Sikapi Normalisasi Kebijakan The Fed, BI Pastikan Daya Saing Pasar Keuangan RI

Bareksa • 10 Oct 2018

an image
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara (kiri) dan Erwin Rijanto (kanan) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (27/9). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

AS melakukan normalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga bank sentral dan normalisasi neraca

Bareksa.com – Dinamika perekonomian global, khususnya normalisasi kebijakan ekonomi negara maju, turut membawa dampak pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Untuk itu, bank sentral di berbagai negara perlu melakukan respons kebijakan yang tepat dengan saling berkoordinasi, komunikasi, dan kerja sama.

Demikian topik yang mengemuka dalam Central Banking Forum 2018 yang diadakan oleh Bank Indonesia (BI) dan Federal Reserve Bank of New York (Fed NY) hari ini (10/10) di Bali. Acara tersebut diselenggarakan dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018.

Melalui kegiatan yang dihadiri oleh para pemimpin bank sentral dari seluruh penjuru dunia tersebut, kedua lembaga bertujuan menggali perspektif dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi perkembangan ekonomi global saat ini.

Presiden Fed NY, John Williams, menyampaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) saat ini berada dalam keadaan sangat positif. Hal tersebut diindikasikan dari tingkat pengangguran dan inflasi yang rendah, prospek pertumbuhan yang baik dan diperkirakan masih akan berlanjut.

"Dengan keadaan ekonomi yang baik tersebut, otoritas AS pun melakukan normalisasi kebijakan, dengan menaikkan suku bunga bank sentral dan normalisasi neraca (balance sheet)," ujar Williams.

Meski demikian, kata Williams, disadari bahwa dengan saling terhubungnya ekonomi dunia, kebijakan AS dapat berpengaruh pada ekonomi global, dan pada gilirannya dapat kembali memengaruhi ekonomi AS. Dua hal penting yang ditekankan adalah bahwa normalisasi AS akan dilakukan secara bertahap, serta bahwa AS akan terus melakukan komunikasi transparan.

"Kedua hal ini diharapkan dapat mengurangi dampak global spillover," ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan mengenai bagaimana Indonesia menyikapi kebijakan bank sentral AS dan kondisi ekonomi global.

Saat ini, ekonomi Indonesia masih stabil dan berdaya tahan, antara lain tercermin dari pertumbuhan dan inflasi yang baik, serta stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Namun, dengan ekonomi domestik yang terjaga Indonesia tetap harus memperhatikan pengaruh ekonomi global.

Untuk itu, skenario kebijakan yang dilakukan BI adalah memastikan daya saing pasar keuangan Indonesia agar tetap menarik, dan agar defisit transaksi berjalan tetap terjaga. BI, kata Perry, juga selalu hadir di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

"Pendalaman pasar keuangan juga terus dipercepat, agar pasar keuangan Indonesia semakin prospektif. Dalam usaha-usaha menjaga ekonomi Indonesia, BI tidak sendiri. Seluruh usaha tersebut dilakukan bekerja sama dengan instansi terkait, baik pemerintah, OJK, maupun lembaga lainnya," ujar Perry.

Selanjutnya, Perry juga menyatakan bahwa komunitas internasional dapat saling membantu. Komunikasi yang baik dan jelas, termasuk dari AS, merupakan salah satu faktor kunci mengurangi ketidakpastian.

Negara-negara ekonomi maju juga perlu senantiasa memahami dampak yang mungkin ditimbulkan kebijakannya bagi ekonomi global. Untuk itu, forum kali ini mengangkat mengenai kebijakan bank sentral menghadapi ketidakpastian global serta mengenai keamanan dan risiko siber bagi bank sentral saat ini.

Forum seperti ini diharapkan dapat membantu sinkronisasi kebijakan ekonomi internasional, yang akan menguntungkan baik bagi AS dan negara maju lainnya, maupun bagi negara berkembang.

Untuk diketahi,Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (0,25 persen) ke level 2 hingga 2,25 persen. Keputusan tersebut diambil dalam pertemuan yang berlangsung hari Rabu 26 September waktu setempat.

Dalam pernyataannya, The Fed menyatakan informasi yang diterima Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) sejak bertemu pada Agustus menunjukkan pasar tenaga kerja terus menguat dan kegiatan ekonomi telah meningkat pada tingkat yang kuat.

Penambahan lapangan kerja cukup kuat, secara rata-rata, dalam beberapa bulan terakhir, dan tingkat pengangguran tetap rendah. Pengeluaran rumah tangga dan investasi aset tetap bisnis telah tumbuh kuat.

Menyusul kenaikan Fed Rate Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI juga memutuskan kenaikan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility 25 bps menjadi 5 persen, dan suku bunga Lending Facility 25 bps menjadi 6,5 persen. Dengan adanya keputusan tersebut, sejak Januari 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 basis poin atau sudah lima kali kenaikan.

Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. Bahkan dolar AS sempat menembus level psikologis Rp15.000. Pada Selasa (2/10/2018) pukul 23.02 WIB, rupiah di level Rp15.030 per dolar AS. Kali terakhir rupiah mencapai kisaran Rp15.000 per dolar AS adalah pada Juli 1998. Kala itu, Indonesia tengah didera krisis moneter. Artinya, posisi rupiah hari ini adalah yang terlemah sejak 9 Juli 1998.

The Fed diperkirakan mempertahankan rencana untuk terus mengetatkan kebijakan moneternya, karena memperkirakan bahwa ekonomi AS akan menikmati setidaknya tiga tahun lagi pertumbuhan. Selain itu, lembaga di bawah komando Jerome Powell tersebut memperkirakan masih akan ada kenaikan suku bunga lainnya pada bulan Desember, disusul tiga kali tahun depan, dan satu kali pada 2020.

Sikap kebijakan ketat yang diambil The Fed diproyeksikan akan tetap berlangsung sampai 2021, sesuai kerangka waktu proyeksi ekonomi terbaru dari bank sentral Negeri Paman Sam tersebut.

(AM)