Indonesia akan Resesi? Ini Prediksi Ekonomi 2020 versi Kemenkeu, OECD hingga Bank Dunia

Abdul Malik • 24 Sep 2020

an image
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers tentang kinerja APBN di kantor Kemenkeu, Jakarta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia di 2020 minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen

Bareksa.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia di 2020 minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Prediksi minus itu lebih dalam dari proyeksi sebelumnya di kisaran minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen. Dia juga memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Angka itu lebih dalam dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya, yakni minus 2,1 persen hingga 0 persen.

"Forecast terbaru kita pada September untuk 2020 adalah minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen. Ini artinya, negatif territory kemungkinan terjadi pada kuartal III," kata Sri Mulyani dalam video conference APBN KiTa, Selasa (22/9/2020).

Realisasi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Resesi didefinisikan sebagai kondisi di mana pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Dengan prediksi tersebut, Indonesia dinilai akan masuk jurang resesi. Minusnya ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19 tidak sendirian, sebab tercatat 45 negara di dunia sudah melaporkan kontraksi ekonomi mereka. Beberapa di antaranya sudah mengumumkan resesi sejak kuartal II 2020.

Bagaimana perbandingan prediksi ekonomi Indonesia antara Kemenkeu dan lembaga-lembaga di dunia? Berikut ulasannya :

Prediksi ekonomi 2020 yang disampaikan Kementerian Keuangan sejatinya lebih suram dibandingkan proyeksi Bank Dunia yang masih tetap mempertahankan prediksinya yakni ekonomi RI bakal stagnan 0 persen tahun ini.

Namun prediksi Sri Mulyani masih jauh lebih baik dibandingkan Organisasi Negara-negara Maju (OECD) yang memprediksi ekonomi Indonesia bisa minus 3,3 persen. Proyeksi OECD tersebut dikoreksi dari sebelumnya -3,9 persen sampai dengan -2,8 persen.

Adapun Asian Development Bank (ADB) dan Bloomberg (per 20 September) sama-sama memprediksi ekonomi RI di level -1 persen dan Dana Moneter Internasiinal (IMF) -0,3 persen.

Pada tahun depan, IMF memiliki proyeksi paling optimistis terhadap ekonomi RI yakni bisa tumbuh 6,1 persen. Kemenkeu memproyeksi ekonomi 2021 bakal tumbuh 4,5 persen hingga 5,5 persen. OECD dan ADB memiliki prediksi yang sama yakni pertumbuhan 5,3 persen. Blommberg memproyeksi kenaikan 5,4 persen dan Bank Dunia 4,8 persen. 

Sumber : materi presentasi Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita edisi September 2020

Penyebab Kontraksi Ekonomi

Sri Mulyani menyatakan tekanan ekonomi pada kuartal III diperkirakan berkurang seiring membaiknya konsumsi rumah tangga dan investasi. Meski membaik, namun konsumsi rumah tangga mencatatkan negatif yang tercermin dari mobilitas. Di sisi lain, konsumsi pemerintah naik tajam pada kuartal III seiring percepatan belanja pemerintah.

"Investasi sedikit lebih baik namun masih lemah, tercermin dari indikator aktivitas bangunan, impor barang modal dan penjualan kendaraan niaga. Perbaikan aktivitas ekonomi masih tertahan membuat investasi masih wait and see," ungkap Sri Mulyani.

Menurut dia, perdagangan internasional masih turun tajam, terutama impor cenderung menurun lebih tajam. Kondisi di sisi produksi juga masih tertahan, perbaikan PMI mempengaruhi manufaktur dan perdagangan yang membaik walaupun masih tumbuh negatif.

"Aktivitas pariwisata masih rendah menekan sektor transportasi dan hotel-restoran. Namun sebaliknya sektor pertanian, informasi dan komunikasi serta berbagai sektor jasa mampu tumbuh positif," ujar Sri Mulyani.

Sumber : materi presentasi Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita edisi September 2020

***

Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS

DISCLAIMER