Uang Masa Depan : Uang Digital dan Peluang Kripto di Indonesia

Bareksa • 17 Jun 2019

an image
Ilustrasi bitcoin. Copyright: <a href='https://www.123rf.com/profile_yuruphoto'>yuruphoto / 123RF Stock Photo</a>

Cryptocurrency dinilai bisa menjadi uang masa depan, namun sejumlah bank sentral masih mempertimbangkan hal tersebut

Bareksa.com - Siring perkembangan cashless society, kini sejumlah pihak beranggapan keberadaan uang kertas dan logam mulai kehilangan eksistensinya. Ekonom kenamaan dari Amerika Serikat Robert Reich seperti dikutip dari CBSNews.com mengatakan, akan ada waktunya, ketika uang fisik (uang kertas dan uang logam) akan kehilangan keberadaannya.

There will be a time – I don’t know when, I can’t give you a date – when physical money is just going to cease to exist,” ujar Reich.

Lalu, apakah akan ada jenis uang lain yang akan menggantikannya. Cryptocurrency dipercaya menjadi salah satu alat transaksi pembayaran yang akan menggantikan uang. Namun sayangnya, belum ada negara yang berani menggunakan mata uang kripto tersebut sebagai pengganti uang kertas dan uang digital.

Di Indonesia, cryptocurrency baru bisa diperdagangkan sebagai komoditas selepas Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Indonesia (Bappepti) mengeluarkan peraturan No.5 tahun 2019 tentang ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka.

Sedangkan sebagai alat pembayaran, regulator, baik Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara terang-terangan melarang masyarakat untuk menggunakan cryptocurrency sebagai alat pembayaran.

"Sebagai otoritas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran, Bank Indonesia senantiasa berkomitmen untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen termasuk mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme yang menjadi salah satu risiko utama penggunaan virtual currency," tulis BI dalam keterangan tertulisnya pada Maret 2018.

Meski begitu, BI tidak memungkiri perkembangan teknologi tidak bisa terelakkan. Oleh karena itu, BI terus mempelajari cryptocurrency (virtual currency) dan teknologi di belakangnya, yaitu blockchain.

Ketua Umum Asosiasi Blockchain Indonesia Muhammad Deivito Dunggio atau yang akrab disapa Oham menjelaskan, teknologi blockchain yang merupakan teknologi pembentuk cryptocurrency memang sangat penting untuk pengembangan industri keuangan. Sebab di dalam blockhain terdapat teknologi distributed ledger yang bisa digunakan untuk mempermudah, mempermurah, mempercepat proses settelment yang biasanya dilakukan oleh RTGS pada perbankan.

Sejauh ini, beberapa negara sudah menaruh perhatian besar terhadap perkembangan blockchain tersebut. Salah satunya adalah bank terbesar di dunia, yakni JP Morgan yang mulai mengembangkan aset kripto sendiri, yakni JPM Coin.

Secara fungsi, menurut Oham cryto asset bisa menjadi salah satu media untuk bertransaksi.

"Aset kripto dapat digunakan sebagai media untuk memindahkan nilai dari satu titik ke titik manapun di seluruh dunia tanpa melalui pihak ketiga, menjadikan aset ini berpotensi menjadi alternatif media untuk bertransaksi," kata dia.

Namun untuk menjadikannya sebagai alat pembayaran yang sah di tanah air, Oham mengungkapkan hal tersebut harus mendapatkan persetujuan undang-undang. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011, alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah rupiah sehingga medium pembayaran apapun selain rupiah akan menjadi ilegal, termasuk aset kripto.

CEO Indonesia Digital Asset Exchange (Indodax) Oscar Darmawan juga mengungkapkan, sejauh ini bitcoin yang termasuk dalam cryptocurrency dianggap sebagai komoditas dan bukan berarti bitcoin bisa menjadi alat pembayaran yang menggantikan mata uang rupiah karena transaksi yang diakui di Indonesia hanya rupiah.

"Sama seperti halnya emas. Emas diakui sebagai komoditas di Indonesia tetapi itu bukan berarti emas diakui sebagai alat pembayaran menggantikan uang tunai di Indonesia," jelas dia.

Kendati belum menjadi alat pembayaran, namun perkembangan cryptocurrency sebagai komoditas sudah mulai diminati masyarakat. Oscar menjelaskan, sejauh ini sudah ada 1,6 juta pengguna kripto aset yang terdaftar di Indodax sebagai salah satu exchange kripto pertama di Indonesia. Jumlah pengguna tersebut meningkat 69 persen dibandingkan tahun 2018.” Kami menargetkan tahun ini bisa mencapai 2 juta pengguna,” kata dia.

Dari sisi transaksi, kripto aset juga membukukan volume yang cukup signifikan. Saat ini, transaksi aset kripo mencapai US$3 juta hingga US$20 juta per hari atau setara dengan Rp42 miliar-Rp280 miliar per hari. ”Diperkirakan tahun ini, transaksi harian kripto di Indonesia bisa mencapai triliunan rupiah,” jelas dia.

Terlepas dari pro kontra cryptocurrency, sejumlah bank sentral di dunia sudah mulai melakukan kajian mengenai digital currency. Bank Indonesia juga melihat sejauh mana kajian tersebut. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menjelaskan, pihaknya merujuk kepada beberapa pihak seperti Bank for International Settlement (BIS) ataupun International Monetary Fund (IMF) sebagai acuan di sistem pembayaran.

Dalam kajian BIS yang ditulis oleh Head of Secretariat Committee on Payments and Market Infrastructure BIS Morten Bech dan Professor and Vice Chair Department of Economics University of California Rodney Garratt disebutkan, bitcoin dan cryptocurrency lainnya saat ini memang tampaknya belum bisa menggantikan mata uang yang berdaulat. Namun bank sentral di beberapa dunia memang mengakui sedang mengkaji teknologi yang mendasari cryptocurrency, yakni blockchain atau distributed ledger technology (DLT) dan kemungkinan terciptanya central banks cryptocurrency (CBCC) atau digital currency.

Secara umum, CBCC ini berbeda dengan uang yang ada saat ini. Uang yang ada saat ini memiliki empat sifat utama, yakni penerbit (bank sentral atau lainnya), bentuk (elektronik atau fisik), aksesibilitas (universal atau terbatas), dan mekanisme transfer (terdesentralisasi atau tersentralisasi).

Namun CBCC adalah bentuk uang elektronik dari bank sentral yang dapat ditukar dengan cara terdesentralisasi atau dikenal sebagai peer to peer atau transaksi terjadi langsung antara pembayar dengan penerima pembayaran tanpa memerlukan perantara pusat. Dalam pengembangannya, CBCC memungkinkan masyarakat untuk memiliki liabilitas di bank sentral secara digital.

Pengembangan CBCC ini, baik secara ritel ataupun wholesales sangat tergantung dari masing-masing bank sentral. Dalam membuat keputusan ini, bank sentral harus mempertimbangkan tidak hanya preferensi konsumen untuk privasi dan kemungkinan peningkatan efisiensi - dalam hal pembayaran, kliring dan penyelesaian - tetapi juga risiko yang mungkin ditimbulkannya untuk sistem keuangan dan ekonomi yang lebih luas, serta setiap implikasi untuk kebijakan moneter.

Namun, untuk negara yang sudah sangat menurun peredaran uang tunainya, penerbitan CBCC ini menjadi penting. Swedia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat adopsi teknologi informasi dan komunikasi tertinggi di dunia.

Pada akhir 2016, lebih dari 5 juta orang Swedia (lebih dari 50 persen populasi) telah menginstal aplikasi Swish, yang memungkinkan orang untuk mentransfer uang bank komersial dengan efek langsung (siang atau malam) menggunakan perangkat genggam mereka.

Sebagai akibatnya, permintaan uang tunai menurun dengan cepat di Swedia. Sudah banyak toko tidak lagi menerima uang tunai dan beberapa cabang bank tidak lagi mencairkan atau mengumpulkan uang tunai.

Perkembangan ini memprihatinkan bagi Riksbank sehingga saat ini Riskbank memiliki apa yang disebut proyek eKrona yang sedang berjalan untuk menentukan apakah ia harus memasok uang bank sentral digital kepada masyarakat umum.

Proyek ini mempertimbangkan solusi teknis yang berbeda, tetapi belum ada keputusan yang diambil apakah akan fokus pada DCA atau struktur CBCC ritel. Proyek ini diharapkan akan selesai pada akhir 2019.

Dibandingkan dengan negara lain, sejauh ini baru sekitar 23 persen penduduknya yang menggunakan transaksi non tunai (lihat grafik di bawah). Bank Indonesia juga mengungkapkan, pihaknya harus mempertimbangkan kultur budaya Indonesia dan stabilitas sistem keuangan Indonesia sebelum menerbitkan digital currency.

Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Santoso mengatakan, digital currency masih jauh untuk diterapkan di Indonesia.

“Wah saya pikir cryptocurrency masih sebatas wacana dan butuh pengkajian yg mendalam. Jadi terlalu jauh untuk disamakan dengan uang digital yang selama ini dikembangkan di Indonesia. Kita step by step saja ya,” jelas dia.


Sumber : Bank Indonesia

Dari pembahasan tersebut bisa dilihat, uang tunai masih akan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Namun masyarakat Indonesia juga harus mulai membiasakan untuk menggunakan transaksi non tunai sebelum uang tunai lenyap dari permukaan bumi.

(AM)

*Tulisan ini merupakan bagian 2 atau bagian terakhir dari 2 bagian tulisan Jurnalis Bareksa, Gita Rossiana dalam Program Beasiswa Banking Editors MasterClass 2019 yang diselenggarakan AJI Indonesia - Bank Commonwealth Indonesia.