Sri Mulyani Akan Pangkas Pajak UKM Separuh, Ini Kata CITA

Bareksa • 22 Jan 2018

an image
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers terkait dengan Perkembangan Ekonomi Makro dan Realisasi APBN-Perubahan Tahun Anggaran 2017 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (2/1). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Sri Mulyani mengkaji penurunan tarif PPh UKM yang sebelumnya dipatok 1 persen menjadi hanya 0,5 persen

Bareksa.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengkaji penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), sejalan dengan penyusunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai jual beli online (e-commerce). Rencana tersebut disambut baik oleh pengamat, termasuk Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).

Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan menurunkan PPh UKM yang sebelumnya dipatok 1 persen menjadi hanya 0,5 persen atau tinggal separuhnya. “Kami sedang mengusulkan agar Peraturan Pemerintah-nya (PP) direvisi. Supaya, tingkatnya diturunkan dari PPh UKM final satu persen menjadi 0,5 persen,” ujarnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Alasan penurunan PPh UKM tidak lain karena merchant yang bermitra dengan e-commerce merupakan Wajib Pajak (WP) UKM. (Baca juga Mengapa E-Commerce Kena Pajak?)

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung ide penurunan tarif PPh UKM melalui revisi PP 46/2013. Penurunan tarif diharapkan dapat menggairahkan perekonomian dan meningkatkan kepatuhan pajak serta mempermudah pelaku UKM. (Lihat VIDEOGRAFIK : Data Ini Tunjukan Lonjakan Transaksi e-Commerce)

"Revisi seyogianya juga bermakna harmonisasi kebijakan, terutama dengan pengaturan UKM di kementerian/lembaga teknis lainnya, sehingga Indonesia memiliki hanya satu kebijakan tunggal yang komprehensif terhadap UKM," ujarnya dalam keterangan tertulis Senin 22 Januari 2018.

Prastowo mengusulkan revisi PP 46/2013 sebaiknya mencakup layering tarif pajak, terutama untuk melindungi pelaku usaha mikro, jangka waktu penggunaan skema pajak UKM dibatasi maksimal 3 tahun, pembatasan wajib pajak yang boleh menggunakan skema ini (misalnya hanya untuk WP orang pribadi dan untuk WP badan menggunakan skema normal dengan pembukuan sederhana), penyediaan aplikasi/sistem untuk pembukuan, pencatatan, penghitungan, pelaporan yang praktis dan sederhana.

Selain itu, Prastowo juga memberikan usulan layering tarif final yang dapat dapat diberikan sebagai ilustrasi. Menurutnya, WP mikro (omset di bawah Rp300 juta setahun) bisa dibebaskan. Kemudian, pengenaan tarif 0,25 persen untuk WP dengan omset di atas Rp300 juta sampai dengan Rp600  juta,  tarif 0,5 persen untuk WP dengan omset di atas Rp600 juta sampai dengan Rp1,8 miliar, dan WP dengan omset di atas Rp1,8 miliar sampai dengan Rp4,8 miliar membayar pajak 1 persen (PPh final 0,5 persen dan PPN 0,5 persen).  Hal ini sekaligus sebagai edukasi dan persiapan WP menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Sementara itu, di samping menurunkan PPh UKM, rencananya pemerintah juga akan menyeret turun ambang batas (threshold) dari status Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Sebagai informasi, dalam PP Nomor 46 Tahun 2013, pemerintah telah menetapkan batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai PKP, yaitu Rp4,8 miliar setahun dengan besaran pajak 1 persen dari omzetnya.

Prastowo menilai ide penurunan threshold dari yang selama ini berlaku yaitu Rp4,8 milyar harus dicermati dengan hati-hati, terutama menyangkut waktu (timing) dan besaran.

"Kajian yang mendalam dan komprehensif sebaiknya dilakukan terlebih dahulu agar potret permasalahan dan tantangan industri dan usaha kecil menengah diperoleh. Negara-negara lain menetapkan threshold yang berbeda menurut tujuan spesifik tiap-tiap negara," katanya.

Menurutnya, penurunan threshold dalam jangka pendek akan menciptakan komplikasi administrasi, baik dari sisi wajib pajak maupun kantor pajak. Sebaiknya, kata Prastowo, hal ini ditunda terlebih dahulu sambil Pemerintah mendapatkan gambaran objektif, diawali dengan sosialisasi, transisi, penyediaan infrastruktur, dan implementasi di awal tahun. (Baca Sri Mulyani Sebut GPN Bisa Dukung Basis Pajak)

"Perubahan kebijakan yang serta merta dan terlalu cepat dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan, termasuk perilaku wajib pajak yang memecah usaha agar tetap di bawah threshold sehingga tujuan Pemerintah meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas basis pajak tidak tercapai," jelasnya.