BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Mantan Dirut Pelindo II, RJ Lino: "Kesalahan Terbesar Saya, Tidak Nyetor"

20 Januari 2016
Tags:
Mantan Dirut Pelindo II, RJ Lino: "Kesalahan Terbesar Saya, Tidak Nyetor"
Mantan Direktur Utama Pelindo II R.J. Lino (Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)

Lino dituduh korupsi karena memutuskan penunjukan langsung pengadaan crane yang menurut dia harganya lebih murah.

Bareksa.com - Richard Joost Lino (63) tengah berada di dua bandul ekstrem kehidupan. Di sisi yang satu, dia diakui banyak kalangan begitu sukses menakhodai Pelindo II menjadi BUMN dengan kinerja mengkilap. Dalam lima tahun, aset Pelindo melesat 73 persen menjadi Rp21,7 triliun di akhir 2014. Laba bersihnya di tahun yang sama mencapai Rp1,6 triliun.

“Ingat, di Pelindo II ada uang cash sekitar Rp18,5 triliun,” katanya kepada Bareksa. Data dan analisis mengenai kas senilai Rp18,5 triliun itu bisa dibaca melalui tautan ini.

Angka-angka itu niscaya membuat banyak pihak — terlebih para politisi — meneteskan air liur.

Promo Terbaru di Bareksa

Di sisi yang lain, pria yang pernah dinobatkan Majalah Tempo sebagai The Best CEO pada 2012 ini, belakangan berturut-turut dihantam persoalan dari segala penjuru. Ia tak henti dirongrong demo serikat pekerja, kantornya digerebek polisi, di-pansus-kan DPR, dijadikan sasaran tembak banyak politisi, dan terakhir, dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ihwalnya: Lino dipersalahkan melakukan penunjukan langsung pengadaan twin-lift crane yang dia yakini harganya lebih murah dan punya kapasitas lebih besar.

Alumnus Teknik Sipil ITB ini mengawali karirnya di Pelabuhan Tanjung Priok sejak 1978 dan lalu bergabung di Pelindo II pada 1984. Sempat hijrah ke China menjadi Project Director di AKR Naning, dia lalu dipanggil pulang oleh Menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil, dan didaulat menjadi Direktur Utama Pelindo sejak 2009.

Berikut petikan wawancara khusus dengannya:

Anda dituduh korupsi. Apakah Anda, keluarga, atau kenalan dekat Anda menerima uang suap atau imbalan lain terkait kasus yang dituduhkan ini?
Saya, keluarga saya, istri saya, anak saya, saya sendiri, bisa dicek di semua bank account kami. Tidak ada. Bersih sama sekali. Kalau kenalan saya tidak tahu, batasan ‘kenalan dekat’ itu kan tidak jelas.

Apa bukti bahwa pernyataan Anda itu benar?
Bisa dilihat dari laporan penelusuran aliran dana oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) waktu di Panitia Khusus (Pansus) DPR. Kalau ada bukti saya salah, pasti udah ribut. Saya pasti sudah jadi bancak’an (diperas beramai-ramai, red).

Sepengetahuan Anda, atau pengacara Anda, apakah KPK memiliki bukti aliran uang suap atau imbalan kepada Anda, keluarga, atau orang dekat Anda?
Saya tidak mengerti. Tapi saya mendapat informasi mereka (KPK) minta informasi ke BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) mengenai kasus maintenance (pemeliharaan) untuk crane. Kasus ini awalnya dari audit investigasi BPKP di tahun 2011 dan hasilnya dinyatakan tidak ada kerugian negara.

Illustration

Video wawancara dengan R.J. Lino, klik di tautan ini.

Jadi, Anda dipersalahkan persisnya karena apa?
Saya juga tidak mengerti secara persis. Tapi, kalau melihat surat panggilannya, itu karena proses pengadaan crane yang dilakukan melalui penunjukan langsung dan dalam proses pengadaan itu kami menambahkan maintenance.

Urusan maintenance itu jauh sekali dari garis-komando saya sebagai Dirut. Itu di level operasional. Di Pelindo II, mungkin saya satu-satunya dirut yang hampir tidak pernah meneken kontrak. Hanya hal-hal tertentu saja saya ikut teken kontrak. Saya tidak mengikuti proses lelang, pengumuman lelang, siapa yang menang, pembayaran… Saya tidak pernah ikut. Kami bagi-bagi tugas, karena pekerjaan begitu banyak.

Nah, kenapa dalam kasus pengadaan crane ini saya ikut masuk, karena selama periode 2007-2009 sudah sembilan kali lelang tapi gagal terus.

Akhirnya ditunjuk langsung?
Karena sudah sembilan kali lelang gagal, pada lelang ke-10 kami undang tiga perusahaan. Dua dari China, satu dari Korea. Dua perusahaan China ini adalah yang waktu saya di China bikin seleksi untuk Aero, dua perusahaan itu masuk daftar. Jadi, hanya dua itu yang kami undang dalam lelang Pelindo II.

Lalu kami kasih tahu bujetnya, owner estimate berapa. Karena nilainya rendah, yang dari Korea tidak jadi memasukkan penawaran. Sehingga yang masuk cuma dua dari China. Penawaran pertama lebih rendah dari owner estimate kami. Penawaran kedua di atas bujet. Jadi, sebetulnya kalau langsung menunjuk saja yang mengajukan penawaran pertama, selesai, tidak akan ada yang meributkan. Sudah 10 kali lelang, bayangkan!

Kebetulan, perusahaan pertama itu juga menawarkan option yang semula tidak kami minta, yaitu twin lift crane. Sebagai catatan, awalnya yang kami lelang itu single lift crane.

Twin lift crane yang ditawarkan perusahaan ini punya kapasitas 50 ton. Harganya di bawah bujet, anggaran masih cukup, dan twin lift crane itu bisa angkat 2 x 20. Di Indonesia, kontainer itu sebagian besar 20 feet. Jadi, bagus sekali. Sekali angkat bisa dua sekaligus, hampir dua kali kapasitas single lift crane.

Yang jadi pertimbangan saya juga waktu itu, pelabuhan-pelabuhan kita seperti di Pontianak, Panjang, Palembang lokasinya di tengah kota. Jadi memperluas dermaga sudah tidak mungkin. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kapasitas adalah dengan menggunakan alat yang lebih tinggi seperti ini.

Apalagi, begitu lihat angka penawarannya, saya surprised sekali. Langsung saya bilang, "Oke, panggil orang ini, tunjuk langsung. Negotiate for twin lift."

Nah, ini yang sekarang malah diributkan. Katanya, kok pengadaannya tidak melalui proses lelang lagi. Padahal, jelas-jelas harga twin lift crane ini lebih murah dari penawaran kedua yang single lift. Jadi, atas dasar itu, ya sudah saya ambil saja yang twin lift.

Yang disoal adalah soal penunjukan langsung. Tapi bukankah dalam proses 9-10 kali lelang yang terus gagal itu juga sempat ada dua kali penunjukan langsung dan lalu gagal juga? Apakah penunjukan langsung dibolehkan menurut peraturan internal Pelindo II dan pemerintah?
Penunjukan itu dibolehkan, kalau setelah berkali-kali lelang gagal. Dua kali lelang gagal saja, sudah bisa penunjukan langsung. Atau, untuk pengadaan aset yang bersifat kritikal. Crane di dermaga itu aset kritikal. Selain itu, di samping penting, harganya juga lebih murah. Jadi, apa salah saya?

Lebih murah? Berapa persen selisihnya?
Saya kira sampai 20-30 persen.

Lalu, apa dasar dari tuduhan kerugian negara itu?
Saya melihatnya begini. Ada dua hal. Karena ini penunjukan langsung, tanpa lelang, lalu dianggap bertentangan dengan aturan. Karena melawan aturan, pemenang lelang jadi diuntungkan. Padahal, pada saat itu terjadi penumpukan di pelabuhan Pontianak. Ongkos mencapai Rp5-6 juta per kontainer. Kan masyarakat yang jadi korban.

Sebelum pembelian crane ini, pernah terjadi penunjukan langsung di Pelindo II?
Pernah, karena memang ada aturannya.

Grafik: Pertumbuhan Aset Pelindo II, 2010 - 1H 2015

Illustration

Sumber: Pelindo II

Soal perpanjangan kontrak Hutchison di JICT (anak perusahaan Pelindo II) itu bagaimana? Benarkah bila diperpanjang justru lebih menguntungkan daripada tidak diperpanjang?
Jadi begini, kontrak dengan Hutchison itu kan berawal di tahun 1999, bukan saya yang bikin. Tahun 1999, setelah krisis, kita jual apa aja dan kalau ada yang mau beli itu sudah bagus. Kontrak ini nanti berakhir 2019.

Sementara itu, sekarang kita punya proyek New Priok dan kita mencari partner di mana bisa ambil 49 persen saham. Kita 51 persen. Kami lakukan tender internasional. Kami undang PSA, MT, China Merchant, Mitsui, dsb. Yang menang Mitsui, harga yang ditawarkan bagus sekali. Dibandingkan kontrak JICT yang diteken tahun 1999 lalu itu, selisihnya memang besar.

Sementara itu, kontrak dengan Hutchison masih sampai 2019. Saya mau renegosiasi kontrak JICT itu dengan terms (persyaratan) yang lebih baik dibandingkan New Priok sebagai patokan. Ini kan bagus sekali untuk Indonesia.

Negeri ini katanya mau mengajak investor asing supaya masuk di infrastruktur. Buat saya, di sektor infrastruktur barang yang sudah dibangun di sini kan tidak bisa mereka bawa pulang. Kalaupun ada investor asing yang mau 100 persen di infrastruktur, biarkan saja. Daripada kita mau sok nasionalis, malah jadi mahal buat apa? Jadi, uangnya bisa dipakai buat yang lain.

Performa Hutchison sendiri selama 15 tahun bagus. Karena itu saya mulai kontak mereka. Saya bilang, “Anda bisa buat terms lebih baik daripada New Priok sebagai benchmark? Kalau bisa, kita bicara, kita bisa pertimbangkan kasih perpanjangan di JICT.”

Mereka bisa terima konsep seperti itu.

Kemudian kami mula-mula menanyakan kepada BPKP dari segi komersial kalau kami bisa bikin term-nya lebih bagus, apakah bagus buat Indonesia? BPKP menjawab: proceed.

Saya lalu tanya tim hukum Pelindo II, dari segi legal apakah bisa diperpanjang? Apakah ada masalah dengan konsesi? Jawabnya: yes bisa diperpanjang dan tidak ada masalah dengan konsesi.

Kami lalu mulai proceed sesuai rekomendasi BPKP itu, pakai financial advisor terkemuka. Beberapa yang kami undang termasuk Rothschild, Deutsche Bank, JP Morgan, dsb. Mereka diperkuat tim hukum dan konsultan engineering dari BMT, Inggris.

Dewan Direksi akhirnya menyatakan setuju. Mereka mulai bernegosiasi dengan tim Hutchison Hongkong. Saya juga bertanya secara resmi ke JAM Datun (Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara) sebagai pengacara negara, apakah kontrak bisa diperpanjang? Jawabnya: yes, bisa.

Jadi, BPKP, JAM Datun, external lawyer, semua jawab kontrak bisa diperpanjang.

Setelah selesai kita negosiasi, angka final sudah kami dapatkan, kami bikin semacam kesepakatan dengan CEO Whampoa Group (perusahaan induk Hutchison). Angka itu sekali lagi kami kirim ke BPKP, kami minta di-review apakah itu sudah bagus buat kita, bisa diperpanjang atau tidak.

BPKP bikin laporan Januari sampai Mei. Setelah empat bulan lebih, kesimpulannya: hasil review yes, commercially yes.

Kemudian kami minta rekomendasi komisaris. Setelah itu kami kirim ke pemegang saham, Kementerian BUMN. Di sini timbul persoalan. Saya mengerti, beberapa pejabat Kementerian BUMN terlibat dalam kontrak JICT pada 1999 lampau itu.

Menteri BUMN Pak Dahlan Iskan waktu itu support. Tapi ada pejabat lain reluctant untuk kasih perpanjangan. Pejabat ini perlu dipertanyakan karena dia terlibat dalam kontrak 1999. Begitu dikasih perpanjangan dengan terms yang jauh lebih bagus, kan jadi bisa langsung dibandingkan dan kelihatan jeleknya kontrak 1999 dulu itu. Kalau tidak diperpanjang, kan tidak bisa diperbandingkan. Yah, manusiawi lah…

Kami bahkan juga meminta pendapat KPK. Jawaban KPK: kalau sesuai aturan ya silakan saja.

Bagaimana dengan keberatan Menteri Perhubungan?
Oleh Kementerian Perhubungan, kami disuruh coba lelang lagi, dengan right to match untuk Hutchison. Atas permintaan itu, kami lelang lagi. Selain Hutchison yang dianggap operator pelabuhan nomer satu di dunia, kami minta penawaran dari the best four. Kami minta ke PSA, China Merchant, dsb.

Jadi, perpanjangan kontrak Hutchison di JICT sudah dilakukan melalui lelang?
Sudah, dengan right to match itu. Kami bilang ke Hutchison yang memegang kontrak saat ini, “Kalau ada orang lain nawar dan kamu tidak bisa ikutin harga mereka, sorry.”

Kami minta the best four operator pelabuhan dunia untuk memasukkan penawaran, yakni: PSA, MTNT Maersk Line, China Merchant, dan DP World. Semua menjawab, “Pak Lino, you get the best offer for Indonesia already. we cannot bid better than Hutchison.”

Dengan kondisi seperti itu kan harusnya selesai. Eh, tapi setelah itu Menteri Perhubungan bilang bahwa ini perlu ada konsesi sehingga tidak bisa langsung diberikan perpanjangan kontrak.

Lho, kok konsesi? Konsesi itu urusannya Pelindo II dengan negara. Ini perpanjangan kontrak, urusan saya dengan anak usaha saya sendiri. Kok butuh konsesi? Saya ngotot di situ. Kami rapat dengan Menko Perekonomian, saya terus ngotot. Akhirnya, saya minta pendapat JAM Datun.

Surat Anda ke JAM Datun ini yang kedua kali…
Ya, yang pertama tadi apakah secara kontrak bisa diperpanjang atau tidak, yang kedua ini mengenai konsesi karena ada surat dari Menteri Perhubungan. Jawaban JAM Datun: tidak perlu konsesi. Ada analisis hukumnya, saya berikan ke Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan.

Kemudian ganti menteri. Saya mesti menjelaskan lagi dari awal. Saya lalu menjelaskan ke Bu Rini Sumarno (Menteri BUMN era Jokowi). Saya jelaskan, IRR (Invetment Rate of Return) Hutchison hanya 5,5 persen. Bu Rini kaget kok mau investor asing dengan angka segitu. Biasanya, IRR di jalan tol untuk investor asing itu 20 persen. Kalau Mitsui biasanya 12-16 persen. Ini kok mau 5,5 persen saja?

Berdasarkan analisis Deutsche Bank saya kasih lihat untuk Whampoa Group, IRR hanya 4,5 persen, cost of fund hanya 1,5 persen. Karena mereka sudah lama di Indonesia, country risk bisa dihilangkan. Jadi untuk mereka IRR 5,5 persen dengan perpanjangan kontrak, sudah dianggap bagus.

Bu Rini bilang, “Pak Lino, apakah bisa minta tambahan advance payment ke mereka?”

Saya kirim surat ke mereka, “Ini permintaan menteri saya, apakah kamu (Hutchison) bisa kasih tambahan?”

Dari Hutchison di JICT, kita dapat upfront fee US$200 juta, di luar itu kita dapat dividen 51 persen dari net profit.

Mereka jawab setuju ada tambahan $15 juta.

Banyak yang mempertanyakan kok Anda nekat memperpanjang kontrak Hutchison di JICT padahal sehari sebelumnya ada surat dari Komisaris Utama Pelindo Tumpak Hatorangan agar jangan diperpanjang?
Bukan begitu. Begini yang sebenarnya. Pansus membuat pernyataan itu hanya berdasarkan surat Pak Tumpak yang sepotong. Waktu Pak Tumpak menulis surat itu, didasarkan rekomendasi yang tidak lengkap, tidak ada rekomendasi dari JAM Datun.

Maksud Anda, jadi ada dua surat Komisaris Utama Pelindo II di mana di surat yang kedua Tumpak menyatakan setuju?
Iya. Banyak orang cuma melihat surat pertama yang tidak setuju. Tidak dilihat surat yang lain yang menyatakan setuju. Saya melakukan perpanjangan itu prosesnya sudah panjang. Mau apa lagi? Saya belum minta izin Tuhan saja itu… hahaha…

Anda merupakan salah satu tokoh yang membantu Presiden Jokowi merumuskan program unggulan tol laut. Tapi lalu Anda digerebek polisi, di-pansus-kan. jadi tersangka KPK. Ada apa sebenarnya?
Kesalahan terbesar saya ada dua. Pertama, perusahaan ini (Pelindo II) terlalu kaya. Jadi, kalau dulu tidak menarik, sekarang jadi menarik sekali. Juga ada banyak orang yang saya usir dari Pelindo II. Kedua, saya tidak nyetor, tidak bagi-bagi uang… (kd)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.314,83

Up0,43%
Up3,55%
Up0,02%
Up5,95%
Up19,11%
-

Capital Fixed Income Fund

1.764,51

Up0,56%
Up3,41%
Up0,02%
Up7,20%
Up17,66%
Up42,85%

STAR Stable Income Fund

1.915,47

Up0,53%
Up2,89%
Up0,02%
Up6,23%
Up30,99%
Up60,26%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.758,34

Down- 0,10%
Up3,14%
Up0,01%
Up4,70%
Up19,30%
Up47,85%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.038,12

Up0,08%
Up2,01%
Up0,02%
Up2,91%
Down- 1,48%
-
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua