BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

MUI Anggap Haram? Ini Alokasi Penggunaan Dana BPJS Kesehatan

31 Juli 2015
Tags:
MUI Anggap Haram? Ini Alokasi Penggunaan Dana BPJS Kesehatan
Warga menunjukan kartu BPJS Kesehatan yang siap digunakan (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai syariah karena dinilai mengandung unsur riba, gharar dan maisir

Bareksa.com - Kabar mengejutkan datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan tidak sesuai syariah. Penilaian MUI itu dikeluarkan melalui rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Tegal, Jawa tengah pada 7-10 Juni 2015 lalu.

Dalam hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diperoleh Bareksa.com dari situs www.mui.or.id disebutkan BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai syariah karena kebijakan tersebut mengandung unsur riba (mengambil tambahan dari modal), gharar (tidak jelas dan menimbulkan kerugian salah satu pihak) dan maisir (judi). Salah satu yang disorot oleh MUI, misalnya denda keterlambatan pembayaran iuran (premi) sebesar 2 persen yang dikenakan BPJS Kesehatan. Penambahan denda keterlambatan inilah yang dianggap riba.

Riba sendiri memiliki arti pengambilan tambahan, baik dalam transaksi maupun pinjam-meminjam. Dalam kitab suci Al Quran, riba dan judi sangat terlarang dan termasuk Haram. Tak mengherankan bila publik langsung menyimpulkan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia MUI itu secara tidak langsung menyebut bahwa program BPJS Kesehatan itu haram.

Promo Terbaru di Bareksa

Masalah lain yang disorot oleh MUI adalah ketidakjelasan dana iuran (premi) peserta yang terkumpul di BPJS Kesehatan. Premi peserta mandiri terbagi dalam tiga kelas perawatan, antara lain kelas 1 (premi Rp59.500), kelas 2 (premi Rp42.500) dan kelas 3 (premi Rp25.500). Masyarakat miskin juga otomatis juga menjadi peserta JKN dan tak perlu membayar premi karena pemerintah sudah menanggungnya lewat fasilitas penerima bantuan iuran (PBI) Rp19.225 per bulan

Di mata MUI, dana pembayaran iuran itu belum jelas milik siapa dan pengelolaan dana itu lebih menjurus kepada praktek asuransi konvensional. Penyaluran dana (hasil iuran) juga dianggap tidak jelas dan dikhawatirkan disalurkan ke hal yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Aminudin Yakub, Ketua Fatwa MUI Pusat mengungkapkan selama ini sebenarnya MUI tidak pernah menyebutkan jika BPJS Kesehatan haram. MUI hanya menyebut program BPJS Kesehatan tidak sesuai prinsip syariah. Justru, kata dia, MUI sepenuhnya mendukung adanya jaminan sosial. “Dalam kajiannya MUI pertama sejak awal MUI ini mendukung dan mendorong lahirnya UU Jaminan Sosial, termasuk ketenagakerjaan dan kesehatan,” katanya kepada Bareksa.com, Jumat 31 Juli 2015.

Namun, kata Aminudin, memang MUI menemukan kegiatan yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan tidak jelas akad dan kontraknya, sehingga menimbulkan kemungkinan maisir (judi).

Ketua MUI Din Syamsuddin juga membenarkan bahwa MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap BPJS Kesehatan. Sidang Ijtima para ulama MUI hanya mengeluarkan rekomendasi dan saran penyempurnaan BPJS. “Setelah saya teliti, tidak ada kata haram di dalamnya,” kata Din dalam konferensi pers jelang Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Sabtu, 1 Agustus 2015 seperti dilansir Tempo.co

Din mengatakan sejauh ini para ulama memandang ada sejumlah hal dalam BPJS yang belum sejalan dengan syariah Islam. Di antaranya mekanisme pencairan yang dianggap menyusahkan masyarakat. “Kami hanya meminta untuk disempurnakan.”

Tentu saja kesimpang siuran fatwa haram tersebut telah meresahkan para peserta layanan BPJS Kesehatan, yang jumlahnya telah mencapai 133 juta orang (akhir 2014), dan notabene sebagian besar beragama Islam.

Aminudin mengatakan, MUI mendorong agar pengelolaan dana BPJS Kesehatan dilakukan sesuai prinsip syariah. Dengan demikian masyarakat yang ingin hidup dengan prinsip syariah bisa ikut menikmati program pemerintah tanpa keraguan.

Prof. Hasbullah Tabrany, salah seorang konseptor dan pemikir JKN seperti dikutip dari KompasTV menyebutkan, ada kesalahan pandangan bahwa BPJS Kesehatan disamakan dengan perusahaan Asuransi. BPJS Kesehatan justru merupakan Badan Hukum Publik yang menjadi bagian dari Pemerintah. Dengan demikian JKN harus dipandang sebagai hubungan Negara (Pemerintah) dan warga negara (Rakyat), bukan orang dengan perusahaan asuransi.

Dalam hal Negara terhadap Warga Negaranya, iuran JKN (BPJS Kesehatan) bersifat sama seperti Pajak yang berlaku wajib. “Jika Iuran JKN tidak sesuai syariah, maka pajak pun tidak sesuai syariah,” ujar Hasbullah

Benarkah praktek BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah? Lalu ke mana sebenarnya dana peserta dialokasikan?

Irfan Humaidi, Kepala Hubungan Massa BPJS Kesehatan, menjelaskan dalam prakteknya BPJS Kesehatan identik dengan asuransi berbasis syariah. Dalam pengelolaan dana iuran (premi) peserta misalnya, BPJS Kesehatan sesuai peraturan menteri keuangan mendapat hak mendapatkan fee sebesar 6,25 persen.
Hak itu mirip dengan pengeloaan dana—fee—oleh Badan Amil Zakat yang jumlahnya 1/8 atau 12,5 persen. “Jadi hak mendapatkan fee ini mirip dengan di sistem syariah, bahkan fee kami lebih kecil dari ketentuan dalam Islam,” ujarnya kepada Bareksa, Jumat 31 Juli 2015

Adapun sisa dana iuran peserta sebesar 93,75 persen merupakan hak para peserta BPJS Kesehatan dan terkumpul dalam Neraca Jaminan Sosial (DJS). Dana kolektif peserta dalam DJS ini selanjutnya dikembalikan kepada para peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Misalnya ada sekian peserta BPJS Kesehatan sakit atau dirawat, maka dananya diambil dari situ,” ujar Irfan.”Ini seperti sistem (syariah) Takaful yang menjamin satu sama lain.”

Sebaliknya, kata dia, dalam praktek asuransi konvensional, perusahaan asuransi mendapatkan seluruh hak atas premi yang dibayarkan nasabah atau peserta asuransi.

Terkait alokasi penggunaan dana, menurut Irfan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 07 Tahun 2013 dana iuran peserta yang masuk ke BPJS Kesehatan ditempatkan dalam deposito di bank kustodian milik pemerintah atau diinvestasikan dalam surat utang Negara (SUN).

Namun, dana tersebut hanya bersifat ‘numpang lewat saja’ karena BPJS tidak memakainya untuk mencari keuntungan, apalagi memburu imbalan bunga. “BPJS itu lembaga nirlaba yang tidak mencari keuntungan,” ujarnya.”Jadi anggapan bahwa BPJS Kesehatan melakukan praktek riba sangat tidak benar.”

Bahkan, kata Irfan, dana iuran (premi) peserta sudah langsung terpakai untuk pembayaran klaim rumah sakit, dokter dan apotek yang mendukung program jaminan kesehatan. Dia merujuk unaudit 2014 atas neraca DJS. Berdasarkan audit tersebut, perolehan pendapatan iuran peserta mencapai Rp40,72 triliun. Namun, jumlah pembayaran klaim (manfaat) peserta jaminan kesehatan mencapai Rp42,6 triliun. Artinya terjadi defisit Rp1,88 triliun dan ditutup oleh perseroan dan tambahan modal dari pemerintah.

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.313,18

Up0,15%
Up3,81%
Up0,02%
Up5,82%
Up18,30%
-

Capital Fixed Income Fund

1.766,42

Up0,60%
Up3,41%
Up0,02%
Up7,32%
Up17,24%
Up43,22%

STAR Stable Income Fund

1.917,41

Up0,56%
Up2,94%
Up0,02%
Up6,33%
Up30,71%
Up60,33%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.753

Down- 0,46%
Up3,74%
Up0,01%
Up4,38%
Up18,76%
Up47,23%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.035,73

Down- 0,22%
Up1,77%
Up0,01%
Up2,68%
Down- 2,15%
-
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua