Berita / SBN / Artikel

PSBB Kembali Berlaku, Bagaimana Dampaknya di Pasar Obligasi Negara?

Bareksa • 11 Sep 2020

an image
Layar menampilkan pergerakan Indeks Obligasi Negara Indonesia yang mengikuti harga dan yield obligasi surat utang negara seri benchmark acuan di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/5/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Trimegah AM memperkirakan yield surat utang negara seri acuan di level 6,25 persen akhir tahun

Bareksa.com - Pemerintah DKI Jakarta kembali memberlakukan pengetatan pembatasan sosial skala besar (PSBB) mulai tanggal 14 September 2020 hingga jangka waktu yang belum ditentukan. Meski respon negatif jangka pendek terlihat di pasar saham, dampak pengetatan PSBB di pasar obligasi negara diperkirakan tidak terlalu besar.

Trimegah Asset Management, dalam market update yang disampaikan kepada investor, menilai dampak pengetatan PSBB Jakarta di pasar obligasi akan lebih terbatas. Hal ini didasari oleh fokus investor obligasi pada faktor yang bisa memengaruhi kemampuan bank sentral dan Kemenkeu dalam menerapkan kebijakan yang pruden.

Selama ini BI dan Kemenkeu dianggap memiliki rekam jejak (track record) yang baik di mata investor. Ini terlihat nyata dari aksi jual yang terjadi baru-baru ini setelah munculnya berita bahwa UU Bank Indonesia akan direvisi dan berpotensi menurunkan independensi BI.

"Tekanan di pasar obligasi domestik berkurang setelah pernyataan Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan yang menyatakan pemerintah tetap berpendapat bahwa penerapa kebijakan moneter harus independen dan kredibel," kata Trimegah AM dalam market update tertanggal 10 September 2020.

Dengan adanya PSBB kedua ini, Trimegah AM tetap meyakini target yield (imbal hasil) surat utang negara tenor 10 tahun pada  level 6,25 persen di akhir tahun bisa tercapai. Ada dua hal utama yang menyebabkan hal ini, yakni inflasi yang rendah dan likuiditas melimpah.

Pertama, inflasi pada Agustus tercatat sebesar 1,32 persen year on year, dan diperkirakan akan terus rendah karena deflasi semakin besar. Hal ini akan berdampak positif bagi real yield Indonesia yang berada di level 5,57 persen dan paling tinggi di antara negara regional setara (peers) termasuk India yang hanya 0,94 persen.

Grafik Pergerakan Inflasi Year on Year

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah Bareksa.com

Sebagai catatan, peringkat (rating) utang Indonesia satu notch lebih tinggi daripada peringkat utang India, sedangkan yield Indonesia lebih tinggi sehingga obligasi negara Indonesia tentu lebih menarik.

Kedua, likuiditas perbankan saat ini masih melimpah, berbeda dengan kondisi saat PSBB total pertama yang sempat menyebabkan pengetatan likuiditas di sistem perbankan. Ini terhlihat dari support perbankan pada pasar obligasi domestik yang telah mendorong penurunan yield SUN bertenor pendek sajak akhir Maret 2020 dan meningkatnya kepemilikan SUN sebesar Rp494 triliun sejak akhir Maret 2020.

"Dengan adanya PSBB kedua, potensi berkurangnya belanja dan meningkatnya tabungan justru akan semakin meningkatkan likuiditas di sistem perbankan," tulis Trimegah AM.

Sementara itu, Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM), Budi Hikmat, menilai pemberlakuan kembali PSBB sangat wajar membuat investor saham kuatir akan terjadi pelambatan ekonomi kembali. Perbankan diduga akan menahan keinginan untuk menyalurkan kredit, sehingga mereka akan terus menempatkan dana dalam Surat Berharga Negara (SBN).

"Investor asing juga bertanya apakah Bank Indonesia akan terus mengemban skema burden sharing di mana aksi quantitative easing yang dilakukan akan memperlemah rupiah," ungkap Budi.

Budi berharap agar pemerintah dapat mempercepat realisasi stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), terutama untuk bantuan sosial, kesehatan, maupun insentif yang menunjang UMKM. Budi menilai positif adanya alokasi dana yang cukup besar bagi Polri untuk mendukung pelaksanaan PSBB.

"Bank Indonesia kami proyeksikan akan kembali menurunkan suku bunga. Selain spread terhadap inflasi masih positif, kinerja penyaluran kredit juga masih lemah," kata Budi.

Untuk investor awam, Budi menyarankan untuk defensif dengan memanfaatkan instrumen SBN yang sedang ditawarkan. Sementara untuk investor yang lebih mahir dan berani dapat secara selektif berinvestasi pada saham yang paling banyak ditinggalkan oleh investor asing.

Sebagai informasi, saat ini ada jenis SBN ritel yang sedang ditawarkan oleh pemerintah yaitu Sukuk Ritel SR013 selama masa penawaran 28 Agustus - 23 September 2020. Imbal hasil (kupon) yang ditawarkan oleh SR013 sebesar 6,05 persen per tahun.

SR013 adalah surat berharga syariah negara (SBSN) yang memiliki tenor atau jangka waktu 3 tahun dan akan jatuh tempo pada 10 September 2020. Namun, SR013 bersifat tradable alias bisa diperdagangkan di pasar sekunder setelah dua kali pembayaran kupon, yaitu mulai 11 Desember 2020.

***

Ingin berinvestasi sekaligus bantu negara?

Pemesanan SR013 secara online di Bareksa hanya bisa dilakukan pada masa penawaran 28 Agustus - 23 September 2020. Belum memiliki akun Bareksa tetapi ingin berinvestasi SBN? Segera daftar melalui aplikasi Bareksa sekarang, gratis hanya dengan menyiapkan KTP dan NPWP (opsional).

Bagi yang sudah punya akun Bareksa untuk reksadana, lengkapi data berupa rekening bank untuk mulai membeli SBN di Bareksa. Bagi yang sudah pernah membeli SBR, ORI atau Sukuk di Bareksa sebelumnya, Anda bisa menggunakan akun di Bareksa untuk memesan SR013.

PT Bareksa Portal Investasi atau bareksa.com adalah mitra distribusi resmi Kementerian Keuangan untuk penjualan Surat Berharga Negara (SBN) ritel secara online. Selain proses registrasi dan transaksi sangat cepat dan mudah, Anda juga dapat memantau investasi Anda dari mana saja dan kapan saja.