BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Thailand, Taiwan, China Sudah Turunkan Suku Bunga, Kenapa BI Masih Ragu?

11 November 2015
Tags:
Thailand, Taiwan, China Sudah Turunkan Suku Bunga, Kenapa BI Masih Ragu?
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (19/5). BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,50 persen sejalan dengan kebijakan moneter guna menjaga inflasi. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ss/mes/15

Thailand, Taiwan & China turunkan suku bunga untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi

Bareksa.com - Penurunan pertumbuhan ekonomi global memaksa bank sentral di sejumlah negara turut berkontribusi menggenjot pertumbuhan ekonomi di negaranya dengan menurunkan tingkat suku bunga. Bank Sentral China, Taiwan, sampai dengan Thailand tahun ini sudah memangkas suku bunga sebagai respon atas perlambatan ekonomi yang terjadi di negaranya masing-masing. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) justru masih ragu mengeksekusi kebijakan ini. Kenapa?

Baik Thailand, Taiwan, dan China memang mengalami perlambatan ekonomi drastis pada 2015. Negeri Gajah Putih sejak 2014 sudah melambat seiring dengan konflik politik yang terjadi di negaranya. Pada kuartal II-2015 pertumbuhan ekonomi Thailand masih berkutat di bawah 3 persen.

Sementara China mengalami penurunan drastis sejak 2013. Puncaknya, pada kuartal III-2015, pertumbuhan menembus ke bawah 7 persen --terendah sejak 2009-- atau lebih tepatnya pada angka 6,8 persen. Lebih parah lagi Taiwan mengalami pertumbuhan negatif 1,01 persen pada kuartal III-2015, atau level terendah dalam enam tahun terakhir.

Promo Terbaru di Bareksa

Grafik: Pertumbuhan Ekonomi Thailand, Taiwan & China

Illustration
sumber: Tradingeconomics.com, diolah Bareksa

Merespons kondisi tersebut, Bank Sentral Taiwan pada Oktober 2015 langsung menurunkan suku bunga acuan ke level 1,75 persen dari sebelumnya 1,87 persen. Ini merupakan pemangkasan perdana sejak 2009 dan dilakukan untuk segera memperbaiki negatifnya pertumbuhan ekonomi. China melakukan pemangkasan suku bunga hingga enam kali dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Per Oktober suku bunga China menyentuh 4,35 persen jauh lebih rendah dari posisi pada Januari yang berada di atas 5,5 persen. Sementara Thailand sejak Mei 2015 sudah menurunkan suku bunga ke posisi 1,5 persen, lebih rendah daripada level suku bunga pada Januari sebesar 2 persen.

Penurunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga sudah terjadi sejak 2013. Pada Juli (semester II) 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,67 persen turun dari Januari yang masih sebesar 5,01 persen. Daya beli turun dan jumlah pengangguran meningkat. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan fiskal sudah mengeluarkan beragam upaya untuk menahan tekanan ekonomi ini. Enam paket kebijakan sudah dikeluarkan dan realisasi belanja pemerintah sudah ditingkatkan, Angka inflasi juga sudah lebih terkendali di bawah level 7 persen. Tapi kenapa Bank Indonesia masih enggan menurunkan suku bunga acuan?

Grafik: Inflasi Indonesia

Illustration

sumber: Bareksa.com

BI masih mengkhawatirkan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS. BI berpendapat bahwa Dolar AS masih dapat menguat 10 persen terhadap nilai mata uang dunia seiring dengan langkah Bank Sentral Amerika, The Fed, yang diperkirakan akan menaikkan suku bunganya beberapa kali. Perbaikan data ekonomi Amerika dan penurunan tingkat pengangguran menjadi dasar perkiraan ini.

Selain itu, masih menurut penilaian BI, stok Dolar AS dalam pasar domestik belum terlalu banyak, ditambah antisipasi akan ada kenaikan impor ke depan. (Baca Juga: JK, Darmin, Luhut Vs Agus Martowardojo -- BI Rate Perlu Turun?)

Fundamental Indonesia memang memiliki perbedaan dengan tiga negara yang sudah lebih berani menurunkan suku bunga. Hal ini terlihat dari neraca transaksi berjalan Indonesia yang negatif $4,4 juta di kartal II 2015, kontras dengan Thailand yang positif $1,5 juta, Taiwan yang positif $16,5 juta sementra China memiliki neraca transaksi berjalan paling besar yakni $776 miliar. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan dolar di Indonesia yang tinggi.

Grafik: Neraca Berjalan Indonesia, Thailand, Taiwan

Illustration
sumber: Tradingeconomics.com, diolah Bareksa

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistyoningsih seperti dikutip dari Harian Kontan 11 November mengungkap kekhawatiran adanya capital outflow dalam jumlah besar jika BI memangkas bunga acuan. Dalam konsisi permintaan dolar yang tinggi, ditambah terjadinya capital outflow maka dikhawatirkan dapat menguras cadangan devisa dan menekan rupiah. Cadangan devisa sejak Januari - Oktober 2015 sudah terkuras $14 miliar untuk menjaga nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Grafik: Cadangan Devisa Indonesia

Illustration
sumber: Bareksa.com

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

autodebet

1.203,01

Up0,38%
Up5,34%
Up9,67%
Up9,80%
Up18,64%
Up8,72%

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.182,67

Up0,46%
Up5,00%
Up8,82%
Up9,04%
--

Syailendra Sharia Fixed Income Fund Kelas A

1.153,01

Up0,41%
Up4,45%
Up9,63%
Up9,89%
--

Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A

1.044,45

Up1,10%
-----
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua