BI Naikkan Suku Bunga Acuan 25 Bps Jadi 5,75 Persen, Ini Pertimbangannya
Kenaikan BI 7 day Reverse Repo Rate merupakan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman

Kenaikan BI 7 day Reverse Repo Rate merupakan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman
Bareksa.com - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility 25 bps menjadi 5 persen, dan suku bunga Lending Facility 25 bps menjadi 6,5 persen.
Dengan adanya keputusan tersebut, sejak Januari 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 basis poin atau sudah lima kali kenaikan.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Juga untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga semakin memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Promo Terbaru di Bareksa
Keseriusan dan langkah-langkah konkret pemerintah bersama BI untuk mendorong ekspor dan menurunkan impor diyakini akan berdampak positif dalam menurunkan defisit transaksi berjalan khususnya pada 2019 yang diperkirakan akan menjadi 2,5 persen dari PDB.
“BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. Ke depan, BI akan mencermati perkembangan perekonomian seperti defisit transaksi berjalan, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan, dan inflasi untuk menempuh langkah lanjutan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” ujar Perry di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Untuk memperkuat stabilitas rupiah, kenaikan suku bunga tersebut juga didukung oleh kebijakan untuk memberlakukan transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF) dalam rangka mempercepat pendalaman pasar valas serta memberikan alternatif instrumen lindung nilai bagi bank dan korporasi.
Transaksi DNDF adalah transaksi forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara netting dalam mata uang rupiah di pasar valas domestik. Kurs acuan yang digunakan adalah JISDOR untuk mata uang dolar AS terhadap rupiah dan kurs tengah transaksi BI untuk mata uang non dolar AS terhadap rupiah.
“Transaksi DNDF dapat dilakukan oleh bank dengan nasabah dan pihak asing untuk lindung nilai atas risiko nilai tukar rupiah, dan wajib didukung oleh underlying transaksi berupa perdagangan barang dan jasa, investasi dan pemberian kredit bank dalam valas,” kata dia.
Ketidakpastian Ekonomi Global
Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi global semakin tidak merata dan disertai ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih tinggi. Ekonomi AS diperkirakan tetap kuat didukung akselerasi konsumsi dan investasi, dan dibarengi tekanan inflasi yang tetap tinggi.
Sesuai dengan perkiraan, The Fed menaikkan suku bunga kebijakan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 bps menjadi 2 - 2,25 persen sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneternya.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging market dan Eropa diperkirakan lebih rendah dari perkiraan. Ekonomi Jepang dan Tiongkok bahkan cenderung menurun. Ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi global tersebut tidak terlepas dari ketegangan perdagangan antara AS dengan sejumlah negara lain.
Tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global juga mendorong para investor menempatkan dananya di aset-aset yang dianggap aman, khususnya di AS.
“Berbagai perkembangan tersebut pada gilirannya mengakibatkan dolar AS terus menguat yang kemudian mendorong aliran modal keluar dari negara-negara emerging market dan akhirnya menekan banyak mata uang negara berkembang,” ucap dia.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, kata Perry, masih sesuai perkiraan terutama ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi tetap kuat didukung perbaikan pendapatan dan belanja terkait pemilu. Investasi diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi ditopang baik investasi bangunan, terkait proyek infrastruktur dan properti, maupun investasi nonbangunan.
Namun, pertumbuhan ekspor diperkirakan masih terbatas seiring ekspor pertanian yang masih lemah sedangkan ekspor manufaktur membaik didukung subsektor kimia serta besi dan baja. Sementara itu, impor tetap tinggi dipengaruhi permintaan domestik yang tetap kuat, termasuk investasi yang mendorong impor barang modal tetap tinggi.
“Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2018 diperkirakan masih dalam kisaran 5,0-5,4 persen dan akan meningkat menjadi 5,1-5,5 persen pada tahun 2019,” kata dia.
Perry melanjutkan, neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2018 mencatat defisit. Neraca perdagangan mencatat defisit US$1,02 miliar pada Agustus 2018, menurun dibandingkan dengan defisit neraca perdagangan bulan sebelumnya US$2,01 miliar. Defisit neraca perdagangan tersebut terutama disebabkan peningkatan impor migas, terutama impor minyak mentah.
Sementara itu, neraca perdagangan nonmigas kembali mengalami surplus seiring dengan menurunnya impor nonmigas, seperti impor mesin dan pesawat mekanik, besi dan baja, kendaraan dan bagiannya, bahan kimia organik, serta plastik dan barang dari plastik. Namun secara umum permintaan impor nonmigas masih tetap kuat sejalan dengan permintaan domestik yang masih tinggi.
Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit US$4,09 miliar. Dari kondisi ini, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat cukup tinggi US$117,9 miliar pada akhir Agustus 2018 atau setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan depresiasi dengan volatilitas terjaga. Depresiasi rupiah sejalan dengan mata uang negara peers akibat berlanjutnya penguatan dolar AS secara luas.
Rupiah secara rata-rata melemah 1,05 persen pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp14.905 per dolar AS.
Dengan perkembangan ini maka secara year to date (ytd) sampai dengan 26 September 2018, rupiah terdepresiasi 8,97 persen atau lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki.
Ke depan, BI terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.
Kebijakan tersebut diarahkan untuk menjaga volatilitas rupiah serta kecukupan likuiditas di pasar sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Angka Inflasi
Inflasi tetap terkendali pada level yang rendah dan stabil di mana Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi 0,05 persen (mtm) pada Agustus 2018, setelah pada Juli 2018 mencatat inflasi 0,28 persen (mtm).
Inflasi yang terkendali pada Agustus 2018 terutama bersumber dari deflasi kelompok volatile food dan administered prices, serta ditopang melambatnya inflasi inti. Dengan perkembangan tersebut, inflasi secara tahunan mencapai 3,2 persen (yoy), relatif stabil dibandingkan kondisi pada bulan sebelumnya sebesar 3,18 persen (yoy).
Kelompok volatile food mencatat deflasi seiring koreksi harga beberapa komoditas pangan. Kelompok administered prices kembali mengalami deflasi terutama karena koreksi tarif angkutan udara.
Inflasi inti tetap terkendali 0,3 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya 0,41 persen (mtm). Terkendalinya inflasi inti tidak terlepas dari konsistensi kebijakan BI dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, termasuk dalam menjaga pergerakan nilai tukar sesuai fundamentalnya.
“Ke depan, inflasi diperkirakan tetap berada pada sasaran inflasi 2018, yaitu 3,5 persen ±1 persen (yoy),” papar dia.
Stabilitas Sistem Keuangan
Kemudian dari sisi stabilitas sistem keuangan, saat ini tetap terjaga disertai intermediasi perbankan yang membaik dan risiko kredit yang terjaga. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga tercermin pada rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan yang tinggi mencapai 22,5 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) yang masih aman yaitu 19,8 persen pada Juli 2018.
Selain itu, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) tetap rendah yaitu 2,7 persen (gross) atau 1,3 persen (net). Stabilitas sistem keuangan yang terjaga berkontribusi positif pada perbaikan fungsi intermediasi perbankan.
Pertumbuhan kredit pada Juli 2018 tercatat 11,3 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya 10,8 persen (yoy). Adapun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juli 2018 terjaga 6,9 persen (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya 7 persen (yoy).
Sementara pada nonbank, pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, melalui penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) selama Januari - Juli 2018 tercatat Rp133,2 triliun (gross). Angka itu turun dibandingkan dengan periode yang sama 2017 sebesar Rp163,9 triliun.
Dengan perkembangan tersebut, BI memperkirakan pertumbuhan kredit 2018 masih berada dalam kisaran proyeksi 10-12 persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan tahun 2017 yang sebesar 8,2 persen (yoy).
Adapun pertumbuhan DPK diperkirakan akan mengalami pelambatan dibandingkan dengan capaian 2017 sebesar 9,4 persen (yoy) namun masih berada dalam kisaran 8-10 persen (yoy).
Upaya Menjaga Rupiah
Research Analyst FXTM, Lukman Otunuga, menilai kenaikan kembali suku bunga acuan BI merupakan bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas kurs rupiah dan meredam arus modal keluar.
Meski begitu, kata Lukman, kurs rupiah masih tetap menghadapi tantangan dan tekanan dari faktor eksternal. Dengan memanasnya tensi perang dagang oleh AS dan prediksi kenaikan kembali Fed Funds Rate pada Desember, maka mata uang negara berkembang termasuk rupiah akan berpeluang tertekan.
"Namun dengan putusan BI kembali menaikkan suku bunga hari ini, maka memberikan ruang lebih longgar bagi rupiah, juga bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi," ujarnya Lukman dalam keterangan tertulisnya.
(K09/AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
| Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Obligasi Nusantara autodebet | 1.202,74 | ||||||
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.182,32 | - | - | ||||
Syailendra Sharia Fixed Income Fund Kelas A | 1.152,7 | - | - | ||||
Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A | 1.045,13 | - | - | - | - | - |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.