Begini Perbedaan Reksadana yang Dikelola Secara Aktif dan Pasif

Abdul Malik • 27 Apr 2021

an image
Ilustrasi investor atau manajer investasi yang memantau pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pengaruhnya pada kinerja reksadana dan SBN. (Shutterstock)

Sejak 2005 hingga 2020 sebagian besar reksadana saham aktif mencatatkan kinerja di bawah benchmark

Bareksa.com - Salah satu perusahaan manajer investasi (MI) terbesar di Indonesia yakni PT Syailendra Capital membidik reksadana pasif untuk menarik minat investor, seiring dengan kinerja reksadana aktif yang sebagian besar kinerjanya di bawah indeks acuan alias “underperform”.

Presiden Direktur Syailendra Capital, Fajar R Hidayat dalam keterangannya di Jakarta (26/4/2021) menyatakan sejak 2005 hingga 2020 sebagian besar reksadana saham aktif mencatatkan kinerja di bawah benchmark pada 11 dari 16 tahun terakhir.

Besarnya proporsi underperforming ini memberikan tantangan bagi investor, guna memastikan produk pilihannya bisa konsisten memberikan imbal hasil yang lebih baik dari benchmark.

Sekadar informasi, perusahaan yang menduduki peringkat kedelapan MI dengan dana kelolaan terbesar per Maret 2021 ini tercatat memiliki dua produk reksadana pasif atau yang juga disebut reksadana indeks.

Pertama, reksadana Syailendra MSCI Indonesia Value Index Fund (SMSCI), dan kedua ​Syailendra ETF MSCI Indonesia ESG Universal Fund.

Apa perbedaan strategi reksadana aktif dengan reksadana pasif?

Strategi investasi reksadana adalah strategi yang digunakan oleh para manajer investasi dalam mengelola portofolio investasi reksadananya.

Karena basis portofolio reksadana bermacam-macam aset yang terdiri dari saham, obligasi, maupun pasar uang, maka kategori strategi reksadana dapat dibagi berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Strategi Investasi Pasif

Dengan strategi ini, portofolio investasi reksadana dikelola sangat pasif. Umumnya, reksadana yang masuk kategori ini memungut biaya pengelolaan (management fee) yang rendah dan hanya memberikan tingkat pengembalian yang setara dengan pasar/indeks atau memberikan bunga dan kupon obligasi kepada investor secara periodik.

Jenis reksadana yang masuk kategori ini antara lain ETF (Exchange Traded Fund) baik saham ataupun obligasi, reksadana terproteksi dan reksadana pasar uang.

Bagi investor yang percaya bahwa dalam jangka panjang reksadana akan susah mengalahkan return pasar (baik saham ataupun obligasi), ataupun investor konservatif yang ingin reksadana dengan tingkat imbal hasil (return) yang lebih pasti, maka reksadana kategori ini bisa menjadi salah satu pertimbangan.

Adapun keberhasilan dari pengelolaan suatu reksadana indeks yaitu jika kinerja reksadana tersebut sama persis dengan kinerja indeks yang digunakan.

Namun, umumnya tidak pernah terjadi karena ada biaya-biaya yang harus dibayar oleh reksadana tersebut, yaitu biaya manajemen untuk manajer investasi, biaya bank kustodian, dan biaya transaksi jual beli saham atau obligasi.

Karena itu, ukuran keberhasilan yang sering digunakan adalah seberapa kecil perbedaan antara kinerja suatu reksadana indeks dengan kinerja indeks itu sendiri yang dikenal dengan istilah standard error (SE).

Besaran SE yang digunakan dalam suatu reksadana indeks umumnya adalah 1 persen. Artinya manajer investasi akan berusaha keras agar kinerja reksadananya perbedaan maksimumnya hanya 1 persen lebih tinggi atau lebih rendah dari indeks yang digunakan.

2. Strategi Investasi Aktif

Dalam strategi ini, manajer investasi secara aktif mengelola portofolio investasi reksadana dan berusaha memberikan tingkat imbal hasil di atas tingkat pasar. Bisa dibilang hampir sebagian besar dari reksadana yang ada saat ini bisa dikategorikan sebagai reksadana dengan strategi investasi aktif.

Hanya saja, strategi yang digunakan untuk memberikan imbal hasil yang mengalahkan tingkat return pasar berbeda-beda. Berdasarkan portofolio investasi yaitu saham dan obligasi, strategi aktif yang digunakan dapat dibagi menjadi growth investing dan value investing.

Keduanya adalah strategi investasi yang sangat dikenal dalam teori investasi dan juga dipraktikkan oleh investor-investor legendaris seperti Warren Buffet dan Benjamin Graham.

Growth investing adalah strategi investasi di mana dalam pemilihan saham didasarkan pada perusahaan yang tingkat pertumbuhannya di atas rata-rata, meskipun secara valuasi bisa saja harga saham tersebut sudah dikategorikan relatif mahal. Saham yang masuk dalam kategori ini disebut growth stock.

Berlawanan dengan growth investing, value investing adalah strategi investasi di mana pemilihan saham didasarkan pada perusahaan yang fundamentalnya baik, memiliki prospek dan model bisnis yang jelas serta secara valuasi relatif lebih murah dibandingkan dengan saham secara umum. Saham yang masuk dalam kategori ini disebut value stock.

(KA01/Arief Budiman/AM)

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS 

DISCLAIMER​
Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.