Bahana TCW : ECB Pangkas Suku Bunga, Begini Dampak dan Peluangnya Bagi Indonesia

Bareksa • 16 Sep 2019

an image
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat (Bareksa/AM)

Pekan lalu Bank Sentral Eropa (ECB) memangkas suku bunga 10 basis poin menjadi negatif 0,5 persen

Bareksa.com - Pekan lalu, Bank Sentral Eropa (ECB) memulai kembali aksi pelonggaran likuiditas (quantitative easing/QE) dengan memangkas suku bunga 10 basis poin menjadi negatif 0,5 persen.

Suku bunga sangat rendah ini dipertahankan untuk mencegah perlambatan ekonomi yang terpukul dampak perang dagang dan ketidakpastian politik British Exit (Brexit) sementara inflasi diharapkan bergerak mendekati target 2 persen. Angka inflasi bulan Agustus melambat jadi 1 persen.

Aksi QE akan dimulai pada November dengan membeli surat utang senilai 20 miliar euro setiap bulan hingga periode waktu yang belum ditentukan.

Kekuatiran pelemahan ekonomi  di kawasan Eropa mencuat setelah angka kegiatan manufaktur dan ekspor Jerman, negara dengan perekonomian terkuat, mengalami penurunan. Pemerintah Jerman sendiri disinyalir telah menyiapkan stimulus untuk menahan pelemahan berlanjut.

Belajar dari pengalaman sejarah, Kepala Makro ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menjelaskan kebijakan pelonggaran likuiditas secara masif yang dilakukan bank sentral negara maju ditujukan untuk mempermudah proses de-leveraging (pengurangan) utang masyarakat.

"Jepang, sebagai negara yang mengalami penuaan penduduk sejak tahun 1970 dan dengan rasio utang terhadap PDB 237 persen atau tertinggi di dunia, menjadi contoh," ujarnya dalam keterangan tertulis (16/9/2019).

Bank of Japan paling agresif melakukan aksi pelonggaran likuiditas sehingga rasio total aset bank sentral terhadap GDP mencapai tertinggi melewati 100 persen. Angka ini jauh dibandingkan the Fed dan ECB yang masing-masing mencapai 18 persen dan 23 persen.

Sumber Bloomberg menunjukkan Bank of Japan memiliki sekitar 47 persen Surat Utang Negara. Dengan pembelian Surat Utang Negara, bank sentral dengan sengaja membanjiri likuiditas kepada perekonomian domestik. Bahkan Bank Sentral Negara Sakura ini menargetkan yield obligasi negara untuk tenor 10 tahun berkisar nol persen.

Jepang mengalami equity market booming sejak tahun 1970 hingga akhir tahun 1989. Setelah itu bursa saham terhempas (crash) sehingga hingga kini tidak pernah menyentuh angka tertinggi itu lagi.

Penuaan penduduk memaksa pertumbuhan ekonomi ditopang oleh ekspor dan investasi Jepang di luar negeri. Pengalaman lebih dari 20 tahun terakhir menunjukkan indeks saham Nikkei cenderung meningkat bila terjadi pelemahan yen.

Dengan tren penuaan penduduk (aging society) dan pengurangan utang (de-leveraging) juga melanda Eropa dan Amerika Serikat terbuka kemungkinan bank sentral kedua kawasan itu akan meneladani Jepang dengan melonggarkan likuiditas.

Sebagai acuan de-leveraging oleh rumah tangga di Amerika Serikat telah menurunkan debt to income dari angka tertinggi 130 persen pada tahun 2008 menjadi 99,5 persen saat ini. Namun yang jelas angka ini tetap terbilang tinggi. Kenaikan suku bunga berisiko mengurangi kapasitas belanja ketika rumah tangga melakukan pembayaran utang.

Tambahan likuiditas bank sentral itu itu diyakini tidak akan memacu inflasi mengingat tidak digunakan untuk belanja melainkan untuk membayar utang. Selain itu tren inflasi juga terjaga rendah perluasan penggunaan teknologi e-commerce yang memangkas biaya intermediasi.

Di samping itu, kenaikan harga energi minyak yang dulu biasa memicu inflasi dibatasi oleh melimpahnya pasokan yang tidak hanya berasal dari produsen OPEC melainkan dari produsen Shale-gas.

Kombinasi kelebihan likuiditas dan risiko perlambatan ekonomi global memicu aksi flight to safety menuju obligasi negara sehingga menyebabkan imbal hasil negatif. Kondisi ini menandakan obligasi negara, terutama yang bertenor panjang, terbilang mahal.

Sebagai akibatnya, tambahan likuiditas kemudian memicu kenaikan harga aset lain (reflation) termasuk harga bitcoin dan emas serta obligasi negara sejumlah negara berkembang.

Indonesia Berpotensi Jadi Sasaran Pasar dan Capital Inflow

Setelah ECB memangkas suku bunganya, tak lama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui cuitan di Twitter merespons pemangkasan suku bunga ECB telah melemahkan mata uang euro terhadap dolar AS. Melalui cuitannya, Trump juga menyindir The Fed untuk segera menurunkan suku bunga.

Lalu bagaimana dampak pemotongan suku bunga bank sentral Eropa terhadap Indonesia?

Menurut Budi Hikmat, kebijakan moneter ECB ini akan membuat negara-negara berkembang, termasuk Indonesia menjadi sasaran likuiditas dana asing (capital inflow).

“Arus dana asing berpotensi masuk ke Indonesia sehingga memperpanjang kenaikan harga (rally) Surat Berharga Negara (SBN) yang cenderung memperkuat rupiah. Indonesia menghadapi dilema mengingat sedang mengalami defisit neraca berjalan yang menandakan dukungan sektor riil untuk menopang penguatan rupiah relatif terbatas," unkapnya.

Budi menyatakan penguatan rupiah akibat arus masuk modal asing harus diantisipasi dengan mempercepat reformasi struktural memperkuat produktivitas dan daya saing sektor manufaktur dan pariwisata. Penguatan rupiah dan polemik perang dagang AS dan China memungkinkan peredaran limpahan barang dan jasa luar negeri sulit dibendung.

Belajar Pengalaman Brazil

Budi juga mengingatkan agar kondisi ‘kelebihan likuiditas’ global ini tak membuat Indonesia terjebak pada utang seperti yang terjadi pada Brazil. Brazil berusaha keluar dari jebakan middle income trap selama 23 tahun dengan berutang dengan memanfaatkan aksi QE the Fed sejak tahun 2008.

Akibatnya debt to GDP Brazil melonjak dari 37 persen menjadi 84 persen pada saat ini. Posisi nominal utang negara Brazil sekitar US$1 triliun atau setara GDP Indonesia.

"Pengalaman Brazil mengingatkan tiga jenis risiko bila kita memacu pemulihan dengan utang luar negeri. Pertama currency risk terutama ketika dolar melemah sejak pertengahan tahun 2014," ujar Budi.

Kedua interest rate risk setelah the Fed mengindikasikan tapering off tahun 2013 dan baru meningkatkan sejak 2015 serta lebih mengetatkan likuiditas selama tahun 2018. Ketiga, income risk terkait dengan penurunan komoditas minyak di mana Brazil sebagai produsen yang cukup besar. Sebagai akibat kombinasi ketiga risiko ini, Brazil mengalami dua tahun stagflasi yang menyebabkannya kehilangan status layak investasi.

“Kita harus belajar untuk tidak ceroboh berutang guna membiayai kemakmuran. Sesuai dengan inspirasi saran Nabi Yusuf kita harus memacu investasi untuk meningkatkan produktivitas dan industri pengolahanan investasi serta tidak hidup boros. Peluang masih terbuka untuk Indonesia mengingat mayoritas penduduk masih muda, penggunaan utang internasional yang relatif rendah, dan potensi penarikan pajak yang masih besar,” tegas Budi.

(*)