Survei : Apakah Dana Asing Keluar Rp 24,8 Triliun Akibat Isu Sentimen Anti Cina?
Jika ada isu sentimen anti Cina maka rupiah dan obligasi bisa hancur

Jika ada isu sentimen anti Cina maka rupiah dan obligasi bisa hancur
Bareksa.com- Isu soal radikalisme dan ancaman konflik berbasis suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dinilai makin merebak akhir-akhir ini. Berdasarkan artikel yang dilansir Financial Times, 14 Agustus 2017, kekhawatiran menguatnya sentimen anti Cina telah mengakibatkan beberapa pebisnis hengkang kemudian memarkir dananya di Singapura. Sebab mereka mulai khawatir peristiwa kelam yang menimpa etnis Tionghoa pada 1998 silam bakal terulang.
Di sisi lain, dalam beberapa waktu terakhir arus dana asing keluar memang terjadi di pasar saham Indonesia. Tercatat sejak 26 Mei 2017 hingga 14 Agustus, dana asing yang keluar mencapai Rp 24,8 triliun. Pada 26 Mei merupakan jumlah terbesar dana asing yang ditempatkan di pasar saham Indonesia sepanjang tahun ini. Saat itu jumlah dana asing mencapai Rp 181,58 triliun, dan kemudian terus menurun hingga pada 14 Agustus dana asing yang tersisa sebesar Rp 156,78 triliun.
Benarkah dana asing yang mulai keluar dari pasar saham Indonesia tersebut akibat isu radikalisme dan sentimen anti Cina yang dinilai mulai mengkhawatirkan oleh investor? Bareksa melakukan survei kepada beberapa petinggi perusahaan manajemen aset dan pelaku bisnis. Simak hasilnya berikut ini;
Promo Terbaru di Bareksa
Jika Ada Sentimen SARA Maka Rupiah Bisa Hancur
Direktur Avrist Asset Management, Hanif Mantiq menilai keluarnya dana asing dari pasar Indonesia bukanlah akibat isu sentimen anti Cina. Melainkan investor menilai kondisi ekonomi Indonesia tidak sebaik yang diperkirakan. Sebab jika sentimen ras dan agama ini terjadi, maka dampaknya akan sangat besar. “Kalau ada sentimen SARA, maka bond (obligasi) akan hancur dan rupiah juga hancur,” ujarnya kepada Bareksa, 15 Agustus 2017.
Menurut Hanif saat ini kurs rupiah stabil di angka Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat. Kinerja pasar obligasi sebagai indikator untuk mengukur dana asing juga meningkat. Saat ini pasar obligasi tumbuh dari sebelumnya Rp 660 triliun menjadi Rp 780 triliun. Dari angka itu kepemilikan asing di obligasi Indonesia turut meningkat dari sebelumnya 37,5 persen menjadi 39,3 persen.
“Kalau ada sentimen SARA, asing lebih mudah kabur dari rupiah. Obligasi untuk tenor 10 tahun yieldnya di level 6,9 persen dan secara year to date net buy asing masih Rp 4 triliun,” ungkapnya.
Investor Perlu Kepastian Hukum
Senada, Chairman of Indonesia Chamber of Commerce in China (Inacham), Liky Sutikno, menilai apa yang menjadi perhatian investor adalah kepastian hukum. Sebab dalam prinsip investasi, dana akan mengalir ke tempat di mana bisa mendatangkan keuntungan tertinggi dan risiko terendah. “Jadi kalau ada sentimen apapun yang dianggap berisiko tinggi maka dana tersebut akan keluar,” ungkapnya kepada Bareksa.
Menurut Liky, investor tidak akan memutuskan hengkang jika hanya karena isu sentimen anti Cina, melainkan lebih melihat stabilitas negara secara keseluruhan. Jika dibandingkan Malaysia yang negara kecil namun mampu menarik investasi asal Cina dalam jumlah lebih besar dan lebih cepat dari Indonesia, karena Negeri Jiran menjanjikan kepastian hukum. “Jadi harus tegas penegakkan hukumnya. Kalau hukumnya nggak boleh, maka harus ditegakkan. Bukan karena tekanan massa terus berubah. Hukum harus konsisten,” katanya.
Liky menyatakan jika hukum diputarbalikkan, maka akan memunculkan ketidakjelasan dan tidak transparan. Kondisi itu menimbulkan ketidakpastian dan dinilai investor sebagai risiko tinggi. “Jadi dalam konteks ini, kalau ada sentimen anti Cina namun dibolehkan secara hukum ya tidak masalah, investasi pasti jalan. Tapi kalau nggak diperbolehkan hukum namun dibiarkan, nah ini jadi masalah atau risiko, sehingga mendorong terjadinya arus dana keluar,” ujarnya.
Liky menegaskan dari sisi hukum Indonesia sudah bagus di mata investor. Namun dari sisi interpretasi dan eksekusi di lapangan yang terkadang masih membingungkan investor. “Kondisi itu memberikan sinyal negatif ke investor. Maka konsistensi dan kepastian hukum adalah sangat penting bagi investasi,” ungkapnya.
Peran Ormas Nahdlatul Ulama
Direktur Sinarmas Asset Management, Jamial Salim menyatakan bahwa kekhawatiran arus dana asing keluar karena isu sentimen anti Cina terlalu berlebihan. Sebab mayoritas Muslim atau organisasi masyarakat Muslim terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) justru sangat nasionalis. “NU juga bisa mengayomi semua lapisan masyarakat,” katanya kepada Bareksa.
Menurut Jamial, investor tetap melihat optimistis terhadap Indonesia. Mereka juga mendukung program-program pemerintah meskipun ada juga investor yang mengambil posisi ambil untung (profit taking) dari pasar modal Indonesia. “Kita sudah belajar dari pengalaman masa lalu (kasus 1998) yang sangat berharga,” ujarnya.
Adapun Direktur Utama Capital Asset Management, Yo Hendrik enggan mengomentari soal isu sentimen anti Cina yang dinilai mengakibatkan arus dana asing keluar. Dia hanya menekankan bahwa stabilitas politik sangat diperlukan untuk mendukung investasi.
Arus Dana Asing Keluar
Berdasarkan pantauan Bareksa, sejak 26 Mei 2017 yang merupakan puncak tertinggi arus dana asing, setelah itu dana asing bertahap mulai keluar hingga 14 Agustus 2017 mencapai Rp 24,8 triliun. Namun jika ditarik sejak awal tahun asing masih tercatat naik Rp 3,64 triliun. Selengkapnya seperti dalam grafik berikut;
Grafik: Arus Dana Asing Secara Year to Date (YTD)

Sumber: Bareksa.com
Keluarnya asing dari pasar saham Indonesia sejak akhir Mei 2017 di antaranya karena kekhawatiran terhadap kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS). Sejak akhir Mei isu soal kenaikan Fed Fund Rate mulai marak dan ternyata Fed Rate memang naik pada Juni 2017.
Sebelum Hasil rapat Bank Sentral AS (The Fed) diputuskan. Asing telah banyak memindahkan asetnya dari pasar modal ke investasi emas sebagai aset aman atau safe haven.
Grafik: Pergerakan Harga Emas Secara Year to Date (YTD)

Sumber: Bareksa.com
Lalu pada 14 Juni 2017, benar saja The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) sebesar 25 basis poin. Dengan begitu, kini suku bunga acuan terbaru AS menjadi 1 - 1,25 persen.
Defisit Anggaran Melebar
Selain itu rencana pemerintah Indonesia untuk melebarkan defisit anggaran direspons negatif pelaku pasar yang tercermin dari pelemahan rupiah serta obligasi dalam beberapa hari terakhir.
Pada 7 Juli 2017, nilai tukar rupiah menembus level Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat (AS), level tertinggi sejak pekan awal Januari 2017. Padahal di awal Juni 2017, nilai tukar rupiah sempat menguat hingga di bawah level Rp 13.300 setelah lembaga rating internasional, S&P menaikkan rating utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade). (Baca juga: Indonesia Dapat Rating Upgrade S&P, Ini 4 Faktor Ekonomi Pendorongnya)
Grafik: Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar Amerika

Sumber: Bareksa.com
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017, pemerintah berencana untuk meningkatkan defisit anggaran menjadi 2,67 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sebelumnya 2,41 persen dalam APBN 2017.
Namun pada skenario terburuk, defisit berpotensi mencapai 2,92 persen. Angka ini tentu mendekati batas anggaran yang diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2003 yaitu 3 persen dari PDB.
Kekhawatiran pun muncul dari pelaku pasar karena Indonesia belum pernah mengalami pembengkakan defisit sejak krisis dan periode pemulihannya yakni antara 1998 - 2001.
Grafik: Defisit APBN Terhadap PDB Indonesia Periode 1998 - 2016

Sumber: Kementerian Keuangan, diolah Bareksa.com
Melebarnya defisit anggaran juga dikhawatirkan akan membebani pembiayaan pemerintah yang berakibat pada pelemahan harga obligasi pemerintah. Hal ini tercermin dari pergerakan yield benchmark obligasi pemerintah 10 tahun. Yield obligasi kembali ke level 7 persen, padahal sebelumnya sempat membaik di bawah level 7 persen.
Sayangnya penjualan obligasi ini juga memicu keluarnya dana investor asing dari Indonesia. Pada obligasi pemerintah, dana investor asing yang keluar berkisar Rp 8 triliun sementara di pasar saham sekitar Rp 2,3 triliun. Inilah yang menjadi salah satu pendorong melemahnya nilai tukar rupiah.
Di samping itu data neraca perdagangan Juni 2017 yang baru saja dirilis memiliki hasil yang kurang cemerlang, di mana angka ekspor dan impor juga turun. Belum lagi indeks manufaktur Indonesia juga turun di bawah 50 dan perkiraan Bank Indonesia (BI) terhadap ekonomi di kuartal II 2017 diperkirakan akan berada di bawah target BI.
Grafik: Pergerakan Yield Obligasi Pemerintah 10 Tahun

Sumber: Bareksa.com
***
Laporan Financial Times
Sebelumnya Financial Times memberitakan bahwa di tengah meningkatnya ketegangan etnis, salah satu tokoh Tionghoa Indonesia yang diketahui sebagai mantan Head of Research, PT Bahana Securities, Harry Su memutuskan untuk tinggal di Singapura.
Financial Times menulis, Harry mencontohkan kekhawatiran yang dirasakan oleh orang tuanya setelah Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok, Gubernur etnis tionghoa dan beragama Kristen di Jakarta, dipenjara karena dianggap menistakan agama saat kampanye pemilihan dan beragumen mengenai umat Islam bebas memilih seorang non-Muslim.
Cara menjatuhkan Ahok dianggap membuka kembali luka lama di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini, mendorong beberapa orang etnis Tionghoa Indonesia untuk mempertanyakan tempat mereka di negara ini. Kondisi ini memicu kekhawatiran investor menghadapi ekonomi terbesar di Asia Tenggara. "Ini adalah isu yang sangat sensitif mengenai ras dan agama, dan butuh waktu lama untuk memperbaikinya," kata Harry.
Menurut Harry, beberapa teman dan keluarganya menempatkan semua aset cadangannya di pasar modal. Mereka ingin menjualnya dan membeli dolar AS atau mata uang asing lainnya. Bahkan Douglas Ramag, Managing Director for Indonesia, Bower Group Asia memberi saran kepada investor asing mengenai risiko politik di Indonesia.
Ketika dikonfirmasi Bareksa, Harry Su membenarkan wawancaranya dengan Financial Times tersebut. Namun manajemen Bahana Securities menolak memberikan tanggapan karena laporan tersebut bersifat pandangan pribadi Harry, bukan mewakili dirinya ketika masih menjabat kepala riset badan usaha milik negara tersebut. “Saya dulu kerja di BUMN tidak merasakannya, namun ada teman-teman yang merasakan ada sentimen anti Cina ini,” ungkap Harry ketika dikonfirmasi Bareksa.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
| Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Obligasi Nusantara autodebet | 1.203,57 | ||||||
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.182,86 | - | - | ||||
Syailendra Sharia Fixed Income Fund Kelas A | 1.153,16 | - | - | ||||
Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A | 1.044,96 | - | - | - | - | - |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.