S&P: Level Utang Perusahaan Indonesia Lebih Tahan Krisis Dibanding Singapura

Bareksa • 27 May 2016

an image
Presiden Jokowi memeriksa pasukan kehormatan, di Istana Kepresidenan Singapura, 28 Juli 2015 (Setkab.go.id)

S&P melakukan survei terhadap 150 perusahaan besar di ASEAN.

Bareksa.com - Dari survei terhadap 150 perusahaan besar di ASEAN, lembaga rating internasional S&P menemukan indikasi bahwa perusahaan swasta mulai mengontrol level utang di tengah tekanan kinerja operasional dan penurunan imbal hasil modal (return on capital). Yang menarik, kualitas kredit perusahaan besar di Indonesia dinilai masih masuk level aman dibandingkan perusahaan-perusahaan sekelas di negara-negara ASEAN lain.

Pada tahun 2015 ini, kenaikan utang mayoritas perusahaan besar di ASEAN lebih digunakan untuk menutup tekanan dari sisi arus kas operasional. Biaya ekspansi perusahaan dari laba dan investasi masih lambat, mengingat kondisi makro ekonomi yang belum kondusif.

Penguatan dolar Amerika sepanjang tahun 2015 lalu membuat belanja investasi perusahaan di ASEAN turun sekitar 8 persen dalam mata uang dolar Amerika. Return on capital turun menjadi hanya sekitar 10 persen dibanding tahun sebelumnya yang 12 persen. Padahal, pada tahun 2010 tercatat nilai rasio masih di angka 16 persen. Menyusutnya rasio ini membuat perusahaan-perusahaan besar menahan langkah ekspansi.

Meskipun begitu, kualitas utang perusahaan besar di ASEAN ini relatif masih dalam kondisi sehat. Rasio utang terhadap laba usaha sebelum penyusutan (debt to EBITDA) masih di bawah angka 4 kali. Perusahaan besar di Indonesia termasuk yang memiliki level rasio terendah dibandingkan negara-negara lain di ASEAN, yakni masih di bawah angka 1,5 kali. Semakin kecil angka rasio ini berarti suatu perusahaan semakin mampu membayar utangnya.

Kenaikan tertinggi justru dialami perusahaan-perusahaan besar di Singapura. Level rasio debt to EBITDA mencapai angka tertinggi dalam 5 tahun terakhir di antara negara-negara ASEAN, yakni berada di level 3,7 kali. Hal ini terjadi akibat profitabilitas sektor properti dan minyak yang sedang turun di Singapura.

Grafik: Rasio Debt to EBITDA Perusahaan Besar di ASEAN, 2011-2015


Sumber: Riset S&P

Hasil stress test yang dilakukan S&P sebelumnya juga menunjukkan ekonomi Indonesia merupakan yang paling tahan banting jika pelemahan ekonomi di China berlanjut serta harga minyak mentah semakin menyusut.

Stress test S&P menggunakan asumsi pelemahan mata uang yuan terhadap dolar Amerika hingga 25 persen dan jatuhnya harga minyak mentah ke level US$20 per barel di tahun 2017. Hasilnya, di tahun 2018, pertumbuhan PDB Indonesia masih bisa bertahan di angka 3,9 persen, tertinggi di antara negara ASEAN yang sudah susut di bawah level 3 persen.

Grafik: Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan PDB Negara ASEAN, 2017-2018


Sumber: Riset S&P

Sementara itu, Singapura--jika asumsi buruk itu terjadi--dinyatakan berpotensi mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi negatif 0,1 persen. Meningkatnya cost of fund di saat krisis akan menekan perusahaan-perusahaan besar di Singapura yang memiliki tingkat utang tinggi. Inilah yang membuat Singapura lebih sensitif terhadap pelemahan ekonomi China dibanding negara-negara lain di ASEAN. (kd)