
Bareksa – Harga emas dunia kembali menembus level psikologis US$4.000 per ons, memperpanjang reli tahunan lebih dari 50% dan mencatat kinerja terbaik sejak 1979. Lonjakan ini dipicu oleh kebijakan moneter longgar bank sentral global, meningkatnya ketegangan geopolitik, serta menurunnya kepercayaan terhadap institusi keuangan di berbagai negara.
Menurut laporan Kitco News (10/10), David Erfle, pendiri dan editor Junior Miner Junky, menilai reli kali ini menjadi tonggak penting. Pola teknikal jangka panjang cup & handle selama 13 tahun akhirnya berhasil ditembus di atas level US$2.000 pada Maret 2024, dan hanya dalam 18 bulan harga emas sudah mencapai target di US$4.000.
"Gejolak politik di tiga ekonomi utama pada awal pekan mendorong harga emas naik,” ujarnya.
Pola cup & handle (cangkir dan pegangan) dikenal sebagai sinyal kelanjutan tren naik (bullish continuation pattern). Tiga sumber gejolak politik tersebut adalah shutdown pemerintah AS, krisis pemerintahan Prancis, dan terpilihnya Sanae Takaichi sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang. Ketiganya memicu lonjakan permintaan aset aman (safe haven) hingga emas sempat menyentuh level intraday US$4.080 per ons sebelum aksi ambil untung terjadi.
Emas kini menjadi salah satu aset dengan kinerja terbaik di 2025, melampaui indeks saham global dan Bitcoin, di tengah pelemahan dolar AS dan harga minyak mentah. Secara teknikal, level resistance berikutnya berada di US$4.500 per ons, sementara area support kuat di US$3.750-3.500.
Dari sisi fundamental, Goldman Sachs menaikkan proyeksi harga emas Desember 2026 sebesar US$600 menjadi US$4.900 per ons, didukung arus masuk besar ke ETF berbasis emas dan pembelian agresif oleh bank sentral. World Gold Council (WGC) juga mencatat arus masuk ETF emas pada September merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir, dengan investor Tiongkok menjadi pembeli aktif.
Selain itu, untuk pertama kalinya dalam lebih dari setengah abad, lembaga keuangan besar mulai merekomendasikan alokasi dana ke logam mulia. CIO Morgan Stanley, Mike Wilson, menyarankan komposisi portofolio baru 60/20/20, yaitu 60% saham, 20% obligasi, dan 20% logam mulia.
Kenaikan emas di atas US$4.000 menandakan tren bullish jangka panjang masih kuat, terutama di tengah ekspektasi penurunan suku bunga dan ketidakpastian global. Investor dapat mempertimbangkan menambah eksposur ke aset berbasis emas—baik melalui emas fisik, reksa dana emas, maupun saham pertambangan emas.
Meski potensi koreksi jangka pendek bisa terjadi karena aksi ambil untung, prospek jangka menengah masih positif berkat permintaan kuat dari bank sentral dan investor institusional. Dengan momentum ini, emas berpeluang tetap menjadi aset lindung nilai utama terhadap inflasi dan gejolak pasar global di tahun-tahun mendatang.
Mengutip Investing, harga emas spot pada 13 Oktober 2025 pukul 12.59 WIB berada di US$4.064 per ons, naik 1,3% dari penutupan sebelumnya. Dengan kurs Rp16.570 per dolar AS, harga tersebut setara sekitar Rp2,165 juta per gram.
Berdasarkan data fitur Bareksa Emas (13/10), harga emas dalam negeri tercatat lebih tinggi dari harga spot global:
- Treasury Rp2.217.418 per gram (2,4%)
- Pegadaian Rp2.241.000 (3,5%)
- Indogold Rp2.230.152 (3%)
- Antam Rp2.305.000 (6,5%)
Selisih harga domestik ini mencerminkan faktor kurs, biaya distribusi, margin penjual, serta tingginya permintaan di pasar lokal.
Seiring proyeksi Goldman Sachs yang menaikkan target harga 2026 menjadi US$4.900 per ons (sekitar Rp2,61 juta per gram dengan kurs tetap), dengan asumsi selisih harga tetap sama yakni 2,4-6,5%, maka harga emas dalam negeri berpotensi naik ke kisaran Rp2,67–2,78 juta per gram pada 2026.
Sumber | Selisih vs Harga Spot | Estimasi harga 2026 (Rp/gram) |
|---|---|---|
Treasury | 2,42% | Rp2.675.000 |
Pegadaian | 3,51% | Rp2.703.000 |
Indogold | 3,01% | Rp2.691.000 |
Antam | 6,47% | Rp2.781.000 |
Sumber: Investing, fitur Bareksa Emas, diolah
(AM)
***
DISCLAIMER
Fitur Bareksa Emas dikelola oleh PT Bareksa Inovasi Digital, berkerja sama dengan Mitra Emas berizin.