Pembangunan Infrastruktur, Keterlibatan Swasta dan Peran Pasar Modal

Bareksa • 12 Oct 2018

an image
Enda Curran, Chief Asia Economics Correspondent Bloomberg (kiri) sebagai moderator panel dengan panelis (kanan-kiri) Sugeng, Deputi Gubernur Bank Indonesia; Hoesen, Chief Executive Capital Market Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Chatib Basri, Ekonom & Mantan Menteri Keuangan dalam BKPM-HSBC Infrastructure Forum di Bali, Kamis (11/10). (doc BKPM)

ADB : estimasi kebutuhan investasi infrastruktur Asia dari tahun 2016-2030 tercatat US$2,6 triliun

Bareksa.com – Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memfasilitasi investasi lima perusahaan dari berbagai negara, seperti China, Hong Kong, Belanda dan Malaysia. Total nilai investasi mencapai US$31,4 miliar untuk sektor infrastruktur yang meliputi bidang power plant, pelabuhan, konstruksi dan logistik.

Kesepakatan investasi itu tertuang di sela gelaran BKPM-HSBC Infrastructure Forum bertema ‘Towards Indonesia 2045’. Kepala BKPM Thomas Lembong menjelaskan, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, diperlukan konsolidasi dan koordinasi yang kuat antara moneter, fiskal dan dunia usaha untuk mewujudkan pembangunan nasional.

“Infrastructure Forum ini merupakan forum komunikasi antara pemerintah dengan para investor dalam dan luar negeri, baik di sektor infrastruktur maupun keuangan dan lembaga perbankan, mengenai peluang pengembangan sektor infrastruktur di Indonesia serta perkembangan-perkembangan terkini dalam skema pendanaan infrastruktur,” jelas Lembong seperti dikutip Jumat, 12 Oktober 2018.

Sebagaimana diketahui, Indonesia baru saja diterpa berbagai musibah bencana alam yang terjadi di NTB dan Sulawesi Tengah. Mayoritas infrastruktur vital di daerah-daerah tersebut, termasuk di antaranya bandara, gardu listrik, pelabuhan dan menara telekomunikasi, mengalami kerusakan yang cukup parah.

Atas hal tersebut, Thomas menyampaikan pentingnya pembangunan infrastruktur yang mengedepankan aspek ‘disaster preparedness’.

“Kiranya forum ini dapat kita optimalkan untuk mendiskuksikan strategi mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih baik dan tahan dari terpaan bencana. Selain itu, dari segi financial, bagaimana penerapan manajemen risiko bencana dan inovasi-inovasi finansial lainnya yang dapat diterapkan untuk kesiapan menghadapi bencana,” ucap Lembong.

Melihat kebutuhan sektor swasta untuk berperan lebih demi merealisasikan pembangunan proyek infrastruktur Indonesia, Deputy Chairman and Chief Executive HSBC Asia Pacific Peter Wong menuturkan dalam pidato pembukanya terkait potensi yang dimiliki oleh Indonesia dan harapannya untuk memperkenalkan ke kancah dunia.

“Tidak hanya besar di jumlah populasi penduduk, namun Indonesia juga memiliki banyak sekali potensi yang siap digali dan dimanfaatkan. Namun, diperlukannya penghubung yang baik secara fisik, ekonomi, dan pembiayaannya. Dengan kata lain, infrastruktur adalah kuncinya,” ucap Wong.

Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia Sumit Dutta berperan serta dalam menghubungkan nasabah global HSBC untuk turut ambil bagian dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.

“Dalam rangka realisasi rancangan pembangunan infrastruktur Indonesia, pemerintah dan pihak swasta membutuhkan skema pembiayaan yang baik dan solutif demi menunjang keberlanjutan pembangunan proyek infrastruktur di masa mendatang, salah satunya adalah melalui investasi di proyek pembangunan infrastruktur ini,” jelas Sumit.

Data Asian Development Bank tercatat, estimasi kebutuhan investasi infrastruktur Asia dari tahun 2016-2030 tercatat US$22,6 triliun atau sekitar US$1,5 triliun per tahun. Dengan memperhitungkan mitigasi bencana dan adaptasi kenaikan biaya investasi yang dibutuhkan meningkat menjadi US$26,2 triliun atau US$1,7 triliun per tahun.

Sementara untuk Asia Tenggara, dalam periode 2016-2030 tersebut membutuhkan investasi infrastruktur sebesar US$2,7 triliun dan dengan memperhitungkan mitigasi bencana dan adaptasi kenaikan bencana menjadi sebesar US$3,1 triliun.

Peran Pasar Modal

Pada kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menuturkan, dibutuhkan biaya Rp 5.519,4 triliun untuk membangun infrastruktur sepanjang periode 2015-2019. Dari nilai itu, porsi pemerintah sebesar 50 persen atau Rp2.760,9 triliun, BUMN 19,3 persen atau Rp1.066,2 triliun dan kontribusi sektor swasta 30,7 persen atau setara dengan Rp1.692,3 triliun.

Hoesen menjelaskan, pasar modal dapat memfasilitasi sektor swasta dalam berkontribusi di pembangunan infrastruktur. “Produk pasar modal antara lain dalam bentuk saham, obligasi dan sukuk, Private Fund, Infrastructure Fund, Real Estate Investment Trust, dan sekuritisasi aset,” ungkap Hoesen.

Dia juga menambahkan, optimalisasi pasar modal perlu didukung kedua belah pihak, dari sisi penawaran (supply) yaitu penambahan jumlah perusahaan IPO dan penerbitan produk investasi untuk proyek infrastruktur. Sementara pada sisi permintaan (demand) yaitu peningkatan distribusi produk-produk pasar modal dan penambahan jumlah investor.

“Tiga langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah; pertama, edukasi terhadap para calon investor dan perusahaan swasta mengenai pilihan produk pasar modal sebagai sumber pembiayaan; kedua, kerja sama dengan kementerian keuangan dalam regulasi insentif pajak untuk produk pasar modal yang dapat digunakan untuk proyek infrastruktur; dan ketiga, mendorong investasi kelembagaan jangka panjang untuk produk pasar modal yang membiayai infrastruktur,” jelas Hoesen.

(AM)