BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Kebijakan Amerika Serikat Berdampak Besar Pada Rupiah? Begini Data Historisnya

27 Mei 2016
Tags:
Kebijakan Amerika Serikat Berdampak Besar Pada Rupiah? Begini Data Historisnya
Petugas menghitung uang dolar AS di Kantor Cabang BNI Melawai, Jakarta, Selasa (15/9). Nilai tukar rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang Federal Open Market Committee (FOMC), Selasa (15/9) menyentuh level Rp 14.408 per dolar AS atau melemah 0,52 persen dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.333 per dolar AS. ANTARA FOTO/Yudhi M.

Beredarnya isu penerapan kebijakan moneter AS yang bersifat ketat, selalu berdampak negatif pada rupiah

Bareksa.com - Sejak awal Mei 2016 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Pada perdagangan 24 Mei 2016, rupiah bahkan berada di level Rp13.638 per dolar AS, yang merupakan level terlemah dalam tiga bulan terakhir. Analis Bareksa, sebelumnya telah memaparkan sejumlah alasan mengapa rupiah tergerus, salah satunya karena spekulasi kenaikan suku bunga AS. (Baca juga: Dolar Kembali Perkasa, Bagaimana Nasib Rupiah Hingga Akhir Tahun?)

Manuver kebijakan moneter AS sejak lama mempengaruhi depresiasi nilai tukar rupiah. Terutama, semenjak AS memutuskan untuk menghentikan secara bertahap dana stimulus Quantitative Easing (QE). Juni tahun 2013, untuk pertama kalinya AS memangkas QE yang rutin diberikan sejak tahun 2008.

Kebijakan AS ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pelemahan rupiah ke level Rp12.171 per dolar AS di Desember 2013 dari sebelumnya di kisaran Rp9.700 per dolar AS, atau melemah 25 persen dalam jangka waktu hanya enam bulan. Sejak pemangkasan stimulus tersebut, beredarnya isu penerapan kebijakan moneter AS yang bersifat ketat, selalu berdampak buruk pada rupiah.

Promo Terbaru di Bareksa

Grafik: Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar AS 2013

Illustration

Sumber: Bareksa.com

Mengapa pengetatan kebijakan moneter AS berpengaruh pada rupiah? Sebab utamanya, QE yang disalurkan pemerintah AS sejak tahun 2008 menyebabkan terjadinya aliran dana panas "hot money" ke negara berkembang seperti Indonesia. Berhentinya QE menandakan pulihnya perekonomian Amerika Serikat dari krisis utang yang terjadi sejak tahun 2008. Sehingga, muncul kekhawatiran akan ditariknya dana investasi AS atau "hot money" yang telah disalurkan ke negara-negara berkembang.

Setelah program QE berakhir pada Oktober 2014, kebijakan ketat dilanjutkan oleh otoritas moneter AS dengan rencana meningkatkan target suku bunga dari nol persen ke kisaran 0,25-0,5 persen. Ini juga disambut negatif oleh pergerakan rupiah. Bahkan sempat membuat level rupiah jatuh ke Rp14.963 per dolar AS di September 2015, yang merupakan level paling lemah sejak krisis 1998.

Faktor yang menyebabkan ambrolnya rupiah di September 2015 adalah sinyal kuat bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan segera meningkatkan bunga di bulan Oktober. Namun, masih belum stabilnya kondisi perekonomian global membuat The Fed kemudian ragu untuk meningkatkan suku bunga. Keraguan The Fed, ditambah dengan dukungan kebijakan ekonomi di dalam negeri, mendukung rupiah untuk berbalik arah menguat 9 persen hanya dalam waktu satu pekan.

Grafik: Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar AS 2015

Illustration

sumber: Bareksa.com

Bank Sentral AS, akhirnya benar-benar mengumumkan peningkatan suku bunga pada 16 Desember 2015. Namun, risiko peningkatan Fed Rate sudah terlebih dahulu diantisipasi pasar sehingga rupiah justru menyambut baik kebijakan AS tersebut. Sepekan pasca peningkatan bunga AS, yakni pada 24 Desember 2015, rupiah berada di level Rp13.624 per dolar AS atau menguat 3,1 persen dari saat pengumuman di Rp14.071 per dolar AS.

Setelah beberapa bulan berlalu, wacana peningkatan suku bunga AS kembali merebak. Kali ini dengan sinyal yang kuat yakni perbaikan indikator ekonomi AS seperti inflasi dan tenaga kerja. Pada 15 Maret, survei yang dilakukan oleh CNBC memperkuat kemungkinan tersebut. Dari 42 responden yang disurvei, 85 persen memprediksi bahwa peningkatan suku bunga AS akan terjadi di bulan Juni.

Sebagian analis dan ekonom yang disurvei CNBC berpendapat bahwa sejumlah data ekonomi AS telah bergerak ke arah yang lebih baik. "Estimasi PDB bergerak naik, tingkat pengangguran semakin berkurang, dan inflasi sudah menguat," tulis Neil Dutta, kepala ekonom Renaissance Macro Research kepada CNBC.

Pendapat lain diungkap petinggi Federal Reserve James Bullard. Menurutnya, kenaikan suku bunga pada bulan Juni belum dapat dipastikan, tetapi data tenaga kerja AS yang membaik menurutnya bisa menjadi salah satu alasan untuk itu. Namun, menurut Bullard, data lain tidak sekuat peningkatan pada data tenaga kerja.

Sebagaimana diketahui, sejak Oktober 2015 angka pengangguran AS cenderung stabil di kisaran 4,9 hingga 5 persen. Di periode yang sama, jumlah pekerja AS terus bertumbuh dari kisaran 149.000 orang di Oktober 2015 menjadi 151.004 di April 2016. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi AS hanya tumbuh 0,5 persen di kuartal I 2016, lebih rendah dari kuartal sebelumnya 1,4 persen. Ini menyebabkan kenaikan suku bunga The Fed belum bisa dipastikan.

Walaupun belum juga bisa dipastikan, menguatnya kemungkinan peningkatan suku bunga AS sudah menyebabkan rupiah bergerak ke level Rp13.600 per dolar AS dari sebelumnya di Rp13.300, atau melemah sekitar dua persen dalam sepekan. Di luar faktor suku bunga AS, kondisi dalam negeri juga mendorong pelemahan tersebut.

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.311,21

Down- 0,04%
Up3,59%
Up0,02%
Up5,46%
Up18,25%
-

Capital Fixed Income Fund

1.767,05

Up0,56%
Up3,40%
Up0,02%
Up6,86%
Up17,17%
Up43,56%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.748,46

Down- 0,79%
Up3,43%
Up0,01%
Up3,97%
Up18,39%
Up46,82%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.033,61

Down- 0,45%
Up1,56%
Up0,01%
Up2,14%
Down- 2,42%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

Produk baru

1.033,61

Up0,53%
-
Up0,03%
---
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua