Data Historis: Peluang IHSG dan Reksadana Saham Naik Pasca Pilpres AS

Hanum Kusuma Dewi • 26 Nov 2020

an image
Refleksi seorang karyawan melintasi layar IHSG saat penutupan perdagangan saham 2019 di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin (30/12/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Menurut riset Syailendra, probabilitas pasar saham naik 69% setelah pilpres bila sebelumnya juga naik

Bareksa.com - Pemilunya di Amerika Serikat, tapi euphorianya bisa sampai ke Indonesia. Berdasarkan data statistik, kinerja pasar saham global sebelum hari pemilihan merupakan prediktor yang baik untuk kinerja 3 bulan setelah hari pemilihan. 

Menurut riset Syailendra Capital yang dibagikan kepada nasabah, pasar saham AS yang tercermin dari indeks S&P 500 cenderung bergerak positif setelah hari pemilihan, dengan probabilitas tingkat pengembalian positif sebesar 69 persen, terlepas siapapun kandidat presidennya yang menang. 

"Pergerakan indeks global (S&P500, MSCI EM Asia dan IHSG) 3 bulan sebelum hari pemilihan dapat digunakan sebagai prediktor terhadap kinerja 3 bulan setelah hari pemilihan," tulis Syailendra dalam Market Insight 25 November 2020. 

Terlihat pada tabel, 9 dari 15 pemilihan presiden AS, S&P 500 mencatatkan kinerja positif, 3 bulan sebelum hari pemilihan. Dari 9 pilpres tersebut, terdapat 7 kali S&P 500 masih melanjutkan kinerja positif, 3 bulan setelah hari pemilihan (78 persen kejadian). Logika yang sama dapat diaplikasikan terhadap S&P 500, MSCI EM Asia dan JCI dengan 100 persen kejadian. 

Tabel Peluang Kinerja Pasar Saham Sebelum dan Sesudah Pilpres AS

Indeks
Periode
Jumlah Pemilu selama Periode
Jumlah Kinerja Positif 3bln Pra-Pemilu
Jumlah Kinerja Positif 3bln Pra-Pemilu dan 3bln Pasca Pemilu
Peluang Kejadian
S&P 500
1960-2016
15
9
7
78%
S&P 500, MSCI, EM Asia, IHSG
1988-2016
8
2
2
100%

Sumber: Riset Syailendra

Kemudian, pola gerak S&P 500 dan IHSG juga cenderung sama dalam 90 hari sebelum dan sesudah hari pemilihan. Seperti terlihat dalam tabel, ada pola penurunan pada kedua indeks dalam 90 hari menjelang hari pemilihan. Namun, pola peningkatan pada kedua indeks tersebut juga terlihat 90 hari setelah hari pemilihan. 

Mengenai besar pergerakan, IHSG cenderung memiliki sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan S&P 500. Sebagai contoh, 90 hari menjelang pemilu AS 2012, IHSG turun sebesar 5 persen, sementera S&P 500 tercatat flat. Bahkan di periode yang sama pada tahun 2004, IHSG turun sebesar 17 persen, sedangkan S&P 500 hanya turun sebesar 6 persen.

Namun di sisi lain, saat terjadi rally pasca hari pemilihan, indeks IHSG mengalami peningkatan yang relatif lebih besar dan cepat dibandingkan dengan peningkatan pada indeks S&P 500. Pada tahun 2004, IHSG tumbuh 18 persen, atau 14 persen lebih besar dibandingkan dengan S&P 500 yang hanya tumbuh sebesar 4 persen.

Meskipun demikian, Syailendra menilai besarnya tingkat pengembalian pada pasar ekuitas AS sejatinya lebih dipengaruhi oleh siklus kredit dibandingkan dengan faktor politik. Ada korelasi terbalik antara tingkat suku bunga dan tingkat pengembalian pasar saham. 

Grafik Suku Bunga The Fed dan Kinerja Pasar Saham (S&P 500)

Sumber: Bloomberg, Syailendra Research

Seperti terlihat pada grafik, korelasi inversi ini sangatlah erat. Tingkat suku bunga yang tinggi menghasilkan tingkat pengembalian ekuitas yang rendah. Sejak tahun 2008 (Obama Era) hingga kini, tingkat suku bunga AS masih berada pada level yang cukup rendah. 

Saat ini, tingkat suku bunga the Fed berada di angka 0,25 persen. Oleh karena itu, tingkat pengembalian ekuitas 12 bulan setelah hari pemilihan masih diperkirakan positif. Secara rata-rata, tingkat pengembalian 12 bulan setelah hari pemilihan adalah 11 persen (sejak tahun 1960-2016).

Setelah terpilihya Biden sebagai Presiden AS 2021, pelaku pasar global melihat adanya peluang bahwa pasar emerging market Asia akan mengalami imbas positif. Imbas positif yang dimaksud berupa peningkatan pada arus investasi yang masuk ke negara emerging dan juga memulihnya aktivitas ekspor-impor berskala global.

Kebijakan ekonomi yang diajukan oleh Biden secara luas akan memberikan keuntungan bagi Emerging Market. Dengan adanya kebutuhan fiskal defisit yang meningkat, pelaku pasar melihat adanya ruang untuk mata uang USD melanjutkan pelemahannya. 

Tak hanya itu, peningkatan biaya pajak korporasi dan upah minimum juga akan memberikan pukulan keras bagi para pelaku bisnis di AS. Hal ini secara langsung akan memberikan outlook negatif pada pertumbuhan laba perusahaan AS. 

Oleh sebab itu, para pelaku pasar melihat adanya peluang bagi Emerging Market, termasuk Indonesia, untuk dipilih sebagai destinasi investasi utama. Secara nilai, Indonesia masih berada pada valuasi yang cukup menarik, dengan rasio Price to Book 1,8 kali, dibawah rata-rata 5 tahun terakhir yaitu sebesar 2,1 kali. 

Ditambah lagi, Indonesia masih menawarkan tingkat pengembalian ekuitas atau return on eqity (ROE) yang sangat tinggi di level 14,2 persen, jauh di atas rata-rata negara Asia Tenggara lainnya di level 9,3 persen. "Oleh sebab itu, kami melihat bahwa Indonesia masih menjadi salah satu pilihan utama bagi investor asing yang ingin berinvestasi di luar AS, terutama Emerging Market," tutup Syailendra. 

Sebagai informasi, IHSG menjadi acuan untuk investasi berbasis saham seperti reksadana saham dan reksadana indeks saham. Investasi di pasar saham disarankan untuk investor agresif dengan tujuan investasi jangka panjang. 

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS

DISCLAIMER

Semua data kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini adalah kinerja masa lalu dan tidak menjamin kinerja di masa mendatang. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.