Dua Faktor Ini Sebabkan Rupiah Makin Melemah Tembus Rp15.185 per Dolar AS

Bareksa • 05 Oct 2018

an image
Seorang petugas memperlihatkan pecahan dolar Amerika di gerai penukaran mata uang asing di Ayu Masagung, Jakarta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww/16.

Dolar AS memang sedang berada dalam momentum penguatannya

Bareksa.com - Setelah menembus level psikologis Rp15.000 per dolar Amerika Serikat, rupiah belum juga berhenti melemah.

Mengutip Reuters, pada Kamis (4/10), hingga pukul 14.35 WIB, rupiah terpantau melemah 0,73 persen di pasar spot ke level Rp15.185 per dolar AS dibandingkan penutupan hari sebelumnya Rp14.075 per dolar AS.


Sumber: Reuters

Dolar AS memang sedang berada dalam momentum penguatannya. Indeks dolar AS (mencerminkan mata uang dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) yang menguat 0,21 persen dalam waktu yang sama.


Sumber: Bloomberg

Namun, tetap saja pelemahan rupiah terbilang signifikan. Sebab mata uang negara-negara lain di kawasan Asia tidak melemah sedalam rupiah.

Beberapa mata uang yang melemah melawan dolar AS di pasar spot antara lain, ringgit Malaysia (0,24 persen), baht Thailand (0,43 persen), peso Filipina (0,20 persen), dan rupee India (0,41 persen).

Beberapa faktor menyebabkan rupiah melemah terhadap dolar AS, baik dari dalam maupun luar. Ini rinciannya :

Faktor Eksternal

Dari sisi eksternal, penguatan dolar AS disebabkan oleh positifnya rilis data ekonomi di Amerika Serikat (AS). Pada Rabu, (3/10/2018) waktu setempat, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan 230.000, mengalahkan konsensus 185.000.

Kemudian, ISM Non-Manufacturing PMI periode September diumumkan di level 61,6, juga mengalahkan konsensus 58.

Positifnya data tersebut bukan hanya mengonfirmasi bahwa perekonomian Negeri Adidaya sedang melaju kencang, namun juga mengindikasikan perang dagang yang tengah bergejolak dengan China belum berdampak signifikan.

Pada akhirnya, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh Bank Sentral AS (The Fed) terus bisa dipertahankan di level yang tinggi.

Mengutip situs resmi CME Group, kemungkinan The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini adalah 78,1 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi sebulan sebelumnya yang sebesar 70,1 persen.

Terlebih, Gubernur The Fed, Jerome Powell, kembali melontarkan pernyataan yang hawkish. Powell mengungkapkan The Fed tidak lagi memerlukan kebijakan-kebijakan yang dulu digunakan untuk mengangkat perekonomian AS dari jurang krisis.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan tingkat suku bunga acuan secara bertahap akan dinaikkan menuju level netral.

Faktor Internal

Sementara dari dalam negeri, tingginya harga minyak mentah dunia menyebabkan kekhawatiran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia akan semakin melebar.

Kini, harga minyak WTI kontrak pengiriman November bertengger di level US$ 76,16 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent kontrak pengiriman Desember berada di level US$ 86,03 per barel.

Defisit perdagangan migas menjadi pemicu lebarnya defisit neraca dagang Indonesia yang pada akhirnya membebani CAD.

Secara kumulatif dari periode Januari hingga Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar, melambung 54,6 persen dari capaian pada periode yang sama tahun lalu US$ 5,40 miliar.

Sekadar informasi, CAD Indonesia pada kuartal II 2018 mencapai level 3,04 persen dari PDB. Padahal pada kuartal I 2018, defisitnya bara mencapai 2,21 persen dari PDB.

Capaian tersebut terbilang cukup bersejarah. Pasalnya, kali terakhir CAD menyentuh level 3 persen dari PDB adalah pada kuartal III 2014 silam.

(AM)