BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Kondisi Ekonomi 2015 Vs 1998 & 2008, Mana Lebih Parah?

28 Agustus 2015
Tags:
Kondisi Ekonomi 2015 Vs 1998 & 2008, Mana Lebih Parah?
Ilustrasi pialang mendiskusikan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Jakarta. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Krisis kali ini "made in China", kata Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio

Bareksa.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah ambrol 18 persen sejak awal tahun. Sementara, nilai tukar rupiah juga sudah terdepresiasi hingga menembus Rp14.000 per dolar AS. Sebagian kalangan was-was bahwa kondisi saat ini sudah masuk kategori krisis, dan karena itu regulator perlu mengambil kebijakan cepat jangka pendek.

Sebenarnya, anjloknya pasar saham dan pelemahan tajam rupiah bukan kali pertama terjadi. Pada 1998 dan 2008 juga terjadi kondisi yang mirip. Lantas, separah apakah kondisi perekonomian nasional pada tahun ini dibandingkan dua periode krisis itu?

Dalam sebulan terakhir, ada tiga isu pasar keuangan yang menjadi sentimen kuat bagi pergerakan saham nasional. Pertama, spekulasi kenaikan suku bunga acuan The Fed yang tidak pasti waktunya kapan akan terjadi sehingga mendorong capital outflow. Kedua, tekanan ekonomi global, termasuk perlambatan ekonomi China yang mendorong pemerintahnya melakukan devaluasi mata uang yuan. Ketiga, tren penurunan harga minyak mentah dunia, yang berimplikasi pada turunnya harga komoditas dunia lainnya sehingga menekan penerimaan fiskal negara.

Promo Terbaru di Bareksa

Ketiga isu tersebut mendorong para investor untuk menurunkan risiko dan pindah ke aset yang lebih aman. Dampaknya, aset berisiko termasuk pasar modal di emerging market, seperti Indonesia, ditinggalkan investor. IHSG anjlok 18 persen sejak awal tahun dan arus dana asing menggelontor keluar sekitar Rp17 triliun dari pasar saham Indonesia.

Namun demikian, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio menilai bahwa fundamental perekonomian Indonesia masih kokoh. "Kalau fundamental bagus, tetapi saham turun secara cepat dalam seminggu ini bisa kita katakan krisis. Yuan mengalami devaluasi, karena pemerintah China ingin meningkatkan daya saing ekspor. Itu tanda krisis," katanya kepada wartawan Kamis 27 Agustus 2015.

Akan tetapi, dia memaparkan sejumlah indikator lain menunjukkan kondisi Indonesia sekarang masih lebih baik daripada dua krisis sebelumnya, yaitu pada 1998 dan 2008. Pada 1998, krisis diawali terjungkalnya mata uang Thailand yang lalu menjalar hingga merontokkan perbankan. Adapun di tahun 2008, krisis dipicu oleh skandal sub-prime mortgage di AS yang membuat pasar modal di berbagai belahan dunia kolaps.

Tabel: Perbandingan Indikator Ekonomi Masa Krisis

Illustration

Sumber: Penjelasan BEI

Sebagaimana dikatakan Tito, secara fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih lebih baik dibandingkan dua krisis sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi masih bisa mencapai 4,67 persen, dengan inflasi yang masih terjaga pada kisaran 7,26 persen. Cadangan devisa negara juga masih cukup sekitar US$107,6 miliar, yang mampu membiayai impor sekitar 7 bulan.

Memang, total utang luar negeri (pemerintah dan swasta) cukup tinggi, sebesar US$304 miliar. Akan tetapi, rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa masih kecil sekitar 2,8 kali, jauh lebih rendah dibandingkan pada 1998 yang mencapai 8,6 kali dan pada 2008 sebesar 3,1 kali.

Selain itu, fundamental emiten saat ini masih terbilang lebih baik. Berdasarkan catatan bursa, dari 453 emiten yang sudah mengumpulkan laporan keuangan kuartal kedua, 73 persen masih melaporkan laba. Hal ini kontras dengan kondisi 1998. Saat itu 70 persen emiten justru membukukan rugi.

"Bahkan 18 dari 20 emiten big cap masih membukukan laba, sedangkan dua emiten belum melaporkan karena sedang limited review," kata Tito.

Kebijakan jangka pendek

Menghadapi tekanan pada IHSG, regulator segera mengambil kebijakan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 21 Agustus mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan emiten membeli kembali saham di pasar (buyback) tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dulu. Kebijakan itu dipercaya dapat menjaga harga saham emiten dari kejatuhan lebih dalam. (Baca juga: IHSG 2013 vs 2015, Perlukah Emiten Buyback Saham?)

Sejumlah emiten yang sudah melaporkan rencana buyback, misalnya PT Mitra Pinastika Mustika Tbk (MPMX), PT Medco Energi Internasional TBk (MEDC), dan PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA). Beberapa BUMN juga sudah mengkaji rencana itu, seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR).

Selain itu, BEI melakukan penyesuaian ketentuan auto rejection saham dengan batas bawah maksimal perubahan 10 persen. (Baca juga: Upaya Tahan Volatilitas Pasar)

Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menjelaskan kebijakan pembatasan dengan auto reject tersebut sempat menolak transaksi dalam volume cukup besar pada Rabu kemarin, 26 Agustus. "Sekitar 14.000 order ditolak otomatis karena harganya jauh melebihi batas 10 persen," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia.

Meskipun mengakui bahwa kebijakan itu berpotensi menurunkan nilai transaksi harian, Samsul menilai aturan ini efektif menjaga harga saham di saat pasar sedang tertekan seperti sekarang. Rata-rata transaksi harian bursa saat ini mencapai Rp4,7 triliun.

Selain itu, bursa juga mengawasi ketat transaksi short selling sejumlah broker, terutama pihak asing yang menggunakan kustodian global. Tito menjelaskan saat ini ada sekitar 6 sekuritas yang tengah dicurigai melakukan short selling di luar aturan main.

"Kami dapat info dari orang yang mencurigai. Memang, kalau transaksi di bawah tangan ketika mereka pinjam tidak terlihat. Tetapi, saya minta tolong dalam kondisi seperti ini, jangan melakukan short selling," katanya sembari menegaskan bahwa otoritas bursa dapat menjatuhkan sanksi, termasuk mencabut izin broker. (Baca juga : BEI Larang Short Selling; Ini Latar Belakangnya)

Melihat kondisi sekarang yang lebih baik daripada dua krisis sebelumnya, plus adanya respons kebijakan yang lebih cepat, Tito optimistis pasar saham akan cepat pulih. "Krisis 1998 butuh waktu pulih 2 tahun, krisis 2008 butuh 6 bulan. Semoga krisis kali ini lebih cepat pulih, karena ini krisis made in China," ujarnya, berseloroh. (kd)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.314,44

Up0,08%
Up3,33%
Up0,02%
Up5,55%
Up18,27%
-

Capital Fixed Income Fund

1.769,29

Up0,54%
Up3,38%
Up0,02%
Up6,86%
Up17,32%
Up43,94%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.748,07

Down- 0,93%
Up3,17%
Up0,01%
Up3,84%
Up18,21%
Up46,65%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.036,37

Down- 0,18%
Up1,84%
Up0,01%
Up2,73%
Down- 2,13%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

Produk baru

1.034,65

Up0,48%
-
Up0,03%
---
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua