Review Kinerja Ekonomi, Pasar Saham dan Reksadana di 2020

Abdul Malik • 04 Jan 2021

an image
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan perdagangan akhir tahun 2020 IHSG ditutup melemah 57,1 poin atau 0,95 persen ke level 5.979,07. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

Pasar modal domestik bergerak dengan fluktuasi cukup hebat sepanjang tahun lalu

Bareksa.com - Sayonara 2020! Tahun yang menjadi masa paling sulit bagi perekonomian global. Hampir seluruh negara di berbagai belahan dunia masuk ke dalam jurang resesi, tak terkecuali Indonesia.

Wabah Covid-19 menjadi momok menakutkan bagi dunia hingga sukses memukul sendi-sendi kehidupan manusia. Flashback ke belakang, virus tersebut muncul pertama kali di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020.

Sejak kejadian itu, masyarakat mulai panik. Penyebaran virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China tersebut semakin meluas. Pemerintah akhrinya mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan tersebut membuat ekonomi Indonesia lumpuh. Hampir seluruh sektor ekonomi tertekan, mulai dari perdagangan, UMKM, transportasi, hingga pariwisata.

Imbasnya, ekonomi di kuartal II 2020 (April-Juni) terkontraksi dalam. Badan Pusat Statistik(BPS) mencatat ekonomi Indonesia negatif 5,32 persen year on year (yoy). Pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi yang terendah sejak kuartal I 1999 yang pada saat itu mencapai -6,13 persen.

Kontraksi ekonomi terjadi di kuartal II 2020 memberi efek kejut. Di sisi lain pemerintah masih sedikit bersyukur, mengingat kontraksi yang dialami masih cukup baik jika dibandingkan negara-negara lain.

Adapun pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi masih tercatat minus. Laporan BPS menyebutkan ekonomi Tanah Air terkontranksi 3,49 persen YoY. Alhasil, Indonesia resmi menyandung status resesi karena ekonominya yang tumbuh negatif selama dua kuartal beruntun.

Pasar Saham Bergejolak

Pasar modal domestik bergerak dengan fluktuasi cukup hebat sepanjang tahun lalu, terlebih pada Maret 2020 saat di mana Covid-19 hadir di Indonesia.

Di hari terahirnya perdagangan tahun 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. Alhasil, sepanjang tahun 2020 IHSG mencatatkan koreksi 5,09 persen year to date (YtD).

Di sisi lain, sepanjang tahun lalu investor asing tampak banyak “kabur” dari bursa saham Tanah Air dengan catatan aksi jual bersih (net foreign sell) Rp53,82 triliun di seluruh pasar.

Kondisi tersebut cukup masuk akal, mengingat sepanjang 2020 pelaku pasar dihantui oleh berbagai sentimen negatif yang memukul perekonomian nasional, bahkan ekonomi global karena adanya infeksi virus corona atau Covid-19.

Hal itu sangat berpengaruh terhadap kinerja IHSG yang sempat mengalami kemorosotan parah di bulan Maret 2020. Awan hitam mulai muncul pada perdagangan 9 Maret 2020, saat di mana IHSG ditutup terjun bebas hingga 6,5 persen ke level 5.136. Kondisi tersebut menjadi hal terburuk dalam sejarah bursa Indonesia.

Keadaan itu membuat regulator dan pengawas pasar modal mengambil tindakan. Pada 10 Maret 2020 Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan diterapkannya kebijakan penghentian perdagangan atau trading halt.

Kebijakan tersebut diambil BEI dengan menindaklanjuti Surat Perintah Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan tanggal 10 Maret 2020 perihal Perintah Melakukan Trading Halt Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Pasar Modal Mengalami Tekanan.

Sejak diberlakukan kebijakan tersebut, setidaknya sudah 6 kali perdagangan saham dikenakan trading halt, lantaran sudah jatuh hingga 5 persen lebih. Kondisi tersebut terjadu pada 12 Maret 2020, 13 Maret 2020, 17 Maret 2020, 19 Maret 2020, 22 Maret 2020 dan 30 Maret 2020.

Selain trading halt, BEI dan OJK juga menerapkan berbagai kebijakan untuk menahan kepanikan pasar. Seperti mengubah aturan batas bawah auto rejection saham dari sebelumnya 10 persen menjadi 7 persen.

Dengan adanya trading halt maka saham yang sudah turun 7 persen dalam sehari tak bisa diperdagangkan lagi. Kebijakan ini untuk menahan gelombang aksi jual saham yang didorong oleh kepanikan pasar.

Kinerja Reksadana

Dengan kondisi IHSG yang melemah 5,09 persen sepanjang tahun 2020, tentu secara umum membuat kinerja reksadana yang berbasiskan saham ikut mengalami tekanan.

Sumber: Bareksa

Berdasarkan data Bareksa, reksadana saham menjadi yang paling tertekan dibandingkan jenis reksadana lain dengan kinerja -7,04 persen YtD. Satu tingkat di atasnya, reksadana campuran tercatat mengalami koreksi yakni -0,79 persen YtD, mengingat jenis reksadana ini juga memiliki alokasi saham dalam portofolionya.

Adapun reksadana pasar uang yang memiliki karakteristik risiko yang sangat rendah, secara umum juga mengalami pertumbuhan negatif dengan penurunan tipis sebesar -0,47 persen YtD. Hanya satu jenis reksadana yang berhasil tumbuh positif pada tahun lalu, yakni reksadana pendapatan tetap yang mampu melaju 6,9 persen YtD.

Perlu diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.

Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.

(KA01/Arief Budiman/AM)

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS

​DISCLAIMER​
Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.