Investor Intitusi Reksadana Terpoteksi Banyak Keluar, Nasabah Ritel Justru Setia

Abdul Malik • 09 Jun 2021

an image
Ilustrasi investasi di reksadana terproteksi. (Shutterstock)

Bagi nasabah institusi, ketertarikan pada reksadana terproteksi akan berkurang karena mereka akan memilih untuk membeli obligasi langsung

Bareksa.com - Investor ritel reksadana terproteksi dinilai akan tetap setia berinvestasi dan sebaliknya investor institusi bisa berkurang ketertarikannya untuk melanjutkan investasi.

Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management menyampaikan penilaian itu terkait dengan wacana penurunan pajak obligasi dari 15 persen menjadi 10 persen. Meski begitu, untuk jenis reksadana terproteksi aturan pajak masih kompetitif yakni 10 persen.

"Ada wacana tarif pajak obligasi mau turun dari 15 persen menjadi 10 persen dan di sisi lain tarif pajak saat ini di reksadana untuk obligasi adalah 10 persen. Kalau berlaku, hal ini akan menjadi disinsentif bagi reksadana proteksi," kata Rudiyanto kepada Bareksa, Selasa malam (8/6/2021).

Menurut Rudiyanto khusus untuk nasabah institusi, ketertarikan pada reksadana terproteksi akan berkurang karena mereka akan memilih untuk membeli obligasi langsung.

"Untuk nasabah ritel masih bisa tumbuh karena akses ke obligasi masih terbatas," lanjutnya.

Pernyataan senada dikatakan Tubagus Farash Akbar Farich, Direktur Avrist Asset Management.

"Saya rasa reksadana terproteksi masih menarik untuk investor ritel karena untuk pembelian obligasi korporasi atau SUN umumnya masih diperlukan jumlah besar," kata Farash ketika dihubungi Bareksa, kemarin.

Farash melanjutkan melalui reksadana terproteksi tidak perlu dana besar. "Kemudian kemudahan dalam proses investasi dan pencatatan atas investasinya," imbuhnya.

Selain itu, Farash menjelaskan ketika berinvestasi di reksadana terproteksi yang sifatnya closed end ini investor dalam hal monitoring dibantu oleh fund manager.

"Bila ada sesuatu hal dengan emiten maka fund manager akan bekerja mewakili investor. Jadi memudahkan investor," ujar dia.

Mengakhiri periode Mei 2021, industri reksadana Tanah Air mengalami kontraksi pada total dana kelolaan (asset under management/AUM) yang tergerus cukup signifikan.

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Mei 2021 AUM industri reksadana di Indonesia tercatat Rp536,29 triliun, menguap Rp31,73 triliun (5,59 persen) dari posisi per April 2021 yang senilai Rp568,02 triliun.

Penurunan AUM yang terjadi pada bulan lalu diiringi dengan keluarnya sebagian pelaku pasar dengan melepas kepemilikan reksadananya. Hal tersebut terlihat dari penurunan unit penyertaan dari sebelumnya 430,82 miliar unit per April 2021, menjadi 397,59 miliar unit penyertaan per Mei 2021.

Artinya, sepanjang Mei 2021 ada penurunan unit penyertaan yang cukup signifikan yakni mencapai 33,23 miliar atau sekitar 7,71 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Anjloknya AUM industri reksadana yang terjadi pada bulan Mei 2021 sebenarnya tidak disebabkan oleh penurunan mayoritas tipe reksadana yang ada, namun lebih ditekan oleh penurunan salah satu jenis yang sangat besar yakni reksadana terproteksi.

Berdasarkan data OJK, dari 9 tipe reksadana yang ada, 4 di antaranya mengalami penurunan AUM, sementara 5 tipe lainnya masih mampu mencatatkan kenaikan AUM. Reksadana terproteksi mengalami kontraksi terdalam dengan turun lebih dari Rp39 triliun dan berkontribusi sangat besar terhadap penurunan AUM industri.

Karakteristik Reksadana Terproteksi

Mengutip penjelasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), reksadana terproteksi adalah jenis reksadana yang akan memproteksi 100 persen pokok investasi investor pada saat jatuh tempo.

Reksadana ini memiliki jangka waktu investasi yang telah ditentukan sebelumnya oleh manajer investasi, tetapi dapat dicairkan sebelum jatuh tempo tanpa jaminan adanya proteksi akan pokok investasi.

Tapi, dengan adanya kata “terproteksi”, bukan berarti produk investasi ini tanpa risiko ya. Proteksi di sini berbeda dengan asuransi.

Contohnya, Anda mengasuransikan kendaraan bermotor Anda, kemudian terjadi kecelakaan atau dicuri, maka Anda bisa mengklaim atas risiko tersebut.

Makanya, Ketua Presidium Dewan Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan risiko dari instrumen investasi ini harus dipahami oleh investor, baik risiko dari instrumennya maupun risiko yang melekat pada aset dasar dari reksa dana tersebut.

Menurut analisis Bareksa, beberapa risiko yang terdapat dalam reksadana terproteksi antara lain :

• Turunnya harga obligasi karena penerbit obligasi gagal melunasi utang obligasi.
• Tindakan dari investor yang mencairkan dananya sebelum jatuh tempo, dijual ketika harga obligasi di bawah harga pembelian.
• Manajer investasi mungkin tidak hanya menginvestasikan pada obligasi, tapi juga jenis investasi yang lain. Jadi ada kemungkinan kerugian pada jenis investasi lain di saat pembayaran obligasi yang lancar.

Selain itu, investor reksadana terproteksi juga perlu berhati-hati dalam memilih manajer investasi, jangan sampai tergiur pada tingkat imbal hasil yang tinggi saja.

Investor diimbau untuk mempelajari dan mengkritisi prospektus dan dokumen keterbukaan produk yang disiapkan oleh manajer investasi sebelum memutuskan membeli reksadana tersebut.

Karena kembali, reksadana terproteksi bukan berarti bebas risiko. Risiko yang melekat pada aset dasarnya tetap harus dihadapi oleh investor reksadana terproteksi.

(Martina Priyanti/AM)

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS 

DISCLAIMER​
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.