Budi Hikmat : Pasar Dihantam Corona dan Perang Minyak, Ini Strategi Investasinya

Bareksa • 16 Mar 2020

an image
Budi Hikmat, Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management (kiri) bersama manajer investasi sedang diskusi perkembangan terkini pasar modal. (bahanatcw.com)

Sepekan lalu, harga minyak anjlok 25 persen jadi $33,9 per barel, penurunan harian terburuk 24 persen terjadi pada Senin

Bareksa.com -  "Careful you must be when sensing the future Anakin. The fear of loss is a path to the dark side" (Jedi Master Yoda, Revenge of the Sith, 2005).

Another Wild Black Swan: Oil War.

Keputusan Rusia tidak mendukung usulan Saudi Arabia untuk memangkas produksi telah memicu risiko perang minyak dan, malah, bisa memburuk menjadi konflik geopolitik.

Setelah persisten memangkas produksi, Saudi Arabia yang dipercaya mampu dengan mudah memproduksi dua juta barel per hari, memutuskan untuk turut menaikkan produksi. Akibatnya ditengah gangguan supply side akibat polemik perang dagang tahun lalu dan pelemahan demand side akibat wabah
COVID-19, ekspektasi kelebihan pasokan telah memicu kejatuhan harga minyak.

Sepekan lalu, harga minyak anjlok 25 persen menjadi $33,9 per barel di mana penurunan harian terburuk 24 persen terjadi pada hari Senin. Akibatnya selama tahun berjalan harga minyak terpangkas 48,7 persen.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Silakan cermati peraga tersebut yang memuat perkembangan harga minyak Brent (area berbayang) dan produksi OPEC (merah), Rusia (ungu berbintik) dan Amerika Serikat (garis hitam putus-putus). Sebelum krisis keuangan global 2008, nyata sekali OPEC yang dikomandani Saudi Arabia paling menikmati lonjakan harga minyak karena dapat meningkatkan produksi. Saat dulu mereka menjadi price-setter minyak dunia.

Namun selama 5 tahun terakhir, kebijakan OPEC berubah menjadi menjaga market share dengan menekan pasokan sangat tajam di tengah peningkatan produksi minyak dari Rusia dan Amerika Serikat.

Terlihat peningkatan produksi Amerika Serikat terus naik menuju level tertingi yang sangat mungkin karena ditopang limpahan dana murah melalui berbagai kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) The Fed.

Perang harga minyak sebetulnya pernah terjadi pada 2014 yang menjatuhkan harga minyak ketika para produsen meningkatkan pasokan. Negara yang menjadi "tumbal" saat itu ialah Brazil. Sebab dalam waktu yang bersamaan terjadi penguatan dolar AS dan peningkatan suku bunga global yang memperburuk kapasitas membayar utang luar negeri mereka yang sangat besar.

Hot Peace of Oil Politics

Alasan geo-politics sulit diingkari mengingat Saudi Arabia dilansir membutuhkan harga minyak $74 untuk menyeimbangkan neraca fiskal dan $47 agar neraca berjalan negara minyak itu tidak defisit. Demikian juga Rusia, di mana untuk kedua neraca ekonomi tersebut Negeri Beruang Merah itu memerlukan harga minyak masing-masing $51 dan $40 per barel.

Media juga melansir ada gesekan politik didalam jajaran inti keluarga Saud yang memerintah negeri Petro Dolar tersebut. Setelah kedua negeri memilih “No” (Nyet atau Laa), investor menunggu siapa yang mundur.

Tidak jelas siapa yang sesungguhnya ditarget melalui perang minyak ini? Apakah Saudi Arabia yang menjadi sekutu Amerika Serikat menarget Iran sebagai pemasok minyak yang juga besar? Atau Saudi Arabia dan Rusia malah membidik produsen Shale-gas Amerika Serikat yang kini menjadikan negeri itu net-oil exportir.

Amerika Serikat sendiri justru melarang Jerman menyelesaikan proyek pipanisasi yang mengalirkan gas dari Rusia dengan mengancam mengenakan pajak atas kendaraan yang diimpor dari Jerman. Dinamika dunia kini bergeser dari romantika perang dingin (cold wars) antara Amerika Serikat dan Rusia menjadi konflik multipolar panas damai (hot peace). Yang jelas, China sebagai negara pengimpor terbesar energi termasuk paling diuntungkan. Adakah sesuatu yang dibisikkan Xi Jinping kepada Putin ketika mereka bertemu?

Siapa Untung, Siapa Buntung?

Nampaknya dampak kejatuhan harga minyak ini terbilang luas. Tidak sebatas bursa saham SPX dan memburuknya kondisi makroekonomi Brazil. Bahkan penurunan yang tajam berisiko memangkas bagi hasil kontrak minyak pemerintah Indonesia seperti yang pernah terjadi pada 2008. Kita bahas satu-persatu, termasuk mendiskusikan strategi investasi terbaik yang dapat dipertimbangkan investor.

Indeks saham SPX sendiri sepekan lalu terpangkas tajam 8,8 persen. Angka ini setelah ditolong oleh lonjakan pembalikan arah dengan kenaikan 9,3 pesen harian pada Jumat menyusul stimulus besar-besaran yang diumumkan Presiden AS, Donald Trump. Dapat dicermati indeks saham SPX berkorelasi positif dengan produksi minyak AS seperti nampak dalam peraga berikut :


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Tekanan jual yang luar biasa yang melandasi kejatuhan SPX sepekan lalu telah menyebabkan tingkat SPX yang jatuh di bawah proyeksi yang sejalan topangan pertumbuhan laba.

Seperti halnya lebih dulu terjadi pada IHSG (JCI), penurunan SPX terbilang sebagai anjlok. Bloomberg fear indicator telah menunjukkan angka yang jauh di bawah yang terjadi pada 2008. Kejatuhan SPX ini melandasi penurunan bursa global, tidak terkecuali IHSG yang terus terpangkas 10,8 persen sepekan lalu.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Junior economist Bahana TCW, Emil Muhamad, melanjutkan pengembangan model ekonometri saya. Emil menghubungkan SPX dengan produksi shale-gas, harga minyak disamping faktor fundamental berupa rasio antara sentimen keyakinan konsumen dan produsen. Variable bebas rasio CC/PMI, layak dipertimbangkan sebab turut melandasi pergerakan SPX seperti terlihat pada peraga berikut ini.

Terjaganya tingkat kepercayaan konsumen tidak terlepas dari kesempatan kerja yang terbuka seperti tercermin pada rendahnya tingkat pengangguran. Sementara komponen purchasing manager index (PMI) turun drastis sebab terganggu akibat polemik perang dagang. Namun rasio CC/PMI tetap mendukung kenaikan SPX.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Terlihat temuan model relatif baik di mana uji t-test variabel bebas memuaskan dan dengan koefisien determinasi sekitar 94 persen. Untuk menyikapi berbagai taraf bearish sekaligus juga margin of safety, kami berikan nilai forecast SPX dengan rentang minus hingga tiga standar deviasi. Dengan angka consumer confidence Februari yang masih bagus


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Sehingga rasio CC/PMI berkisar 240, maka angka 2480 untuk SPX 12 Maret 2020 lalu yang mendekati batas bawah tiga standard deviasi. Saat itu Bloomberg fear indicator mencapai angka terburuk negatif 613,5.

Setelah pembalikan Jumat pekan lalu fear indicator masih terbilang tinggi tetap melebihi standard z-score 10,3 persen. Dalam perhitungan kami, angka fear indicator sudah price-in kemungkinan rasio CC/PMI dan produksi minyak Amerika Serikat turun sekitar lima persen sementara harga minyak bertahan pada angka $33.

Seperti terlihat pada tabel di atas, kami juga menyiapkan perbandingan untuk JCI yang secara teknis sudah memasuki kelebihan jual (over-sold). Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, fear indicator JCI juga sudah lebih rendah ketimbang yang terjadi tahun 2008 yang dapat menjadi moment-of-truth bagi mereka yang berani mengabadikan kejatuhan ini untuk memetik keberuntungan jangka panjang.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Jangan Sampai Sentimen Negatif Menjadi Permanen

Dengan yield T-bond yang terbilang rendah, suku bunga global yang menurus serta penguatan indeks dollar yang relatif terbatas, model kami mengindikasikan pelemahan rupiah dan kejatuhan harga SBN lebih terkait memburuknya faktor sentimen.

Secara global, faktor sentimen dapat diiukur dengan menggunakan JP-Morgan emerging market spread yang melebar 74 persen menjadi 485 bps. Secara spefisik diukur dengan angka credit default swap (CDS) yang untuk Indonesia melonjak 132 persen menjadi 157 bps untuk tenor lima tahun.

Artinya penerbit CDS meminta pembayaran 1,57 persen per tahun selama lima tahun untuk melindungi pembeli terhadap kemungkinan negara Indonesia gagal bayar.

Seperti yang kami ingatkan melalui ulasan The Black Swan Moment tanggal 12 Februari 2020, Brazil menjadi negara yang termasuk dalam big picture yang perlu dicermati. Sebab negara ini memiliki utang senilai $1 triliun dollar atau sekitar 84 persen terhadap GDP. Negara yang berutang berisiko ringkih terhadap currency risk, interest rate risk dan income risk.

Berbeda dibanding 2015, risiko income risk kali ini jauh lebih besar terkait kejatuhan harga minyak di mana Brazil sebagai eksportir. Sepanjang tahun berjalan, nilai tukar BRL terdepresiasi 16 persen, yield SBN naik 91 bps menjadi 7,8 persen dan indeks saham IBOV terpangkas 28,5 persen.

Perlu diketahui pasar modal dan nilai tukar Brazil terbilang jadi pemenang sepanjang tahun 2019 lalu. Seperti terlihat pada peraga berikut ini, harga minyak nampak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi brazil. Kejatuhan harga minyak dan kejatuhan mata uang berisiko memicu risiko stagflasi Brazil seperti yang pernah terjadi pada tahun 2015 dan 2016.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Kecemasan inilah yang melandasi memburuknya sentimen terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia. Peraga berikut ini menunjukkan perbandingan CDS antara Turki, Brazil, Indonesia dan Thailand. Terlihat angka CDS dengan cepat meningkat yang menunjukkan pemburukan sentimen.


Sumber : Bloomberg diolah Bahana TCW

Ente Jual, Ane Beli.

Bagi investor domestik yang menilai sentimen seperti CDS ini kurang relevan, maka kejatuhan harga asset seperti SBN memberikan peluang investasi.

Anggap saja menerapkan semboyan ala jagoan Betawi “Ente jual, ane beli“. Jika yield SBN bertenor 10 tahun terus meningkat menjadi 8 persen, maka pembelinya akan menikmati imbal hasil 8 persen per tahun selama 10 tahun. Kalau yield kembali naik, bisa beli lagi.

Sebagai penutup, saya ingin kembali mengingatkan credo berdasarkan pengalaman melintasi berbagai krisis “crisis apparently is always the best time to make money, if you have idle money and guts. Take risks. If you win, you will be happy. If you lose, you will be wise. Be brave. Nothing can substitute experience”. Seperti saran Master Yoda kepada Anakin, just be careful". Bisa investasi secara bertahap.

*Penulis adalah Budi Hikmat, Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management