Pertama Kali APBN Capai Target di 2018, Ini Penjelasan Menkeu Sri Mulyani

Bareksa • 03 Jan 2019

an image
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengemukakan bahwa 12 elemen yang dikeluarkan dalam Bali Fintech Agenda di Mangupura Room BICC, Kamis (11/10) dalam rangkaian kegiatan IMF-WBG Annual Meetings 2018. (Kemenkeu)

Di tengah tantangan global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang stabil

Bareksa.com – Mengawali 2019, Indonesia patut berbangga diri karena kondisi ekonomi yang masih positif di tengah ketidakpastian global. Capaian positif tersebut tercermin dari terpenuhinya target fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat inflasi yang terjaga.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 (APBN 2018) mencapai target. Hal ini merupakan pencapaian yang pertama kalinya.

"Untuk pertama kalinya APBN 2018, pendapatan negara mencapai 102,5 persen. Target awal Rp1.894,7 triliun dan tercapai Rp1.942,3 triliun," ungkap Menkeu dalam sebuah konferensi pers, di Aula Djuanda, Jakarta, Rabu, 2 Januari 2019.

Berdasarkan catatan sementara Kemenkeu, pendapatan negara mencapai 102,5 persen dari target, sedangkan belanja negara mencapai 99,2 persen dari target.

Tabel Perbandingan Realisasi APBN 2017-2018

Sumber: Materi Konferensi Pers Kemenkeu

Defisit anggaran terhadap PDB tercatat sebesar 1,76 persen, lebih kecil dari yang ditargetkan APBN sebesar 2,19 persen. Kondisi tersebut didukung oleh pendapatan negara sebesar Rp1.942,3 triliun, atau melampaui target APBN (102,5 persen dari APBN 2018)

Kemudian belanja negara dapat optimal yakni sebesar Rp2.202,2 triliun, atau mencapai 99,2 persen dari APBN 2018 sebesar Rp2.220,7 triliun untuk mendukung target target pembangunan tahun 2018.

Pertumbuhan Ekonomi

Sri Mulyani meyakini perekonomian Indonesia sepanjang 2018 mampu menunjukkan capaian positif di tengah tantangan perekonomian global yang sangat cepat berubah. Sepanjang 2018, ia tidak menampik, perekonomian domestik sempat mengalami tekanan yang bersumber dari gejolak eksternal akibat perang dagang dan normalisasi kebijakan moneter AS.

"Didorong oleh menguatnya perekonomian AS, the Fed melakukan akselerasi kenaikan tingkat suku bunga. Hal ini mengakibatkan pelemahan mata uang emerging market, termasuk Indonesia. Akibatnya, proyeksi pertumbuhan global pun mengalami koreksi," tuturnya.

Gejolak eksternal yang cukup berat selama tahun 2018, menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Ketidakpastian ekonomi global meningkat seiring dengan memanasnya tensi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China dan pengetatan likuiditas, yang akhirnya berpengaruh terhadap permintaan global. Selain itu, harga komoditas dunia yang mengalami penurunan juga turut memengaruhi nilai ekspor.

Namun di tengah berbagai tantangan tersebut, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2018 diperkirakan tumbuh sehat sebesar 5,15 persen, yang didukung oleh stabilitas pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi Pemerintah, dan peningkatan investasi.

Tabel Pertumbuhan Komponen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia

Sumber: Materi Konferensi Pers Kemenkeu

1. Konsumsi Rumah Tangga (RT) tercatat tumbuh 5,01 persen ditopang oleh pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman yang mampu tumbuh 5,21 persen sejalan dengan tingkat harga yang stabil terutama harga kebutuhan pokok.

2. Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga (LNPRT) menjadi komponen yang mengalami pertumbuhan tertinggi 8,54 persen sehubungan dengan aktivitas persiapan pemilu legislatif dan presiden serta tingginya aktivitas sosial.

3. Konsumsi Pemerintah juga tumbuh tinggi sejalan dengan tingginya realisasi belanja Pemerintah Pusat serta transfer ke daerah.

4. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) alias investasi kembali tumbuh kuat didorong oleh pertumbuhan komponen mesin perlengkapan. Komponen bangunan sebagai penopang investasi juga masih tumbuh 5,66 persen salah satunya didorong oleh pembangunan infrastruktur.

5. Dari sisi perdagangan internasional, defisit neraca perdagangan masih cukup dalam yang antara lain disebabkan oleh:

♦ Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2018 masih di bawah pertumbuhan impor.

♦ Ekspor tumbuh terbatas karena masih lemahnya permintaan dari negara mitra dagang meskipun pertumbuhan negara-negara tersebut masih positif

♦ Impor kembali tumbuh tinggi, baik barang konsumsi, barang modal maupun bahan baku. Impor jasa juga mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jasa angkutan untuk ekspor dan impor serta wisatawan Indonesia yang ke luar negeri.

Inflasi

Laju inflasi berada di tingkat yang rendah, sehingga menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan konsumsi. Inflasi tahun 2018 terjaga pada level 3,13 persen. Tidak adanya kebijakan harga energi domestik dan masih terkendalinya harga pangan berperan penting dalam pencapaian inflasi tahun 2018.

Tabel Perbandingan Inflasi Indonesia

Sumber: Materi Konferensi Pers Kemenkeu

Adapun komponen inti (core inflation) masih bergerak di kisaran 3 persen dengan tren meningkat sejak Februari 2018, menunjukkan terjadinya pergerakan faktor fundamental inflasi inti, khususnya dari sisi permintaan.

Kemudian komponen administered price melambat seiring tidak adanya kebijakan harga energi domestik. Tekanan terutama berasal dari transportasi pada masa Hari Besar dan Keagamaan Nasional (HBKN) dan kenaikan bensin nonsubsidi seiring naiknya harga minyak mentah dunia.

Sementara itu, inflasi volatile food relatif terkendali meskipun meningkat dibanding tahun 2017. Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas pertanian, memastikan kecukupan stok pangan, dan melakukan langkah stabilisasi harga.

Nilai Tukar Rupiah

Penguatan dolar AS sepanjang tahun 2018 memberikan tekanan pada nilai tukar negara berkembang, termasuk rupiah. Secara tahunan, mata uang Garuda terdepresiasi 6,89 persen, namun terpantau masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lain.

Sumber: Materi Konferensi Pers Kemenkeu

Perkasanya mata uang Negeri Paman Sam tidak lain disebabkan oleh normalisasi kebijakan moneter oleh bank sentral AS (The Fed) dan hubungan dagang AS dengan China yang memicu banyak pelaku pasar memburu greenback sebagai instrumen safe haven. Kondisi tersebut menjadi faktor utama yang memberikan tekanan bagi nilai tukar rupiah. (KA01/K03/hm)