BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Dalam 2 Minggu Terakhir IHSG Lesu, Ini Penyebabnya!

23 Desember 2016
Tags:
Dalam 2 Minggu Terakhir IHSG Lesu, Ini Penyebabnya!
Seorang karyawan berdiri di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Indeks USD Berada di Posisi Tertinggi Dalam 10 Tahun Terakhir Menjadi Salah Satu Penyebab

Bareksa.com – Dalam dua minggu terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak melemah. Hal ini mematahkan ekspektasi pelaku pasar mengingat di bulan Desember identik dengan istilah window dressing, di mana para manajer investasi mempercantik portofolio mereka dengan menaikkan harga saham di akhir tahun.

IHSG terakhir menguat pada tanggal 9 Desember dan ditutup di level 5.308. Namun, per 22 Desember IHSG hanya ditutup di level 5.042, sehingga indeks acuan ini telah mengalami pelemahan sekitar 5 persen. Padahal, secara historical dalam 7 tahun terakhir pergerakan IHSG di bulan Desember selalu positif dengan rata-rata pertumbuhan 2,73 persen sejak 2007.

Bareksa menganalisa dan mendapatkan beberapa fakta menarik yang membuat IHSG bergerak anomali atau contrarian di bulan Desember tahun ini. Berikut datanya :

Promo Terbaru di Bareksa

1. Indeks USD (DXY) Mencapai Level 103 Menjelang Akhir Tahun

Penguatan Indeks dolar AS atau USD menjadi dasar atas pelemahan mata uang yang terjadi di belahan dunia. Mayoritas mata uang dunia bergerak melemah, tidak hanya mata uang negara maju seperti poundsterling (GBP), euro (EUR), dan franc (CHF), tetapi juga mata uang negara berkembang.

Grafik: Pergerakan DXY Dalam 1 Dekade Terakhir

Illustration

Sumber : Marketwatch.com

Indeks USD yang diperdagangkan di level 103 menggambarkan bahwa harga USD diperdagangkan di level premium atau lebih mahal 3 persen dari harga wajarnya di level 100. Seperti diketahui, level 100 dijadikan sebagai level base atau dasar dari suatu indeks.

Hal tersebut seharusnya akan diintervensi oleh bank sentral AS mengingat negara Amerika masih mengandalkan perdagangan berbasis ekspor. Penguatan mata uang USD ini juga berdampak pada ekonomi AS karena akan membuat barang-barang ekspor negara adidaya itu kurang kompetitif untuk bersaing di pasar global mengingat barang-barang tersebut diperdagangkan lebih mahal di pasar.

2. Rupiah Terdepresiasi

Senada dengan pergerakan Indeks USD yang menguat, tekanan terhadap rupiah pun tak terelakkan.

Grafik: Pergerakan USD/IDR dan IHSG dalam Dua Pekan Terakhir

Illustration

Sumber : Bareksa.com

Sejak 8 Desember, Rupiah telah melemah 1,3 persen menjadi Rp 13.473 per dolar AS. Hal tersebut membuat IHSG terus bergerak tertekan oleh keadaan currency. Meskipun demikian, menjelang libur Natal, terlihat rupiah mulai kembali menunjukkan penguatan. Hal tersebut menggambarkan kembali mulai adanya kepercayaan dari para investor terhadap pasar, sehingga menunjukkan rasa optimis menjelang libur Natal.

3. Yield 10 year Obligasi Pemerintah Indonesia

Untuk mengukur risiko perekonomian di Indonesia, mayoritas para pelaku pasar mengacu pada benchmark 10 year Government Bond, mengingat obligasi tersebut paling likuid dan banyak ditransaksikan di pasar. Apabila yield meningkat, maka hal tersebut menggambarkan risiko perekonomian di suatu negara meningkat. Hal ini diikuti oleh tingginya ekspektasi return yang diharapkan oleh investor yang membuat yield berpotensi menguat sehingga secara umum berdampak pada penurunan harga obligasi itu sendiri dan begitupun sebaliknya.

Grafik: Government Bond Yield 10 year dalam 15 Bulan Terakhir

Illustration

Sumber : Bareksa.com

Secara jangka panjang, terlihat yield 10 year Government Bond cenderung menurun sehingga rata-rata harga obligasi khususnya yang dijadikan benchmark cenderung diperdagangkan di atas par sepanjang tahun 2016. Namun, sejak 9 Desember yield obligasi cenderung berbalik arah dari 7,68 persen menjadi 7,84 persen per 22 Desember. Sehingga, dalam dua pekan terakhir, yield telah menguat sebesar 16bps. Hal tersebut terbilang wajar di tengah pelemahan yang terjadi pada rupiah mengingat korelasi antara rupiah dan laju yield obligasi cenderung positif.

4. Munculnya Aksi Terorisme di Tengah Gejolak Perekonomian Global

Kembali maraknya aksi terorisme di kawasan Timur Tengah secara tidak langsung turut memberikan dampak negatif terhadap perekonomian global. Sebut saja, kasus ditembaknya Andrey Karlov selaku Duta Besar Rusia untuk Turki yang berdampak pada penurunan mata uang Lira Turki 0,6 persen pada awal pekan ini. Sebelumnya, Lira Turki telah terdepresiasi 20 persen terhadap USD sejak awal tahun. Selain itu, masih banyak lagi kasus-kasus peperangan di Timur Tengah yang memancing adanya kekhawatiran para investor global.

Dari domestik, adanya pencegahan aksi terorisme yang dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia banyak diapresiasi oleh masyarakat. Meski begitu, hal tersebut tidak serta merta menurunkan tingkat kekhawatiran investor big fund baik dari pelaku pasar asing maupun lokal yang mengelola dana-dana institusi sehingga mereka cenderung lebih bersikap konservatif guna mencegah adanya hal yang tidak diinginkan.

Keempat alasan di atas memicu tingginya tingkat kekhawatiran terhadap kondisi perekonomian. Pada akhirnya, para pelaku pasar pun merespon cepat atau lambat data-data tersebut dan berdampak pada pergerakan pasar saham. (hm)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.311,21

Down- 0,04%
Up3,59%
Up0,02%
Up5,46%
Up18,25%
-

Capital Fixed Income Fund

1.767,05

Up0,56%
Up3,40%
Up0,02%
Up6,86%
Up17,17%
Up43,56%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.748,46

Down- 0,79%
Up3,43%
Up0,01%
Up3,97%
Up18,39%
Up46,82%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.033,61

Down- 0,45%
Up1,56%
Up0,01%
Up2,14%
Down- 2,42%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

Produk baru

1.033,61

Up0,53%
-
Up0,03%
---
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua