Apa yang mau kamu cari?
Kamu bisa mulai dari nama produk investasi atau topik tertentu.
Kamu bisa mulai dari nama produk investasi atau topik tertentu.
Direktur Utama Adhi Karya tegas menyatakan tidak akan melakukan buyback saham. Kenapa?
Direktur Utama Adhi Karya tegas menyatakan tidak akan melakukan buyback saham. Kenapa?
Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan dan juga Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah merestui para emiten dan BUMN melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dulu. Izin ini dikeluarkan dengan tujuan menjaga harga saham emiten dan BUMN pada nilai yang wajar. (Baca juga: POLICY FLASH: Rini Dorong 13 BUMN Buyback Rp10 Triliun)
Tapi sejumlah BUMN justru berkeberatan melakukan buyback. Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk (ADHI) Kiswodharmawan kepada Bareksa dengan tegas menyatakan perseroan tidak akan menempuh langkah itu. Alasannya, ADHI saat ini membutuhkan dana lebih untuk kegiatan bisnis.
ADHI memang sedang melakukan proses rights issue untuk membiayai proyek Light Rail Transit (LRT) dan menargetkan mendapatkan dana segar Rp2,7-4,3 triliun. "Kami tidak akan buyback. Kami kan akan rights issue," katanya.
Emiten konstruksi pelat merah lainnya, PT Waskita karya Tbk. (WSKT), juga mengatakan masih menimbang-nimbang untuk buyback. Corporate Secretary WSKT Anton Nugroho mengungkapkan hingga saat ini belum ada instruksi yang clear untuk melakukan itu. "Kemungkinan ada, tetapi kami tetap menunggu arahan," katanya.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Arif Wibowo kepada Bareksa, Selasa 25 Agustus 2015 mengungkapkan Garuda masih berkoordinasi dengan Kementerian BUMN terkait langkah ini. "Kami ini perusahaan publik, jadi harus mengikuti aturan main," ujarnya. ”Proses itu juga harus melalui pemegang saham lainnya, selain Kementerian BUMN.”
Berdasarkan catatan Bareksa, secara year-to-date (YTD) banyak saham BUMN anjlok di atas 30 persen. Bahkan dari 20 BUMN, hanya satu yang harganya masih meningkat dibanding awal tahun, yakni PT Waskita Karya Tbk (WSKT).
Sementara itu, Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) Suparni kepada Bareksa pun menyatakan belum akan melakukan buyback walaupun saham SMGR sudah amblas hampir 50 persen semenjak awal tahun. "Kami belum memutuskan untuk buyback, kami akan pelajari dulu perkembangannya," ujarnya.
Suparni mengatakan Semen Gresik belum mengetahui apakah ada dana yang tersedia untuk keperluan itu. Terlebih dahulu, ia harus menggelar rapat dengan para anggota direksi lain sebelum mengambil keputusan. "Mestinya kalau dari sisi harga yang turun hampir 50 persen memang sudah, tetapi kami belum memutuskan apa-apa."
Grafik: Presentase Perubahan Harga Saham BUMN YTD
Sumber: Bareksa
Kenapa enggan?
Berdasarkan data yang dianalisis Bareksa, terlihat bahwa sejumlah BUMN memiliki ketersediaan kas yang negatif. Free cash flow (FCF) atau arus kas bebas merupakan salah satu indikator yang menunjukkan seberapa besar kas yang dimiliki perusahaan setelah dikurangi dengan kebutuhan utama, yakni belanja modal (capital expenditure).
Grafik: Free Cash Flow BUMN
Sumber: Bareksa
FCF terbesar hanya dimiliki PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) sebesar Rp5,1 triliun. Di luar itu, BUMN yang masih memiliki posisi kas yang cukup besar adalah BUMN di sektor perbankan. Di antaranya PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp72 triliun, PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Rp67 triliun, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp33 triliun, dan BBTN Rp10 triliun.
Sementara itu, sejumlah perusahaan BUMN lain -- terutama di bidang infrastruktur -- seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT PP Tbk (PTPP), dan PT Adhi Karya Tbk memiliki FCF negatif.
Mepetnya cash flow BUMN tidak terlepas dari rencana besar pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur pada 2015. Semakin banyak proyek yang akan dikerjakan BUMN, maka semakin besar juga kas yang mereka butuhkan. Walhasil, jika buyback tetap dipaksakan, maka proyek infrastruktur terpaksa dikorbankan.
Grafik: Price to Book Value (PBV) BUMN
Sumber: Bareksa
Akan tetapi, di sisi lain, jika dilihat dari valuasinya, harga saham beberapa perusahaan BUMN memang sudah terlalu rendah dan perlu ditopang aksi buyback. Data yang dihimpun Bareksa menunjukkan bahwa saham sejumlah BUMN diperdagangkan pada harga yang lebih rendah dibandingkan nilai bukunya (book value).
Grafik di atas menunjukkan beberapa perusahaan BUMN yang memiliki nilai price to book value (PBV) di bawah 1 kali. PBV dihitung dengan membandingkan harga saham terhadap nilai buku per saham. PBV di bawah satu kali menunjukkan harga yang sudah lebih rendah daripada nilai buku perusahan itu sendiri. (np, kd)
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Obligasi Nusantara autodebet | 1.186,7 | ||||||
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.168,55 | - | - | ||||
Syailendra Sharia Fixed Income Fund | 1.138,7 | - | - | ||||
Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A | 1.018,22 | - | - | - | - | - |
ORI028T3
obligasi negara ritel
Imbal Hasil/Th
5,35%
Periode Pembelian
Berakhir dalam 15 hari
Jangka Waktu
3 tahun
Terjual 20%
ORI028T6
obligasi negara ritel
Imbal Hasil/Th
5,65%
Periode Pembelian
Berakhir dalam 15 hari
Jangka Waktu
6 tahun
Terjual 11%
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.