BeritaArrow iconPasar ModalArrow iconArtikel

Manulife AM : Outlook Ekonomi, Pasar Saham dan Obligasi di 2021

Abdul Malik14 Januari 2021
Tags:
Manulife AM : Outlook Ekonomi, Pasar Saham dan Obligasi di 2021
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan (kiri) bersama Director & Chief Invesment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (kanan) saat menyampaikan market update "Welcoming the Era of Lower Rate" di Kantor Manulife Aset, Jakarta (20/8/2019) (Bareksa/AM)

Pemulihan ekonomi akan membuka peluang bagi penguatan pasar saham dan imbal hasil pasar obligasi juga masih akan menarik

Bareksa.com - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan ulasan dan proyeksi kondisi pasar global dan domestik tahun 2021. Chief Economist & Investment Strategist Manulife AM, Katarina Setiawan, menyatakan tahun 2021 merupakan tahun pemulihan ekonomi dan perdagangan. Pemulihan ekonomi ini akan membuka peluang bagi penguatan di pasar saham, sementara stabilitas serta imbal hasil pasar obligasi juga masih akan terus menarik.

"Namun ada satu hal krusial yang akan menjadi kunci, yaitu penanganan pandemi dan vaksinasi," ujarnya dalam acara media gathering secara virtual (14/1/2021).

Pasar Global

Katarina mengatakan perbaikan ekonomi global telah terjadi secara gradual sejak kuartal keempat tahun 2020, terutama ditopang oleh pertumbuhan di negara-negara berkembang di kawasan Asia. Tahun 2021 akan menjadi tahun pemulihan ekonomi dan perdagangan global. Pemulihan diperkirakan akan semakin terakselerasi di semester kedua 2021 seiring peningkatan akses terhadap vaksin dan aktivitas vaksinasi.

Promo Terbaru di Bareksa

"Namun, risiko utama atas proyeksi ini adalah apabila vaksinasi terkendala dan mitigasi pandemi COVID-19 tidak berjalan efektif secara global," ungkapnya.

Menurut Katarina, vaksinasi menjadi poin krusial untuk mendorong normalisasi aktivitas ekonomi masyarakat. Produksi dan distribusi akan menjadi perhatian pasar. Saat ini diperkirakan kapasitas produksi vaksin global mencapai 2-4 miliar dosis per tahun. Hingga 11 Januari 2021, 28.5 juta dosis vaksinasi telah dilakukan di seluruh dunia, dengan jumlah terbanyak di Amerika Serikat dan China yang masing-masing telah telah mencapai 9 juta dosis.

“Pemulihan ekonomi harus ditopang oleh ketersediaan vaksin dan pelonggaran pembatasan sosial global yang mendukung normalisasi aktivitas ekonomi. Sementara pemulihan perdagangan global akan didukung oleh meningkatnya permintaan seiring normalisasi aktivitas ekonomi, ketersediaan vaksin, dan membaiknya iklim perdagangan di era kepresidenan Joe Biden. Potensi membaiknya perdagangan global di tahun ini dapat menguntungkan kawasan Asia yang merupakan ‘pabrik dunia’,” ujar Katarina.

Katarina menjelaskan tahun 2021 merupakan era suku bunga rendah dengan stimulus ekonomi yang masih akan terus berlanjut dan dolar Amerika Serikat (USD) yang akan tetap suportif. Kebijakan akomodatif ini akan menguntungkan negara berkembang di tahun 2021.

“The Fed masih mempertahankan outlook suku bunga rendah setidaknya hingga 2023. Program pembelian aset (quantitative easing) oleh bank sentral global juga akan terus berlanjut di 2021. Tingkat suku bunga rendah dan program pembelian aset akan menekan nilai tukar USD dan menopang selera investasi ke kawasan negara berkembang,” jelas Katarina.

Perbaikan aktivitas ekonomi serta kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif membuat inflasi di tahun ini diperkirakan meningkat, namun tetap terjaga di level moderat. Diperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi di kuartal kedua yang dipengaruhi oleh low base effect di kuartal tersebut. Namun lonjakan sementara ini tidak akan mempengaruhi outlook kebijakan suku bunga bank sentral.

Era suku bunga rendah membuat banyak obligasi di dunia mengalami penurunan imbal hasil hingga ke zona negatif. Sekitar US$17 triliun atau 27 persen dari total obligasi investment grade masuk dalam zona imbal hasil negatif, level tertinggi dalam sejarah. Era suku bunga rendah juga mendorong investor global untuk berinvestasi di instrumen yang menawarkan tingkat imbal hasil lebih atau dapat memberikan regular income seperti saham, obligasi negara berkembang dan REITs.

Pasar Domestik

Sejalan dengan kebijakan akomodatif di pasar global, kata Katarina, kebijakan moneter dan fiskal di pasar domestik pada tahun 2021 juga akan tetap akomodatif. Bank Indonesia berkomitmen untuk menjaga sikap akomodatif dan mempertahankan perannya dalam mendukung kebijakan fiskal pemerintah. Walau di tahun ini defisit fiskal masih akan tinggi (target 5,7 persen PDB di 2021), namun pemerintah mencanangkan penurunan secara bertahap ke level 3 persen di tahun 2023.

“Berbagai dukungan kebijakan moneter dan fiskal, percepatan penanganan pandemi, dan membaiknya rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan ekonomi domestik di 2021,” ujar Katarina

Katarina mengatakan MAMI memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak stabil di tahun 2021, didukung oleh beberapa faktor seperti dolar AS yang cenderung lemah dikarenakan kebijakan akomodatif The Fed dan pemerintah AS, berkurangnya tekanan pada neraca berjalan, inflasi yang terkendali, dan porsi kepemilikan asing yang rendah terhadap aset finansial Indonesia.

Namun, seiring dengan laju pemulihan ekonomi yang akan meningkat di tahun ini, impor juga diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga berpotensi membuat defisit neraca berjalan di tahun 2021 lebih tinggi dibandingkan tahun 2020.Sementara itu, implementasi Omnibus Law akan menjadi katalis penting yang harus dicermati bagi dimulainya siklus investasi di Indonesia.

"Omnibus Law berpotensi mengubah Indonesia menjadi salah satu hub rantai pasokan Asia, dan diharapkan dapat menangkap kesempatan relokasi perusahaan dalam upaya mendorong penciptaan lapangan kerja di dalam negeri," Katarina memaparkan.

Sentimen terhadap pasar finansial Indonesia akan mengalami normalisasi, sehingga dana investor asing diperkirakan akan kembali masuk pada tahun ini.

Inisiatif vaksinasi, dukungan pemerintah dan bank sentral dalam mendorong perekonomian telah memicu pergeseran sentimen terhadap pasar finansial negara berkembang, termasuk Indonesia. Potensi inflow masih terbuka bagi Indonesia, mengingat kepemilikan asing di pasar saham dan obligasi yang saat ini masih relatif rendah serta potensi imbal hasil yang masih menarik di pasar finansial Indonesia. Khusus pada pasar saham

"Indonesia, peluang inflow masih besar, mengingat net flow di bulan November 2020 baru mencapai US$245 juta sementara net outflow pada periode 2017 hingga Oktober 2020 sebesar US$6,34 miliar," ungkap Katarina.

Pasar Saham

Senior Portfolio Manager, Equity MAMI, Samuel Kesuma mengatakan pasar saham Indonesia menunjukkan kinerja minus 5,1 persen pada 2020, sehingga Indonesia masuk ke dalam kelompok yang tertinggal.

"Dengan kenaikan tinggi yang mulai terjadi di dua pekan pertama tahun ini, memang valuasi pasar saham tidak semurah tahun lalu, namun secara relatif masih salah satu yang paling menarik bila dibandingkan dengan kawasan lain. Apalagi kepemilikan asing di pasar saham Indonesia pun masih berada di salah satu level terendah sejak 2013," katanya.

Samuel menjelaskan pemulihan ekonomi global di tahun 2021, kondisi geopolitik yang lebih kondusif, dan dolar AS yang relatif lemah akan menopang sentimen pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemulihan earnings juga akan berlangsung sejalan dengan pemulihan ekonomi.

"Di tahun 2021, MAMI mengunggulkan tiga sektor, yaitu sektor material dan energi, sektor telekomunikasi, dan sektor finansial. Sementara IHSG diperkirakan akan bergerak di kisaran 6.740 – 7.040," ungkapnya.

Pasar Obligasi

Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI, Ezra Nazula mengatakan tahun lalu, pasar obligasi Indonesia membukukan kinerja yang sangat tinggi, sebesar 14,7 persen dengan didukung oleh pemangkasan suku bunga global, tingginya likuiditas domestik dan manajemen utang pemerintah yang baik. Dibandingkan dengan kawasan lain, pasar obligasi Indonesia menawarkan imbal hasil riil yang superior, bahkan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia sebesar 3,6 persen.

"Selain karena menariknya imbal hasil obligasi, kinerja pasar pada kuartal keempat tahun lalu juga didukung oleh aliran dana investor asing yang mulai kembali ke pasar obligasi Indonesia paska disahkannya Omnibus Law dan stabilnya nilai tukar rupiah, mendukung aksi beli investor lokal yang konsisten sepanjang tahun," dia menjelaskan.

Menurut Ezra, imbal hasil relatif tinggi yang ditawarkan pasar obligasi Indonesia masih akan menjadi daya tarik di tahun 2021, terutama bagi investor asing. Didukung oleh sentimen global maupun domestik yang lebih suportif akan berpeluang meningkatkan aliran real money. Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi salah satu faktor pendukung bagi pasar obligasi Indonesia. "Karena secara historis, nilai tukar cenderung bergerak searah dengan pasar obligasi,” ujar Ezra.

Ezra menjelaskan imbal hasil obligasi pemerintah dengan durasi 10 tahun berpotensi turun ke level 5,5 persen di tahun 2021, sehingga masih memberikan potensi upside bagi investasi di pasar obligasi. "Dan tentu saja dengan cermat kami akan mengambil opportunity dalam setiap momentum volatilitas pasar," ungkapnya.

​​***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS

​DISCLAIMER​
Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua