Upaya Jaga Volatilitas Pasar: Auto Reject Hingga Buyback, Efektifkah?
Return IHSG year to date minus 20,34 persen

Return IHSG year to date minus 20,34 persen
Bareksa.com - Regulator pasar modal menerapkan sejumlah strategi dalam menghadapi volatilitas market. Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan sistem penolakan otomatis (auto rejection) yang lebih ketat menahan kejatuhan lebih dalam. Sementara Otoritas Jasa Keuangan memperbolehkan emiten membeli kembali saham perseroan (buyback) tanpa rapat pemegang saham.
Kedua kebijakan tersebut terbit di saat indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah jatuh 20,34 persen sejak awal tahun hingga 24 Agustus 2015. Indeks acuan saham-saham Indonesia ini kemarin ditutup di level 4.163,73. Sementara investor asing sudah keluar Rp17,87 triliun sejak awal tahun.
Sementara itu, sentimen global masih kurang mendukung akibat perlambatan ekonomi China sehingga bank sentralnya mengambil kebijakan devaluasi yuan. Hal itu pun menekan nilai tukar rupiah terhadap menembus 14.000 per dolar AS. Di sisi lain, Federal Reserve belum memastikan kapan akan menaikkan suku bunga acuan.
Promo Terbaru di Bareksa
Dengan kondisi tersebut, efektifkah dua kebijakan yang dilakukan oleh regulator saat ini?
Aturan auto rejection sama-sama masih berlaku untuk tiga kelompok harga dengan kisaran batas atas dan batas bawah yang berbeda-beda. Harga di bawah Rp50 per saham juga akan otomatis ditolak oleh sistem pada kedua aturan ini. Namun, bedanya adalah aturan baru membatasi penurunan hanya 10 persen dari harga acuan yang berlaku untuk tiga kelompok harga. Hal tersebut membatasi penurunan harga saham untuk tidak jatuh terlalu dalam.
Tabel Perbandingan Aturan Auto Rejection Lama dan Baru

Sumber: BEI
Aturan baru ini sudah mulai berlaku sejak hari ini (Selasa, 25 Agustus 2015). Sudah ada enam saham yang terkena batas bawah auto rejection hari ini. Meskipun demikian, nilai transaksi dari masing-masing emiten tersebut tergolong kecil karena tidak mencapai Rp1 miliar dalam sehari ini.
Keenam emiten tersebut adalah PT Sidomulyo Selaras Tbk/SDMU (Rp144), PT Gowa Makassar Tourism Development/ GMTD (Rp8.550), PT Modern Internasional Tbk/MDRN (Rp225), PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk/SDRA (Rp1.080), PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk/DGIK (Rp63), dan PT Surya Esa Perkasa Tbk/ESSA (Rp1.710)
Pengamat pasar modal Satrio Utomo menilai bahwa aturan yang baru berlaku tersebut memang terlihat mampu membendung penurunan harga saham. Namun, efek psikologisnya tidak terlalu bagus.
"Secara kasat mata, potensi koreksi makin kecil. Akan tetapi kalau pasar turun, bisa terjadi domino effect yang menularkan auto rejection. Kalau kena saham big cap, efeknya akan lebih besar," katanya ketika dihubungi Bareksa.com
Dia menjelaskan analogi seorang fund manager ketika sedang menghadapi krisis. Bila nasabah melakukan redemption, mau tidak mau sang manajer investasi harus melepas posisi di saham untuk mencairkan dana. Bila satu saham sudah terkena auto rejection, terpaksa harus melepas posisi di saham lain. Bila saham kedua juga terkena auto rejection dan dana belum terkumpul, dia harus kembali melepas saham ketiga dan begitu seterusnya.
Selain itu, dia mengkhawatirkan kondisi pasar seperti tahun 2008 ketika IHSG anjlok terkena sentimen subprime mortgage di AS. Sejumlah saham, termasuk BUMI terkena auto rejection sehingga tidak bisa diperdagangkan sementara. Dampaknya, transaksi di bursa menjadi mandek karena sejumlah saham tidak bergerak. "Saham tidak bergerak, tidak ada transaksi. Kalau tidak ada transaksi, tidak ada fee untuk broker. Broker jadi tidak bisa makan," katanya.
Pembatasan auto rejection ini, menurut Satrio, belum jelas terbukti efektivitasnya. Oleh sebab itu, dia pun memperingatkan kemungkinan munculnya domino effect pada penolakan otomatis transaksi saham itu akan membuat pasar makin kacau, dan orang makin panik.
Buyback Saham
Di sisi lain, OJK juga mengizinkan emiten untuk melakukan buyback tanpa RUPS saat pasar sedang tidak normal. Bahkan, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan siap melakukan buyback Rp10 triliun untuk emiten plat merah. Namun, dia tidak memberi detail terkait sumber dana dan jangka waktu pembelian saham.
Satrio berkomentar bahwa buyback emiten ini hanya efektif untuk menjaga saham agar tidak turun terlalu dalam, tetapi tidak untuk mendorong harga bergerak naik. Dia pun mempertanyakan sumber dana BUMN tersebut untuk melakukan aksi buyback. "Krisis ini masih lama. Kalau kita tidak melakukan dengan strategi benar, takutnya peluru sudah habis sebelum krisis selesai."
Menanggapi dorongan pemerintah untuk melakukan buyback, tidak semua BUMN memiliki kesiapan dana. Contohnya, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang tahun ini harga sahamnya sudah anjlok lebih dari 50 persen ke Rp7.200 pada penutupan kemarin.
Direktur Utama SMGR Suparni mengatakan belum memutuskan untuk buyback, apalagi mempersiapkan dananya. Baca juga: Kenapa Banyak BUMN Masih Keberatan Lakukan Buyback? Ini Datanya
Aksi pembelian saham oleh emiten di pasar, terlihat tidak dapat mendorong kinerja IHSG. Pada 2013, OJK juga menerbitkan aturan serupa yaitu emiten boleh melakukan buyback tanpa RUPS. Sejumlah BUMN pun menyambut aturan tersebut dan segera mengeksekusinya di pasar. Baca juga: IHSG 2013 vs 2015; Perlukah Emiten Buyback Saham?
Grafik Pergerakan IHSG 2013

Sumber: Bareksa.com
IHSG pada 2013 sempat menyentuh titik tertinggi 5.214,98 pada 20 Mei. Akan tetapi, IHSG tidak dapat bertahan dan terus turun hingga pada 27 Agustus menyentuh 3.967,84, level terendah pada 2013. Jika dilihat dari titik tertinggi, penurunan sudah mencapai 24 persen. Oleh sebab itu, pada 28 Agustus OJK pun memperbolehkan emiten melakukan buyback saham tanpa RUPS.
Tidak lama berselang setelah keputusan OJK itu, IHSG pun kembali rebound hingga mencapai 4.670,73 pada 19 September 2013. Akan tetapi, hingga akhir tahun indeks tidak dapat melaju lebih kencang lagi dan hanya bertengger di 4274,18 pada 30 Desember. Pada tahun 2013, IHSG pun membukukan return negatif 1 persen.
Salah satu emiten BUMN yang melakukan buyback pada 2013 adalah PT Pertambangan Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA). Saham PTBA sudah jatuh 41,12 persen dari Rp16.900 pada 3 Januari 2013 ke Rp9.950 pada 31 Juli 2013. Perseroan melakukan buyback dari 13 September hingga Desember 2013. Hasilnya, pada 30 Desember 2013, harga saham PTBA ditutup di Rp10.200 dan masih memberikan return minus 32,45 persen sepanjang tahun.
Grafik Pergerakan Saham PTBA 2013

Sumber: Bareksa.com
Selain BUMN, konglomerasi swasta juga tertarik untuk menahan laju sahamnya dari kejatuhan mendalam. Salah satunya adalah Grup MNC yang dikendalikan oleh taipan Hary Tanoedoedibjo. Baca juga: Berapa Lama Aksi Buyback Grup MNC Bisa Jaga Harga Saham?
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
| Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Obligasi Nusantara autodebet | 1.200,15 | ||||||
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.180,3 | - | - | ||||
Syailendra Sharia Fixed Income Fund Kelas A | 1.150,95 | - | - | ||||
Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A | 1.033,2 | - | - | - | - | - |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.