Freeport Setuju Divestasi 51% Saham, Ini Dampaknya ke Saham ANTM, TINS dan PTBA

Bareksa • 30 Aug 2017

an image
Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Hal ini menjadi sentimen positif untuk beberapa saham yang dipersepsikan akan ikut dalam penyerapan divestasi tersebut

Bareksa.com - Adanya berita positif soal tercapainya kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat untuk mendivestasi 51 persen sahamnya di PT Freeport Indonesia, unit usaha tambang emas dan tembaga di Papua, tampaknya menjadi sentimen positif untuk beberapa saham yang dipersepsikan akan ikut dalam penyerapan divestasi tersebut.

Perusahaan tambang miliki pemerintah yang sebelumnya direncanakan akan menyerap saham Freeport Indonesia di antaranya PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), PT Batu Bara Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Rencananya akuisisi di bawah koordinasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara itu akan dilakukan dengan membentuk holding BUMN tambang dengan Inalum sebagai induk usaha membawahkan ANTM, PTBA, dan TINS.

Opsi akuisisi saham Freeport oleh holding BUMN tambang adalah salah satu opsi dari beberapa opsi lainnya seperti oleh pemerintah pusat, daerah, badan usaha milik daerah, swasta hingga penawaran umum perdana saham (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Hingga kini pemerintah dan Freeport masih melakukan negosiasi dan pembahasan soal tersebut. 

Harga Saham BUMN Tambang

Dari empat BUMN tambang tersebut, tiga di antaranya mencatatkan sahamnya di BEI. Mereka adalah ANTM, PTBA, dan TINS.

Hingga hari ini, Rabu, 30 Agustus 2017, pukul 11.45 WIB, harga saham Aneka Tambang telah bergerak naik 3,4 persen menjadi Rp 755 per saham dari sebelumnya Rp 730 per saham. Saham ANTM paling banyak diborong oleh broker UOB Kay Hian Securities (AI) yang membeli 107 ribu lot saham pada harga rata-rata Rp 754 per saham atau senilai Rp 8,1 miliar.

Selain AI, Mandiri Securities (CC) juga tercatat  membeli sebanyak 101 ribu lot saham pada harga rata-rata Rp 752 per saham atau senilai Rp7,7 miliar.

Grafik: Pergerakan Harga Saham ATNM Secara Intraday

Sumber : Bareksa.com

Selain ANTM, harga saham PT Timah Tbk (TINS) juga meroket 4,3 persen ke level Rp 980 dari sebelumnya Rp 940 per saham.

Danareksa Sekuritas (OD) menjadi pembeli saham terbesar TINS sebesar 51 ribu lot atau senilai Rp 5 miliar. Selain OD, Phillip Securities (KK) juga membeli 17 ribu lot saham atau senilai Rp 1,7 miliar.

Grafik: Pergerakan Harga Saham TINS Secara Intraday

Sumber : Bareksa.com

Adapun harga saham PT Batu Bara Bukit Asam Tbk (PTBA) justru turun 1,5 persen menjadi Rp 12.775 dari sebelumnya Rp 12.975 per saham.

Turunnya harga saham PTBA terdorong penjualan saham oleh CIMB Securities (YU) yang melepas 2 ribu lot saham senilai Rp 2,9 miliar.

Grafik: Harga Saham PTBA Secara Intraday

Sumber : Bareksa.com

Grafik Kesepakatan Freeport dan Pemerintah Indonesia

Sumber : Kementerian ESDM

Setelah melalui serangkaian perundingan dan negosiasi yang berat dan ketat, Pemerintah Indonesia dan Freeport akhirnya mencapai kesepakatan, yang diumumkan pada Selasa, 29 Agustus 2017 kemarin. kedua belah pihak telah mencapai empat kesepakatan final pada pertemuan.

Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
    
Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
    
Ketiga, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama lima tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.
    
Keempat, stabilitas penerimaan negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibandingkan dengan penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.