Mau Pelesiran Tapi Was-was Karena Pajak? Simak Penjelasan Ini

Bareksa • 30 May 2018

an image
Illustration travel vacation concept with luggage on white, Copyright: <a href='http://www.123rf.com/profile_Elnur'>Elnur / 123RF Stock Photo</a>

Ditjen Pajak dan Ditjen Imigrasi meningkatkan intensitas pemeriksaan WNI yang akan ke luar negeri

Bareksa.com - Baru-baru ini santer tersiar kabar, buah dari Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Ditjen Pajak dan Ditjen Imigrasi adalah intensitas pemeriksaan yang meningkat, bahkan pencegahan WNI yang akan bepergian ke luar negeri. Duh, kok seram amat sih? Benarkah begitu?

Perjanjian Kerja Sama ini hanya mengatur ruang lingkup, cakupan, dan prosedur kerja sama supaya lebih bagus, terkoordinasi, dan sinergis.

Sesungguhnya tidak ada hal baru, kecuali secara internal memang butuh kesepahaman agar gerak langkah kedua institusi ini di lapangan dapat berjalan dengan baik.

Pertukaran data dan informasi juga hal yang lazim, bahkan jauh sebelum ini pun sudah dilakukan sesuai mandat Pasal 35A UU KUP, bahwa setiap instansi, lembaga, asosiasi, atau pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Ditjen Pajak. Ini diatur detail di PP 31/2012.

Pertanyaannya, sejauh ini apakah kita sadar dan pernah menjadi sasaran pemungutan pajak yang serampangan lantaran pertukaran data ini? Tidak bukan? Karena seluruh data dan informasi ini hanya untuk profiling, intinya data soal siapa (identitas) dan sedang melakukan apa (aktivitas), diintegrasikan.

Misalnya si Badu bepergian ke luar negeri dengan uang sendiri, dari penghasilan yang sudah dipajaki dan dilaporkan di SPT. Ya tidak masalah, enjoy aja.

Lain halnya jika si Polan kerap pelesiran ke luar negeri, gemar pamer foto dan status di medsos, ternyata tak pernah membayar pajak dan tak menyampaikan SPT. Penghasilan selangit, bayar pajak irit dan pelit, malah dikentit.

Tentu beda antara Badu dan Polan. Supaya aman, dan sudah seharusnya, kita menjadi kawan Badu, bukan Polan.

Lantas siapa yang dicegah bepergian ke LN?

Buat yang nunggak pajak dan sedang disidik karena pidana pajak.

UU mengatur, pencegahan dalam rangka penagihan dan penyidikan tindak pidana perpajakan sebenarnya sudah berjalan saat ini. Namun, dengan Perjanjian Kerja Sama ini akan ada perbaikan prosedur/prosesnya sehingga lebih efisien, efektif, dan akuntabel.

Pencegahan bagi WP untuk berpergian ke luar negeri, dari sisi perpajakan hanya bisa terjadi untuk dua hal :

A. WP/Penanggung Pajak memiliki utang pajak (SKPKB) minimal Rp100 juta yang sudah berkekuatan hukum tetap/in cracht, dan tidak memiliki niat baik untuk melunasi utang pajaknya; atau

b. Terhadap WP dilakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Sesuai UU KUHAP, Penyidik Pajak memang dapat melakukan pencegahan.

Jadi hanya dalam kondisi terbatas tersebut, Ditjen Pajak berdasarkan PP 31/2013 bisa meminta Ditjen Imigrasi untuk mencegah WP ke luar negeri.

Ini berarti Ditjen Pajak tidak bisa semaunya mencegah individu untuk bepergian ke luar negeri, apalagi menghambat warga negara untuk bepergian ke luar negeri baik itu sebagai pelancong, berobat, ataupun pebisnis.

Dalam hal kondisi kita seperti si Polan sekalipun, Ditjen Pajak wajib mengikuti prosedur yang ada: melayangkan himbauan, melakukan persuasi, memberi kesempatan WNI tersebut mendaftar, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya.

Fair bukan? Nah, jika kita memang tidak mau taat, penegakan hukum baru dijalankan.

Jadi, tak perlu khawatir, teruslah pelesiran. Lanjutkan melancong, biar makin kinclong. Yang penting jangan lupa tunaikan apa yang menjadi kewajiban kita.

Errare humanum est, lupa itu manusiawi. Pemerintah memaklumi, maka mari saling ingatkan, saling berbenah, saling dukung demi kemajuan bangsa melalui pajak kita.

Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)