
Bareksa.com - Kemajuan teknologi nampaknya mulai semakin memberikan inovasi-inovasi khususnya di industri keuangan. Bermunculannya perusahaan teknologi yang bergerak di bidang keuangan atau sering disebut dengan istilah "fintech company" menjadi bukti bahwa pasar keuangan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar sehingga menjadi agenda penting bagi pemerintah maupun industri keuangan untuk membangun kolaborasi.
Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerjasama dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) menyelenggarakan acara "Fintech Festival and Conference 2016" untuk menjembatani semua stakeholder di industri Fintech, mulai dari regulator, institusi keuangan swasta, investor, startup, inkubator, asosiasi industri dan juga dari kalangan akademis.
Dalam acara ini juga turut disampaikan hasil survei Deloitte terhadap lebih dari 70 perusahaan fintech di Indonesia yang mengungkapkan bahwa mayoritas perusahaan Fintech Indonesia sangat berharap adanya kolaborasi dengan lembaga keuangan. Lebih dari separuh Fintech Indonesia menyebut kolaborasi menjadi sangat penting untuk mengembangkan potensi industri keuangan Indonesia di masa mendatang.
Erik Koenen, Advisor untuk industri jasa keuangan dari Deloitte Consulting juga menjelaskan perlunya peran pemerintah dalam menciptakan kolaborasi ini. "Banyak proses regulasi yang masih lambat dan belum jelas. Ini yang perlu dijembatani oleh pemerintah," jelas Erik dalam press conference Fintech Festival, 29 Agustus 2016 di ICE BSD Tanggerang.
Kurangnya kejelasan dan lambatnya proses regulasi menghasilkan iklim bisnis yang kurang adil untuk mendorong pertumbuhan lebih besar di industri. Banyak perusahaan yang menyebutkan regulasi saat ini masih dalam grey area.
Grafik: Kondisi Regulasi Fintech Indonesia Saat Ini
Sumber: Survei Deloitte 2016
Hal-hal yang sangat perlu diatur bagi para perusahaan Fintech ini adalah terkait: Payment gateway (60%), Emoney atau e-wallet (58%), dan KYC (57%). Know Your Customer (KYC) sejauh ini masih mengharuskan penyedia jasa dan nasabah Fintech harus saling bertemu yang merepotkan dan tidak sesuai dengan semangat inovasi Fintech.
Saat ini, belum ada paket komprehensif untuk regulasi yang jelas atau peta jalan strategis sebagai acuan bagi para perusahaan Fintech Indonesia dan sebagai landasan bagi pilihan bisnis mereka, seperti dijelaskan dalam riset Deloitte. (Baca juga: Regulasi Masih Hambat Pertumbuhan FinTech di Indonesia)
Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat membuka acara Fintech Festival juga menyebut bahwa OJK tidak lama lagi akan menerbitkan peraturan terkait industri Fintech guna mengembangkan ekosistem Fintech di Indonesia.
Sementara itu, Karaniya Dharmasaputra, Sekretaris Jendral Asosiasi Fintech Indonesia menjelaskan saat ini banyak perusahaan Fintech yang menemukan kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena lebih dari sebagian pasar Indonesia tidak paham atau salah informasi tentang sistem keuangan. Oleh sebab itu kolaborasi antara perusahaan Fintech dan lembaga keuangan dibutuhkan untuk bersama-sama melakukan edukasi sehingga akan menciptakan manfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang.
"Saat ini kita sedang di masa-masa inovasi keuangan yang akan meningkatkan akses masyarakat Indonesia terhadap pelayanan berorientasi teknologi. Peningkatan kerjasama dan perluasan hubungan antara perusahaan Fintech menjadi salah satu tujuan strategis kami sebagai asosiasi," tambah Karaniya.
Lebih detail riset Deloitte menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan Fintech di Indonesia ingin berkolaborasi dengan institusi keuangan lokal (66,2%) dan juga perusahaan Fintech lokal (47,1%). Mereka juga ingin membentuk kolaborasi dengan korporasi atau konglomerasi lokal (44,1%) serta perusahaan teknologi start-up lokal dari industri lain (44,1%).
Grafik: Pihak Yang Ingin Diajak Kolaborasi Oleh Perusahaan Fintech Indonesia
Sumber: Survei Deloitte 2016