Dibuka Langsung Menguat, Sentimen Apa Saja yang Pengaruhi IHSG?

Bareksa • 04 Mar 2019

an image
Sejumlah orang mengamati layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. IHSG turun dengan sejumlah saham berkapitalisasi besar melemah. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Ketidakpastian global masih membayangi pergerakan rupiah pekan ini

Bareksa.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis 0,02 peren di 6,499 selama perdagangan pekan lalu dengan sektor pertanian (-4,63 persen) mencatatkan koreksi terdalam akibat turunnya harga CPO sedangkan sektor consumer goods (2,31 persen) mengalami kenaikan tertinggi.

Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh perundingan dagang antara AS dan China, isu geopolitik antara India dan Pakistan serta respons pasar terhadap rilis kinerja keuangan emiten.

Bursa Saham Wall Street ditutup menguat pada perdagangan Jumat dengan indeks DJIA naik 0,43 persen, S&P 500 naik 0,06 persen dan Nasdaq naik 0,83 persen.

Kenaikan itu dipicu oleh optimisme perundingan dagang antara AS dan China setelah berita bahwa pertemuan puncak antara presiden AS Donald Trump dan presiden China Xi Jinping untuk menandatangani kesepakatan dagang dapat terjadi secepatnya pada pertengahan Maret 2019.

Namun kenaikan indeks tertekan data ekonomi yang berada di bawah ekspektasi di mana data PMI AS untuk Februari turun ke level terendah sejak November 2016.

IHSG Berpotensi Menguat, Uji Resisten 6.545

IHSG pada Senin pagi, 4 Maret 2019 dibuka menguat. Pada pukul 09.41 IHSG berada di level 6.526. Kenaikan itu setelah pada perdagangan akhir pekan kemarin, IHSG ditutup menguat di level 6.499.

Indeks berpotensi untuk melanjutkan konsolidasi dengan bergerak menguji support level 6.445. Stochastic yang berada pada kecenderungan melemah berpotensi membawa indeks melemah. Namun jika indeks berbalik menguat dapat menguji resistance level 6.545. 

Indonesia Alami Deflasi

Pada Februari 2019, Indonesia mengalami deflasi 0,08 persen (MoM), atau setara dengan inflasi 2,57 persen (YoY). Deflasi dibandingkan bulan sebelumnya ini disebabkan adanya penurunan harga pangan, yang mana mengalami deflasi hingga 1,11 persen.

Tidak hanya itu, penurunan harga BBM non-subsidi juga turut andil dalam deflasi ini. Meskipun mengalami deflasi, akan tetapi daya beli masyarakat Indonesia masih dianggap cukup tinggi karena masih stabilnya inflasi inti 0,26 persen (MoM) dan 3,06 persen (YoY).

Trump Minta China Cabut Tarif

Sehubungan dengan progress negosiasi dagang AS-Tiongkok yang cukup baik, Presiden AS, Donald Trump, meminta pemerintah China untuk mencabut tarif untuk produk pertanian AS.

Tidak hanya itu, untuk menunjukan keseriusan Trump dalam negosiasi dagang tersebut, Trump secara resmi menyatakan ia akan menunda kenaikan tarif barang Tiongkok, yang sejatinya direncanakan diimplementasi pada Maret tahun ini.

Ketidakpastian Global Masih Bayangi Pergerakan Rupiah Pekan Ini

Pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS pada pekan ini masih akan dibayangi dengan ketidakpastian global dan sentimen gejolak geopolitik yang semakin marak.

Kembali mencuatnya ketidakpastian negosiasi perdagangan antara AS - China akan menjadi sebuah risiko besar bagi perekonomian global, yaitu risiko perlambatan ekonomi yang menjadi semakin nyata.

Belum lama ini, Presiden AS Donald Trump menegaskan dirinya siap untuk membatalkan perundingan dagang dengan China jika hasilnya tetap tidak memuaskan.

Ketegangan lain yang menahan laju pergerakan rupiah berasal dari India dan Pakistan, yang menjadi perbincangan hangat baru bagi pasar karena kedua negara tersebut adalah negara yang memiliki reaktor nuklir.

Sementara itu, dari sisi internal, harga minyak mentah dunia yang kembali di zona hijau akan membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia karena biaya impor yang membengkak.

Apalagi, transaksi berjalan yang mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa menjadi fondasi penting bagi rupiah.

(KA02/AM)

DISCLAIMER

Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.