Keuangan Syariah Masih Minim Sosialisasi

Bareksa • 16 Jun 2017

an image
Branch Manager Bank Syariah Mandiri Cabang Jakarta - Thamrin Kusuma Dewi Eka (kiri) menjelaskan transaksi dan fasilitas perbankan kepada pelajar SD Sekolah Alam Indonesia di Jakarta (20/1/2014) (Antarafoto/HO)

Hal itu membuat produk keuangan syariah masih kalah dengan konvensional

Bareksa.com – Industri keuangan syariah di Indonesia masih punya hambatan yang sama untuk bisa berkembang. Selain soal permodalan, selama ini keuangan syariah kurang sosialisi sehingga masih kalah pamor dengan produk konvensional.

Hal itu pun dicermati Anggota DPR RI Fadel Muhammad. Fadel yang juga merupakan founder media Warta Ekonomi menyadari hal itu saat menggelar Sharia Finance Award (ISFA) 2017. “Keuangan syariah itu hambatannya kurang sosialisasi. Itu yang saya rasakan waktu buat ISFA ini,” ujar Fadel melalui keterangannya, Kamis, 15 Juni 2017.

Akibat kurang sosialisasi itu, Fadel menilai penawaran produk syariah masih kurang kompetitif dibanding produk keuangan konvensional. Karena itu industri keuangan syariah dituntut harus menelurkan beragam produk inovatif agar bisa bersaing dengan industri keuangan konvensional.

"Kemudian, sebagian besar modal yang dimiliki juga kecil. Dalam riset yang kami buat terlihat memang ekonomi dan keuangan syariah 77 persen masih terpusat di Pulau Jawa. Untuk pembiayaan pun demikian di Pulau Jawa dan Jakarta mendominasi," jelas Fadel.

Asal tahu saja, aset perbankan syariah masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (77,06 persen), khususnya di Jakarta (53,6 persen). Sebaran pembiayaan juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (71,19 persen) khususnya Jakarta (40,19 persen). Sebaran dana pihak ketiga (DPK) pun masih didominasi di Pulau Jawa (74,70 persen) khususnya Jakarta (47,53 persen).

Oleh sebab itu, ia mendorong regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan agar melakukan sosialisasi secara masif mengenai keuangan syariah agar sebarannya merata. Fadel juga meminta pemangku kepentingan perusahaan keuangan syariah untuk menambahkan modal atau melakukan merger agar lebih besar.

"Ketika saya di komisi XI DPR bersama dengan Pak Muliaman (Ketua OJK) dan Pak Bambang (saat menjadi Menteri Keuangan) ingin sekali mmbesarkan syariah cuma masalah yang dihadapi modal. Saya bilang kalau bisa digabungkan atau diinjeksi lagi modal karena ternyata potensi untuk tumbuh sangat besar sekali," tandasnya.

Dengan upaya itu, dia berharap industri keuangan syariah dapat bersaing dengan negara lain seperti Malaysia. "Masa kita kalah sama Malaysia, sama negara lain padahal kita negara muslim terbesar," tuturnya.

OJK mencatat hingga Maret 2017, pangsa pasar keuangan syariah berkisar 5 persen dari total pasar industri keuangan. Hal ini kalah jauh bila dibandingkan Malaysia yang sudah menembus 40 persen.

Meski demikian, apabila dilihat dari setiap jenis produk syariah, hingga triwulan I 2017, terdapat beberapa produk syariah yang market share-nya di atas 5 persen, antara lain aset perbankan syariah sebesar 5,29 persen dari seluruh aset perbankan, sukuk negara yang mencapai 16,45 persen dari total surat berharga negara yang beredar, lembaga pembiayaan syariah sebesar 7,27 persen dari total pembiayaan, lembaga jasa keuangan khusus sebesar 10,11 persen, dan lembaga keuangan mikro syariah sebesar 23,72 persen.

Sementara itu, produk syariah yang pangsa pasarnya masih di bawah 5 persen, antara lain sukuk korporasi yang beredar sebesar 3,77 persen dari seluruh nilai sukuk dan obligasi korporasi, nilai aktiva bersih reksa dana syariah sebesar 4,75 persen dari total nilai aktiva bersih reksa dana, dan asuransi syariah sebesar 3,47 persen.

Selain produk keuangan tersebut, saham emiten dan perusahaan publik yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah mencapai 54,89 persen dari kapitalisasi pasar saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.