Naik 50 Bps, Suku Bunga Acuan BI jadi 5,25 Persen

Bareksa • 29 Jun 2018

an image
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) mendapat ucapan selamat dari mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kanan) usai pelantikannya di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/5). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Kenaikan suku bunga acuan ini berlaku efektif sejak 29 Juni 2018

Bareksa.com - Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 28 - 29 Juni 2018 memutuskan untuk menaikkan kembali BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen.

Kenaikan suku bunga acuan juga diiringi dengan kenaikan suku bunga deposit facility 50 bps menjadi 4,5 persen, dan suku bunga lending facility 50 bps menjadi 6 persen.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini berlaku efektif sejak 29 Juni 2018. Keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan BI untuk secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik.

"Tentunya kondisi itu terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi," kata Perry, di Jakarta, Jumat, 29 Juni 2018.

Dia menambahkan kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valuta asing (valas) dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antarbank.

"Bank Indonesia meyakini sejumlah kebijakan yang ditempuh tersebut dapat memperkuat stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Ke depan, BI akan terus mencermati perkembangan dan prospek perekonomian baik domestik maupun global, untuk memperkuat respons bauran kebijakan yang perlu ditempuh," kata Perry.

Kebijakan LTV

Selain itu, masih kata Perry, BI menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui relaksasi loan to value ratio (LTV) guna menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan perlindungan konsumen.

Kebijakan itu, lanjutnya, diterapkan pada sektor properti dan berlaku 1 Agustus 2018 melalui beberapa aspek yakni pertama pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio FTV untuk pembiayaan properti. Kemudian pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden.

Selanjutnya penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. "Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung kinerja sektor properti yang saat ini masih memiliki potensi akselerasi dan dampak pengganda cukup besar terhadap perekonomian nasional," ungkapnya.

Kurs Rupiah

Sementara itu, nilai tukar rupiah pada Juni 2018 mendapat tekanan terutama sejak pertengahan bulan dipicu penguatan dolar Amerika Serikat yang terjadi dalam skala global. Nilai tukar rupiah sempat berada dalam tren menguat sampai dengan pertengahan Juni 2018, bahkan sempat tercatat Rp13.853 per dolar AS pada 6 Juni 2018.

"Kondisi itu sebagai respons atas kebijakan pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve Bank Indonesia pada akhir Mei 2018," kata Perry.

Namun, tambahnya, perubahan stance kebijakan the Fed pada FOMC pertengahan Juni 2018 yang lebih agresif, respons kebijakan bank sentral lain yang berubah khususnya bank sentral Uni Eropa dan China, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang kembali meningkat, memicu pelemahan hampir seluruh mata uang dunia, tidak terkecuali rupiah.

"Ke depan, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," tukasnya.

Stabilitas Sistem Keuangan

Perry mengatakan kondisi sistem keuangan tetap stabil disertai intermediasi perbankan yang membaik. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga tercermin pada rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi mencapai 22,1 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) yang masih aman yaitu 20,3 persen pada April 2018.

Di samping itu, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) tetap rendah yaitu 2,79 persen (gross) atau 1,28 persen (net) pada April 2018. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga ini berkontribusi positif pada perbaikan fungsi intermediasi perbankan.

Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada April 2018 tercatat 8,1 persen (yoy), naik dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 7,7 persen (yoy).

Pertumbuhan kredit pada April 2018 tercatat sebesar 8,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya 8,5 persen (yoy) serta diperkirakan terus meningkat.

Sementara itu, pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, medium term notes (MTN), dan negotiable certificate of deposit (NCD) meningkat 15,8 persen (yoy) pada April 2018.

Dengan perbaikan ekonomi dan kemajuan konsolidasi korporasi dan perbankan, lanjut Perry, BI memperkirakan pertumbuhan kredit dan DPK akan lebih baik pada 2018, masing-masing dalam kisaran 10 - 12 persen (yoy) dan 9 - 11 persen (yoy).

"Sejumlah langkah perlu ditempuh untuk mengoptimalkan pertumbuhan kredit melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif," pungkasnya.

(K03/AM)