Peraturan Gross Split Dikeluarkan, Ini Bedanya Dengan Production Sharing

Bareksa • 23 Jan 2017

an image
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri) menyampaikan pidato disaksikan Menko Maritim yang juga pejabat lama Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan (kanan) dalam acara serah terima jabatan (sertijab) di Jakarta.

Arcandra Tahar mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 mengenai skema Gross Split

Bareksa.com – Dalam industri minyak dan gas (migas), terbit aturan baru yang diharapkan dapat lebih menguntungkan negara dan para pemegang kontrak kerja sama migas. Ada perbedaan dalam penerapan skema penghitungan keuntungan dalam aturan baru ini dibandingkan dengan yang telah lama berlaku. Tulisan ini menjabarkan lebih jauh tentang skema yang diberi nama Gross Split.

Beberapa hari lalu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar mengeluarkan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 mengenai skema Gross Split. Tujuannya agar industri hulu migas semakin efisien tanpa adanya lagi penggantian biaya operasi hulu migas (cost recovery). Menteri ESDM Ignasius Jonan menjelaskan, langkah ini dipilih agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak terbebani akibat membayar cost recovery kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) setiap tahun.

Sebagai gambaran, dalam skema yang lama yakni Production Sharing Contract (PSC) bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) adalah 85 persen untuk negara dan 15 persen untuk kontraktor (85:15). Selain mendapatkan bagian sebesar 15 persen, kontraktor juga mendapat biaya pengganti (cost recovery) dari negara. Cost recovery dipotong dari minyak bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas dan harus diganti oleh negara.

Gambar : Perbandingan Skema PSC dan Gross Split

Sumber : Bareksa.com

Sedangkan bila menggunakan gross split, misalkan bagi hasil antara negara dan kontraktor 50:50, maka bagian kontraktor adalah 50 persen dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery. Negara tidak menanggung biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Jadi bagian yang diterima negara bersih 50 persen, tidak dipotong cost recovery.

Dengan skema gross split, maka biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema PSC dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab Kontraktor. Tidak ada pengembalian biaya operasi (cost recovery) dari Pemerintah sebagaimana kontrak bagi hasil skema PSC. Sehingga, semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya semakin baik.

Di Industri minyak, harga tidak dapat dikontrol siapapun, karena semuanya berjalan melalui mekanisme pasar. Sehingga, siapa yang dapat mengefisienkan cost maka mereka yang akan menjadi pemenang. “Cost itu sangat bergantung dengan teknologi, kalau salah memilih teknologi maka costnya akan besar, kalau benar dalam memilih teknologi maka cost-nya akan kecil. Teknologi yang akan mereduksi cost,” tambah Arcandra. (hm)