Neraca Dagang November Defisit, Haruskah BI Rate Naik?

Bareksa • 19 Dec 2018

an image
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Mirza Adityaswara (kiri) dan Erwin Rijanto (kanan) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (27/9). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Salah satu faktor penahan BI untuk tidak menaikkan suku bunga adalah pandangan dovish dari The Fed

Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) sedang melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 19-20 Desember 2018 untuk mempertimbangkan rencana kembali menaikkan suku bunga acuan. Sejumlah hal menjadi bahan pertimbangan, mulai dari antisipasi kebijakan The Fed yang berpotensi menaikkan suku bunga di Desember hingga data neraca perdagangan Indonesia pada November.

Sebelumnya, pada 15 November lalu, Rapat Dewan Gubernur BI bulanan memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebanyak 25 basis poin (bps) ke level 6 persen. Selain penetapan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate, BI juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin (bps) menjadi sebesar 5,25 persen dan lending facility menjadi sebesar 6,75 persen.

Sebelumnya, neraca dagang di bulan November mencatatkan defisit US$2,05 miliar, terbesar di tahun ini. Sehingga membuat defisit neraca berjalan berada di kisaran 3,3 persen sampai 3,6 persen terhadap produk domestik bruto di kuartal keempat 2018. Hal tersebut juga mengindikasikan jika defisit berjalan (current account deficit/CAD) berpotensi berada di kisaran 3,0 persen sampai 3,1 persen untuk tahun penuh 2018 (FY18).

Menurut analisis Bareksa, meski neraca dagang di bulan Desember akan membaik dibanding bulan November, hal itu dinilai tidak akan cukup untuk menutupi defisit neraca dagang yang sudah terlalu tinggi. Hal ini terutama mengingat tren ekspor bulan berjalan terus menurun, sedangkan dampak penuh larangan impor China terhadap batu bara akan terlihat pada Desember 2018.

Sebagai informasi, total defisit Oktober – November 2018 sudah mencapai US$3,8 miliar (meningkat dibandingkan defisit US$3 miliar di kuartal ketiga 2018).

Dengan mempertimbangkan bahwa bank sentral berupaya untuk menurunkan defisit neraca berjalan menjadi 2,5 persen di tahun depan, kita melihat bahwa Bank Indonesia dapat membebani peningkatan kebijakan 2019 di bulan Desember 2018 sebanyak 25 bps hingga 6,25 persen dalam pertemuan RDG besok.

Salah satu faktor yang dapat menahan BI untuk tidak menaikkan suku bunga ialah, jika dot plot baru Fed yang diperkenalkan dalam pertemuan FOMC Kamis ini keluar lebih "dovish" daripada yang diantisipasi atau adanya ekspektasi konsensus tentang kenaikan suku bunga The Fed kurang dari 2 persen di tahun depan. Pandangan yang dovish berarti bank sentral AS lebih lunak dalam menggunakan suku bunga sebagai perangkat moneter.

Secara keseluruhan, risiko CAD yang lebih luas dapat memicu BI untuk melakukan front loading kenaikan suku bunga tahun depan ke bulan ini sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen. Jika itu terjadi, maka semua ekspektasi ekonom untuk BI Rate di tahun 2018 sebesar 6 persen pun terpatahkan. (KA02/hm)