BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

Investasi Rp161 triliun, Sri Mulyani Ganjar 8 Perusahaan Tax Holiday

Bareksa19 Oktober 2018
Tags:
Investasi Rp161 triliun, Sri Mulyani Ganjar 8 Perusahaan Tax Holiday
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan kepada media tentang Realisasi APBN Per Januari 2018 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selesa (20/2). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Pemberian insetif pajak berupa tax holiday dilakukan untuk mendorong industri, investasi, dan ekspor.

Bareksa.com- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kebijakan pembebasan pajak atau tax holiday. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 35 tahun 2018 yang telah dirilis pada April 2018 lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan fasilitas ini telah dinikmati oleh delapan wajib pajak sejak enam bulan lalu. Kedelapan perusahaan ini telah berinvestasi sebesar Rp161,3 triliun.

"Hanya dalam enam bulan ada delapan wajib pajak dengan nilai Rp161,3 triliun," ujar Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/10/2018) dikutip dari Kompas.com.

Promo Terbaru di Bareksa

Total rencana investasi sebanyak Rp161,3 triliun itu dengan negara asal investor berasal dari RRC, Hongkong, Singapura, Jepang, Belanda dan Indonesia.

Investasi dari delapan Wajib Pajak dikategorikan sebagai investasi baru, dan investasi dari satu wajib pajak dikategorikan sebagai perluasan usaha dengan total penyerapan tenaga kerja dari kedelapan investasi wajib pajak tersebut sebanyak 7.911 orang.

"Ini adalah satu hasil yang sangat baik. Bentuk aktraktif dari iklim investasi. Sehingga pelaku usaha merasa nyaman. Harapannya bisa meningkatkan investasi, menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," kata Sri Mulyani.

Pemberian insetif pajak berupa tax holiday dilakukan untuk mendorong industri, investasi, dan ekspor. "Kami anggap angka ini cukup signifikan. Kami memang menggunakan ini sebagai salah satu sarana menarik investasi ke Indonesia," ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan, peraturan pembebasan pajak atau tax holiday ini telah mengalami perubahan sejak 2011 lalu. Menkeu mengatakan efektifitas tersebut tercermin dari pemberian tax holiday sebelum pemerintah merevisi aturan tax holiday. Berkaca pada pemberlakuan tax holiday sebelumnya, fasilitas tersebut tidak diminati investor investor.

Meskipun pemerintah memberikan fasilitas tersebut sejak 8 tahun lalu, hanya ada lima perusahaan saja mendapatkan tax holiday. Kemudian, pemerintah menerbitkan aturan tax holiday yang tertuang dalam PMK Nomor 159 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

Namun sangat disayangkan, setelah direvisi, tak ada perusahaan yang tertarik menggunakan skema tax holiday selepas beleid itu terbit. Sri Mulyani beralasan, ketentuan tax holiday yang diluncurkan enam bulan lalu sudah sangat radikal. Hal tersebut disebabkan karena pemerintah memukul rata pengurangan PPh 100 persen tanpa terkecuali dan bisa diberikan bagi investasi senilai Rp500 miliar di 17 sektor pionir.

Regulasi ini lebih longgar dari sebelumnya, di mana pengurangan PPh berkisar 10 persen hingga 100 persen dan hanya bisa diberikan jika nilai investasi lebih besar dari Rp1 triliun di delapan sektor.

"Selain itu, tax holiday juga kami berikan langsung tanpa penilaian tertentu. Ini perubahan yang cukup radikal, mengingat simplifikasinya dilakukan secara maksimal," imbuh dia.

Peraturan terkait tax holiday global mengalami tiga periode masing-masing melalui tiga peraturan Menteri Keuangan yakni PMK 130/2011, PMK 159/2015, dan PMK 35/2018.

Insentif fiskal menurut PMK 130/2015 diberikan kepada 5 wajib pajak pada insustri Kimia Dasar Organik, Bubur Kertas dan Tissue dan Industri Karet Sintetis (total rencana investasi sebesar Rp39,4 triliun) dengan negara asal investor berasal dari Swiss, Belanda dan Indonesia. Invetasi tersebut dikategorikan sebagai penanaman modal baru dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 4.855 orang.

Sementara itu, tax holiday berdasarkan PMK 35/2018 diberikan kepada tujuh Wajib Pajak yang berasal dari industri ketenagalistrikan, industri penggilingan baja, industri baja dan baja dasar, dan industri logam dasar bukan besi.

Tax Expenditure

Selain itu, Pemerintah kemudian menggagas adanya Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) untuk mencatat estimasi besaran berkurangnya penerimaan perpajakan tersebut. Pelaporan belanja perpajakan ini adalah yang pertama kali dilakukan di Indonesia sebagai wujud transparansi fiskal dan akuntabilitas pemerintah kepada publik terhadap kebijakan fasilitas perpajakan.

"Ini pertama kali dalam sejarah perekonomian Indonesia, sejarah Kementerian Keuangan Indonesia menerbitkan berapa jumlah fasilitas pajak itu diberikan. Itu namanya Tax Expenditure Report. Ini untuk transparansi, akuntabiltas. apakah mereka yang mendapatkan fasilitas itu berhubungan dengan dasar kita untuk memacu perekonomian," kata Sri Mulyani.

Definisi tax expenditure atau belanja perpajakan adalah penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum (benchmark tax system) yang menyasar kepada subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.

Laporan ini digunakan sebagai instrumen pengawasan dan evaluasi dalam rangka analisis efektivitas kebijakan fiskal terutama di bidang perpajakan. Dengan adanya laporan ini diharapkan kebijakan insentif perpajakan dapat lebih terkoordinasi, efisien dan efektif, serta dapat dievaluasi secara berkesinambungan.

Adanya kebijakan insentif perpajakan akan berpengaruh pada berkurangnya potensi penerimaan perpajakan misalnya karena adanya pembebasan atau pengurangan tarif pajak. Hal ini memiliki konsekuensi adanya penerimaan perpajakan yang tidak jadi dikumpulkan akibat kebijakan tersebut.

Pemerintah kemudian menggagas adanya Laporan Belanja Perpajakan (tax expenditure report) untuk mencatat estimasi besaran berkurangnya penerimaan perpajakan tersebut. Pelaporan belanja perpajakan ini adalah yang pertama kali dilakukan di Indonesia sebagai wujud transparansi fiskal dan akuntabilitas pemerintah kepada publik terhadap kebijakan fasilitas perpajakan.

Konsep tax expenditure pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1960an dalam sistem pajak penghasilan federal. Negara-negara OECD sendiri telah memulainya di dekade 80-an.

Estimasi belanja perpajakan pada tahun 2016 adalah sebesar Rp 143,6 triliun (sekitar 1,16 persen dari PDB 2016), sedangkan di tahun 2017 belanja perpajakan estimasi meningkat menjadi Rp 154,7 triliun (sekitar 1,14 persen dari PDB 2017).

Estimasi belanja perpajakan tahun 2017 yang terbesar hingga terkecil adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, melindungi UMKM, mendukung dunia bisnis; dan mendorong investasi.
Adapun jika dilihat dari sektor yang memanfaatkan, semua sektor hampir merata memanfaatkan fasilitas perpajakan, utamanya sektor industri manufaktur, jasa keuangan, serta pertanian dan perikanan.

Fasilitas Bea dan Cukai

Selain PMK 131/PMK.04/2018, untuk mendorong industri, investasi dan ekspor, Menteri Keuangan juga menetapkan PMK 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat. Peraturan ini mengatur, antara lain kemudahan operasional pemasukan dan pengeluaran barang dengan memangkas 45 perizinan menjadi hanya 3 perizinan, proses pengurusan perizinan dilakukan secara online, kemudahan pelaksanaan subkontrak yang memungkinkan ekspor langsung dari Kawasan Berikat penerima subkontrak dan pendelegasian wewenang pemberian perizinan dari kantor pusat ke unit vertikal. Aturan ini berlaku di seluruh kawasan berikat dan akan mempengaruhi 1.372 Kawasan Berikat.

Kawasan Berikat dan KITE selama ini telah memberikan beberapa kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia, antara lain

1.Rasio ekspor terhadap impor sebesar 3,04 kali
2.Kontribusi ekspor terhadap ekspor nasional sebesar USD54,82 miliar atau 37,76 persen
3.Penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 2,1 juta orang dan nilai investasi perusahaan sebesar Rp168 triliun
4.Kontribusi terhadap penerimaan negara, diantaranya pajak pusat Rp64,94 triliun dan pajak daerah Rp8,7 triliun
5.Jumlah jaringan usaha sebanyak 92.881 jaringan usaha.

Selain insentif fiskal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga terus meningkatkan layanan kemudahan berusaha dengan cara melakukan simplifikasi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat dan KITE serta memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), dan dalam melakukan registrasi kepabeanaan.

DJBC juga telah menggagas perizinan online terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS). Upaya yang dilakukan oleh DJBC tersebut diharapkan makin mendorong peningkatan ekspor nasional.

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Capital Fixed Income Fund

1.772,48

Up0,69%
Up3,37%
Up0,02%
Up6,89%
Up17,20%
Up44,73%

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.318,65

Up0,31%
Up3,73%
Up0,03%
Up5,42%
Up18,20%
-

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.751,12

Down- 0,79%
Up2,71%
Up0,01%
Up3,87%
Up18,29%
Up46,73%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.039,98

Up0,13%
Up2,19%
Up0,02%
Up2,70%
Down- 2,15%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

Produk baru

1.036,53

Up0,62%
Up3,61%
Up0,03%
---

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua