Bila Batas Minimum Saham Rp50 Dihapus, Modus Perdagangan Ini Akan Hilang

Bareksa • 30 Nov 2016

an image
Seorang karyawan berdiri di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Bursa tidak bisa membangkrutkan perusahaan karena fundamentalnya jelek

Bareksa.com - Adanya batasan saham Rp50 per lembar kerap dimanfaatkan para pemain saham untuk menumpuk keuntungan. Pasalnya dengan membeli saham dengan nilai Rp50 tidak akan mengalami kerugian karena tidak mungkin turun lagi. 

Namun, sepertinya motif seperti ini tidak bisa lagi dilakukan. Alasannya, tahun depan Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak lagi membatasi harga minimum saham di pasar reguler. Tentunya ini akan menambahkan risiko bagi saham-saham yang saat ini sudah seharga gocap dan memiliki fundamental yang buruk juga. (Baca juga: Waspada! Beberapa Saham Ini Berpotensi Bergerak di Bawah Rp 50)

Head of Research Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai wacana kebijakan yang akan dilakukan oleh Bursa itu dapat menghilangkan sejumlah modus spekulasi di pasar saham. Saat ini, dia menilai banyak pelaku pasar yang sengaja membeli saham recehan di pasar negosiasi yang tidak ada batas harganya dan menjual di pasar reguler dengan harga minimum Rp50.

Ia melanjutkan, strategi ini memang banyak dilakukan trader di saham-saham yang biasanya bergerak fluktuatif tanpa melihat fundamental. Modus seperti ini kebanyakan dilakukan oleh para trader ahli yang memang siap kehilangan uang. 

Sementara itu, meminjam istilah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Satrio menyebut perusahaan yang nilai sahamnya Rp50 ini bagaikan zombie.

Perusahaan ini menurutnya mati enggan tetapi hidup tidak mau. Risiko perusahaan ini bisa saja bangkrut karena fundamentalnya buruk. Namun BEI tidak bisa membuat perusahaan tersebut bangkrut. 

“Bursa kan memang tidak bisa membangkrutkan perusahaan karena fundamentalnya jelek tetapi masih terus rajin memberikan laporan keuangan,” katanya kepada Bareksa.com, Selasa 29 November 2016.

Bukan hanya terus merugi, ada beberapa emiten yang ekuitasnya bahkan sudah negatif. Untuk itu, Satrio lebih mendukung jika batasan Rp50 memang dihapuskan sehingga pasar bisa menilai sendiri perusahaan-perusahaan berdasarkan nilai aslinya. 

Ia melanjutkan, lebih baik perusahaan jelek memang dibiarkan mati. Menurutnya, pada saatnya pasti ada perusahaan yang hidup kembali. 

“Biarkan itu menjadi semacam seleksi alam,” katanya. 

Lain lagi pendapat dari Adrian Priyatna, Equity Research Analyst Erdikha Securities. Dia kurang setuju dengan penghapusan batasan minimum Rp50 di pasar reguler.

“Kalau dihapus ada kecenderungan saham itu bisa dijual sampai serendah-rendahnya. Bahkan sampai satu atau nol rupiah,” katanya kepada Bareksa.com. 

Cara seperti ini menurutnya sama saja dengan membuat perusahaan bangkrut atau pailit melalui bursa. Alih-alih semakin menarik bagi perusahaan, hal ini justru membuat perusahaan dengan kapitalisasi kecil semakin takut untuk melantai di bursa. 

Dilihat dari sisi investor, khususnya ritel, penghapusan batas minimum itu dapat meningkatkan risiko kerugian. Padahal, BEI saat ini sedang gencar-gencarnya mengajak masyarakat untuk berinvestasi di sektor saham sehingga kebijakan seperti ini dapat menjadi semacam penghalang.

“Kasihan investor ritel yang main sedikit-sedikit dibanting harganya,” katanya. 

Ia melanjutkan, jika investor membeli saham Rp50 per lembar dan pada kenyataan harus turun hingga Rp5 per lembar, hal ini tentu akan memberikan efek jera dan membuat investor takut kehilangan uangnya. 

Menurutnya, skema yang ada saat ini melalui pasar nego sudah sangat baik. Bursa seharusnya membiarkan sistem yang ada saat ini. 

“Justru di sanalah fungsi IDX: untuk melindungi investor dari kecenderungan dirugikan. Kalau bursa tidak melindungi, bagaimana investor tertarik,” ujarnya. (hm)