agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan," kata Ani, di Jakarta, pekan lalu.

Promo Terbaru di Bareksa

Namun, lanjutnya, semua pihak perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang membuat masyarakat menjadi tidak produktif. Kecuali kalau memang tujuan mereka dari masalah utang adalah guna membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu.

"Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," tegas Ani

Dalam hal ini, Ani menegaskan, utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan.

Misalnya, tambahnya, sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara.

Hasil revaluasi aset 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.

"Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang," tuturnya.

Ani menambahkan mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur juga kurang memahami dua hal. Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di kementerian/lembaga pemerintah pusat, namun juga dilakukan oleh pemerintah daerah.

Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua pemerintah daerah mematuhinya.

Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

"Oleh karena itu, pernyataan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya adalah kesimpulan yang salah," tuturnya.

Selain melihat neraca, kata Ani, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.

Defisit APBN 2016 yang dikhawatirkan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga Rp167 triliun. Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi. Demikian juga di 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2,5 persen.

"Di 2018 ini target defisit kembali menurun menjadi 2,19 persen PDB. Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap naik," ungkapnya.

Demikian juga, tambah Ani, dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer, pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable.

"Untuk 2018, pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Di 2019 dan ke depan kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus," ujarnya.

Tidak hanya itu, lanjut Ani, kebijakan utang dalam APBN juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.

"Bagi mereka yang menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan pemerintah," tegas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Di sisi lain, Ani menilai, disiplin fiskal tidak berarti kita menjadi ketakutan dan panik atau bahkan menjadi alergi terhadap instrumen utang. Semua pihak harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan. Utang bukan satu-satunya instrumen kebijakan.

Menurutnya ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak dan cukai serta penerimaan bukan pajak, instrumen belanja dan alokasinya, kebijakan perdagangan dan invetasi, kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan desentralisasi dan transfer ke daerah.

"Semua instrumen kebijakan tersebut sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan, memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan. Semua kebijakan ini juga harus sama-sama bekerja secara efektif dan keras untuk mencapai tujuan nasional," kata Ani.

Bahkan, masih kata Ani, banyak langkah-langkah tersebut termasuk pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial baru akan menuai hasil pada jangka menengah. Misalnya, perbaikan kurikulum pendidikan, baru akan terlihat saat anak-anak menyelesaikan proses pendidikan (12 tahun untuk SMA dan vokasi, serta 16 tahun untuk hasil pendidikan tinggi).

Kritikan bahwa banyak yang dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil memuaskan saat ini, kata Ani, jelas tidak mempertimbangkan mengenai berapa lama proses suatu kebijakan dan proses konstruksi infrastruktur baru akan menuai hasil.

Pemerintah, menurutnya, setuju dengan anjuran bahwa kita perlu meningkatkan efektivitas kebijakan, mempertajam berbagai pilihan dan prioritas kebijakan dan memperbaiki tata kelola serta proses perencanaan, serta terus memerangi korupsi agar setiap instrumen kebijakan dapat menghasilkan dampak positif yang nyata dan cukup cepat.

Oleh karena itu, tambah Ani, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. Kita juga tidak akan mampu melihat permasalahan dan potensi ekonomi Indonesia.

"Lebih buruk, kita dapat mengerdilkan pemikiran dan menakut-nakuti masyarakat untuk tujuan negatif bagi bangsa kita sendiri. Itu bukan niat terpuji tentunya. Sekali lagi, apa yang disampaikan oleh berbagai pihak yang peduli mengenai utang pada dasarnya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah," pungkasnya. (K03/hm)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.314,44

Up0,08%
Up3,33%
Up0,02%
Up5,55%
Up18,27%
-

Capital Fixed Income Fund

1.769,29

Up0,54%
Up3,38%
Up0,02%
Up6,86%
Up17,32%
Up43,94%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.748,07

Down- 0,93%
Up3,17%
Up0,01%
Up3,84%
Up18,21%
Up46,65%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.036,37

Down- 0,18%
Up1,84%
Up0,01%
Up2,73%
Down- 2,13%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

Produk baru

1.034,65

Up0,48%
-
Up0,03%
---

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua