Kartu Kredit Limit di atas Rp100 Juta Diusulkan Wajib Lapor ke Ditjen Pajak

Bareksa • 05 Feb 2018

an image
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Batas yang terlalu tinggi justru dikhawatirkan tidak optimal bagi tujuan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

Bareksa.com - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengusulkan wacana pelaporan transaksi kartu kredit Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya didasarkan limit tertentu. Dia mengusulkan seluruh kartu kredit dengan limit Rp100 juta ke atas wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak. Sebab batas yang terlalu tinggi justru dikhawatirkan tidak optimal bagi tujuan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

"Ambang batas ini cukup moderat dan fokus menyasar ke kelompok berpenghasilan menengah atas," ujar Yustinus, dalam keterangannya, Senin, 5 Februari 2018.

Menurut Yustinus, Ditjen Pajak harus tetap mencermati situasi dan kondisi perekonomian, sehingga penerapan aturan soal pemanfaatan data kartu kredit untuk kepentingan pajak ini harus diperhitungkan. "Sebaiknya didahului dengan pembuatan sistem atau SOP atau tata cara pemanfaatan yg jelas, mudah, dan akuntabel. Pelaksanaan yang terburu-buru dan tanpa persiapan akan mengundang kekhawatiran yang tidak perlu," ungkapnya.

Pemerintah berencana membuka data kartu kredit untuk kepentingan perpajakan. Hal ini mengacu aturan terbaru Menteri Keuangan (PMK) No. 228/PMK.03/2017 yang diundangkan 29 Desember 2017 lalu. Aturan ini memuat detail rincian data dan informasi serta penyampaian data informasi terkait perpajakan.

Yustinus mengatakan data kartu kredit bukan termasuk klasifikasi rahasia menurut Undang-Undang Perbankan dan Perpajakan, sehingga untuk mendapatkannya tak perlu ijin atau aturan khusus. Hal ini pun bukan sesuatu yang baru dan pernah direncanakan sebelumnya. "Bahkan menurut Pasal 35A UU KUP, setiap instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib menyerahkan data kepada Ditjen Pajak," ujarnya.

"Jenis data ini juga tidak termasuk dalam data atau informasi yang diatur menurut Perppu 1 Tahun 2017 atau UU Nomor 9 Tahun 2017, sehingga tidak perlu mengikuti aturan di UU, termasuk tentang ambang batas (threshold) yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak,"

Data transaksi di kartu kredit, kata Yustinus, menjadi salah satu data untuk profiling penghasilan wajib pajak melalui pendekatan konsumsi. Hasil profiling dapat menjadi salah satu sarana meningkatkan basis pajak dan kepatuhan pajak melalui analisis yang memadai.

Meski begitu, Yustinus menilai persepsi dan kekhawatiran yg muncul harus diantisipasi karena dapat memicu penurunan penggunaan kartu kredit dan pada gilirannya dapat merugikan perekonomian nasional.

"Maka perlu penetapan skala prioritas dan pengelolaan komunikasi dan momentum yang tepat karena isu pemanfaatan data kartu kredit lebih menyangkut persoalan privacy, bukan secrecy, institusi, sistem, dan aparatur yang profesional dan terpercaya akan sangat membantu peningkatan kepercayaan dan kepatuhan pajak," katanya.

Untuk diketahui, nilai transaksi kartu kredit sepanjang 2017 senilai Rp297,76 triliun. Transaksi kartu kredit untuk keperluan belanja mendominasi, yakni mencapai Rp 288,91 triliun.