Reksadana Punya Dana Kelolaan Besar, Apakah Sudah Pasti Bagus?

Abdul Malik • 30 Jun 2022

an image
Ilustrasi net asset value (nilai aktiva bersih) atau dana kelolaan reksadana. (Shutterstock)

Anggapan tentang besarnya dana kelolaan mencerminkan kinerja yang bagus, tidak sepenuhnya tepat

Bareksa.com - "Size does matter." Jargon dari film Godzilla (1998) tersebut bisa saja relevan bila dikaitkan dengan memilih sebuah instrumen investasi, khususnya reksadana. Dalam investasi reksadana, kita sebagai investor pasti sering mendengar istilah dana kelolaan atau asset under management (AUM). Kita juga harus tahu apa pengaruh AUM terhadap investasi kita.

Definisi AUM atau dana kelolaan reksadana adalah total nilai aset yang dikelola oleh sebuah reksadana atau manajer investasi. Istilah AUM juga biasa disebut dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) suatu produk reksadana.

Meski kita bisa saja menyebut total semua uang kelolaan sebuah produk reksadana dengan AUM, kita tidak bisa menyebut semua dana yang dikelola oleh manajer investasi sebagai NAB. 

Memilih reksadana yang tepat tentu bukan pekerjaan sesaat, butuh banyak membaca jika ingin detail dan ingin paham tentang produk tersebut. Salah satu yang perlu diperhatikan calon adalah terkait besaran AUM ini.

Berkaca pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.23/POJK.04/2016 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, maka batasan minimal dana kelolaan sebuah reksadana ditetapkan Rp10 miliar. 

Untuk reksadana terbuka (reksadana saham, reksadana campuran, reksadana pasar uang dan reksadana pendapatan tetap) periodenya selama 90 hari berturut-turut. Sedangkan untuk reksadana terproteksi, reksadana indeks, dan reksadana dengan penjaminan, maka periodenya selama 120 hari berturut-turut.

Untuk itu, janganlah memilih reksadana yang AUM-nya tipis-tipis di kisaran Rp10 miliar untuk menghindari risiko likuidasi. Dengan aturan itu dan kondisi di pasar, anggapan awam adalah semakin besar AUM sebuah reksadana akan menjadikan produk tersebut menjadi baik di mata investor.

Tidak salah memang anggapan tersebut, karena besarnya AUM menunjukkan minat dan kepercayaan investor yang besar terhadap produk reksadana tersebut. Namun anggapan tentang besarnya dana kelolaan mencerminkan kinerja yang bagus, itu juga tidak sepenuhnya tepat karena ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dicermati calon investor. Mengutip CNBC Indonesia, berikut ini dua pertimbangan utamanya.

Pertama, semakin besar dana kelolaan maka akan menyulitkan reksadana tersebut untuk bermanuver, dalam hal ini berarti akan sulit mengubah strategi atau menyasar jenis efek tertentu (saham atau obligasi), beralih bobot indeks tertentu, atau menukar portofolio efek di dalamnya.

Untuk membentuk satu reksadana, dibutuhkan minimal 10 jenis efek yang berbeda karena batas maksimal kepemilikan efek adalah 10 persen dari total AUM si reksadana.

Dengan pertimbangan sederhana, jika dibutuhkan peralihan strategi atau portofolio investasi yang cepat, maka reksadana dengan dana kelolaan besar, misalnya di atas Rp10 triliun maka harus menukar 10 persen portofolionya yaitu Rp1 triliun dengan portfolio Rp1 triliun yang lain.

Alhasil, jika satu saham atau obligasi ditransaksikan beli Rp1 triliun dalam satu hari oleh satu pihak, maka harga di pasar akan naik luar biasa karena rata-rata nilai transaksi harian terbesar hanya Rp1 triliun untuk satu saham unggulan (blue chips). Jika transaksinya adalah jual, maka harga sahamnya tentu akan terjun bebas.

Karena itulah, aksi penukaran baik jual ataupun beli akan dilakukan secara bertahap oleh si manajer investasi dan relatif memakan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan reksadana yang AUM-nya lebih kecil.

Kedua, dana kelolaan besar berarti sebuah reksadana akan semakin menyerupai dan menyamai kinerja indeks acuan utama. Sebuah reksadana tentu menginginkan kinerja di atas atau lebih baik daripada indeks acuan, di pasar saham domestik dalam hal ini adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk seluruh jenis saham atau LQ45 sebagai acuan saham-saham blue chips.

Namun, sebuah reksadana berukuran besar tentu akan sulit memilih portofolio yang bukan blue chips, karena saham unggulan biasanya memiliki bobot besar pada IHSG dan LQ45. Jika pilihan reksadana tersebut terlalu besar di saham yang bukan blue chips, maka besar kemungkinan jika pasar sedang positif maka kinerjanya akan tertinggal jauh.

Karena itulah, reksadana yang berdana kelolaan jumbo akan mengikuti dan diikuti arah pasarnya karena akan menjadi acuan.

(KA01/Arief Budiman/AM)

***

​Ingin berinvestasi aman di reksadana online yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store​
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS

​DISCLAIMER

Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.