IPO Unicorn, Apakah MI Berminat Koleksi Sahamnya?

Bareksa • 25 Jun 2021

an image
Ilustrasi perusahaan unicorn yang akan melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) yang bisa menjadi alternatif portofolio investasi bagi reksadana. (Shutterstock)

Karena target dana yang dihimpun jumlahnya besar dinilai berat bagi pasar modal Tanah Air

Bareksa.com - Manajer investasi menilai rencana penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham unicorn merupakan hal yang baik bagi pasar modal Indonesia. Namun, MI masih meragukan mengenai tingkat penyerapan investor terhadap saham unicorn tersebut.

Direktur PT MNC Asset Management Edwin Sebayang menjelaskan, terlepas dari sedang tingginya 'hype' dari unicorn yang akan IPO, saat ini para analis dan investor masih memperdebatkan mengenai valuasi dan tingkat absorbsi dari IPO unicorn tersebut.

"Memang pilihan bagus bagi investor ketika unicorn masuk. Namun realitanya ada konflik antara analis konvensional dan modern serta antara investor konvensional dan modern mengenai valuasi dari unicorn ini dan apakah bisa diabsorpsi," jelas dia dalam acara webinar yang digelar Beritasatu, Kamis (24/6).

Menurut Edwin, apabila unicorn ini akan IPO dengan target dana di bawah Rp1 triliun, mungkin masih bisa diterima oleh pasar modal Tanah Air. Pasalnya, di sisi lain banyak emiten yang sedang membutuhkan dana dengan melakukan rights issue.

Namun apabila unicorn ini akan IPO dengan target dana di atas Rp1 triliun, maka tentunya tidak bisa hanya tercatat di bursa domestik. Unicorn ini harus tercatat juga di bursa luar negeri seperti bursa Hongkong atau Amerika Serikat (AS).

"Kalau misalkan di atas Rp1 triliun, maka akan berat bagi pasar Indonesia untuk menerimanya," papar dia.

Edwin memaklumi antusiasme akan kehadiran unicorn ini karena bisa menambah kapitalisasi pasar di bursa dan juga menarik investor asing ke Tanah Air. Pasalnya, GoTo dengan valuasi US$45 miliar bisa menjadi emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar kedua di bawah BCA apabila jadi melakukan IPO.

Kendati demikian, investor yang akan berinvestasi di saham tersebut tentunya mempertanyakan struktur bisnis yang dimiliki. Edwin mencontohkan seperti halnya bisnis bank, maka harus jelas mengenai lending dan funding-nya, klien dan deposannya siapa saja. 

Lebih lanjut, unicorn juga perlu memperhatikan keberlangsungan sahamnya di pasar modal. Edwin menjelaskan, dari sekitar 800 emiten yang tercatat saat ini, kurang dari 10 persen yang sahamnya bergerak aktif.

Sementara investor ritel yang menyumbang 60 persen terhadap jumlah investor pasar modal sangat memperhatikan pergerakan dan likuiditas dari sebuah saham. Ciri khas dari transaksi investor ritel ini juga sangat pendek, yakni hanya 1-2 hari. Karenanya, diperlukan pula market maker yang bisa mendorong pergerakan harga saham unicorn ini.

"Kalau tidak ada market maker, dan sahamnya tidak bergerak, investor tidak akan masuk," papar dia.

Kalaupun unicorn mengandalkan manajer investasi atau dana pensiun, investor tipe ini sangat melihat valuasi dan likuiditas dari saham tersebut. Apabila saham tersebut terlalu mahal dan tidak likuid, mereka akan cenderung menghindarinya. Begitupun dengan investor asuransi yang sangat memperhatikan cashflow dalam berinvestasi di saham.

"At the end, dalam melihat sebuah emiten akan kembali lagi dari sisi valuasi. Investor juga melihat top line dan bottom line dari sebuah saham, apakah masih merugi atau tidak," tutur dia.

(K09/AM)

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS 

DISCLAIMER​
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.