Indonesia vs Malaysia: Siapa Lebih Jago Mengarungi Krisis Ekonomi?

Bareksa • 07 Sep 2015

an image
Presiden Republik Indonesia, Jokowi Widodo dan Perdana Menteri Malaysia, Mohd. Najib Razak sepakat untuk mempercepat penyelesaian perbatasan kedua negara. Hal ini merupakan salah satu butir kesepakatan utama antara Indonesia dan Malaysia dalam pertemuan bilateral antara kedua negara di Putra Jaya, Malaysia, 6 Februari 2015 (KBRI Malaysia)

Banyak yang khawatir Indonesia akan terseret persoalan ekonomi yang sedang melilit Malaysia.

Bareksa.com – Struktur ekonomi Indonesia dianggap memiliki sejumlah kemiripan dengan Malaysia. Salah satu yang paling kentara adalah sama-sama bertumpu pada komoditas sebagai pendorong ekspor. Kedua negara juga sedang dihantam masalah perlambatan ekonomi dunia. Pertanyaannya: negara mana yang lebih parah diterpa badai ekonomi dunia sekarang ini? Indonesia atau Malaysia?

Sejumlah indikator ekonomi yang ditelusuri analis Bareksa menunjukkan Indonesia ternyata masih lebih baik dibandingkan Malaysia, beberapa tahun belakangan ini. Hal itu ditunjukkan oleh beberapa parameter penting seperti cadangan devisa, transaksi berjalan, serta nilai rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio). Apalagi, saat ini pemerintahan Najib Razak sedang diguncang skandal korupsi dan situasi ekonomi di negeri jiran disebut-sebut sudah mengkhawatirkan. (Baca juga: Jumlah Utang Terus Membengkak Lebih dari 2x Lipat, Malaysia di Ambang Krisis?)

Mari kita periksa datanya satu-persatu.

1. Cadangan devisa

Per Juli 2015, cadangan devisa Malaysia anjlok drastis 27,36 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya, seiring aksi intervensi yang ditempuh bank sentral negeri ini saat mencoba menghentikan ambruknya nilai ringgit. Secara year to date, ringgit Malaysia melemah lebih dari 19 persen terhadap dolar Amerika -- terimbas rencana bank sentral Amerika, The Fed, menaikkan suku bunga acuannya.

Sementara itu, cadangan devisa Indonesia pada periode yang sama "hanya" turun 2,82 persen. Walaupun secara year to date rupiah juga melemah sekitar 14 persen terhadap dolar Amerika, jika dolar semakin menguat, amunisi Indonesia untuk melakukan intervensi lebih banyak dibandingkan Malaysia.

Grafik: Perbandingan Cadangan Devisa Malaysia dan Indonesia 2009-2015*

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Jika kita menyusuri data cadangan devisa lebih panjang lagi, semenjak krisis 2008, maka terlihat bahwa cadangan devisa Indonesia tumbuh lebih signifikan. Sedangkan, pertumbuhan cadangan devisa Malaysia, semenjak ambrol di tahun 2008, terus bergerak mendatar.

Kuatnya posisi cadangan devisa Indonesia ini terutama didorong oleh dana investasi yang masih mengalir masuk ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Dalam Negeri (PMDN) sepanjang semester I 2015 masing-masing bertumbuh 16,1 dan 17,4 persen. (Baca juga: Tak Hanya Asing, Investasi Dalam Negeri Melonjak 17% di Semester I 2015)

Grafik: Perbandingan Cadangan Devisa Malaysia dan Indonesia Maret 2008 - Januari 2010

Sumber: Tradingecenomics

Kondisi ini jauh berbeda dengan periode 1997-1998. Ketika itu cadangan devisa Indonesia bahkan tidak mencukupi untuk membayar seluruh utang jangka pendek yang akan jatuh tempo. (Baca juga: Rupiah Terus Ambruk Tembus 14.000/$. Indonesia Sudah Krisis Ekonomi?)

2. Neraca transaksi berjalan

Sejak krisis 1998, rasio transaksi berjalan terhadap GDP (Gross Domestic Product) Malaysia selalu surplus dan berada di atas Indonesia. Ini karena sekitar 80 persen ekonomi Malaysia ditopang oleh ekspor. Akan tetapi, sejak tahun 2009 angka surplus itu menyusut secaa tajam, dari 18 persen menjadi hanya 2,74 persen per Juli 2015. Kemerosotan ini akibat melemahnya harga komoditas, terutama CPO, seiring merosotnya harga minyak dunia hingga ke level $50 per barel.

Anjloknya angka surplus transaksi berjalan ini menjadi penyebab tekanan penguatan dolar Amerika terhadap ringgit Malaysia jadi lebih berat dibandingkan tekanan terhadap mata uang lain di Asia Tenggara.

Grafik: Perbandingan Transaksi Berjalan Malaysia dengan Indonesia

Sumber: Bloomberg, diolah Bareksa

Ambruknya harga komoditas sebetulnya juga turut menekan transaksi berjalan Indonesia. Bahkan, pada kuartal III 2013 rasionya mengalami defisit hingga 3,62 persen. Seiring langkah pemerintah mengetatkan kebijakan moneter, berangsur-angsur angka defisit turun menjadi hanya 2,48 persen per Juni 2015.

Menurut analisis Bareksa, defisit transaksi berjalan di Indonesia juga diakibatkan oleh struktur ekonomi yang ditopang konsumsi domestik, berbeda dengan Malaysia yang mengandalkan ekspor.

Ini ada efek positif dan negatif. Tingginya konsumsi domestik di Indonesia memberikan efek positif di tengah ekonomi dunia yang melemah. Ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh. Yang negatif, karena sebagian besar konsumsi ini juga bertumpu pada produk-produk yang memiliki kandungan impor tinggi, maka tingginya konsumsi itu juga otomatis mendongkrak impor, yang pada gilirannya menggenjot angka inflasi.

Sementara itu, perekonomian Malaysia yang ditopang ekspor, sangat bergantung pada kondisi eksternal yang berada di luar kendali mereka. Artinya, dalam situasi global yang tidak menentu, risiko transaksi berjalan Malaysia lebih tinggi ketimbang Indonesia.

3. Rasio Utang terhadap PDB

Sejak dipimpin Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada awal 2009, utang Malaysia menumpuk -- tercermin dari meningkatnya rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) Malaysia menjadi 52 persen, dari sebelumnya 40 persen. Naiknya utang Malaysia ini mengkhawatirkan, karena tidak diiringi kenaikan pendapatan (PDB).

Kenaikan utang ini menyebabkan tekanan bagi Malaysia untuk membayar utang jangka pendek dan bunganya menjadi semakin berat. Hal ini turut menggerus cadangan devisa Malaysia, apalagi di tengah terus merosotnya nilai tukar ringgit. (Baca juga: Jumlah Utang Terus Membengkak Lebih dari 2x Lipat, Malaysia di Ambang Krisis?)

Grafik: Perbandingan Utang terhadap PDB Malaysia dan Indonesia

Sumber: Tradingeconomics, diolah Bareksa

Sebaliknya, debt to GDP ratio Indonesia justru menurun, dari kisaran 30 persen di tahun 2009 menjadi hanya 22,96 persen di tahun 2013. Peningkatan GDP Indonesia akibat arus masuk investasi menjadi faktor pendorong turunnya rasio tersebut. Tetapi, sejak tahun 2014, rasio ini mulai kembali naik akibat pelemahan ekonomi, kenaikan utang, serta melebarnya defisit fiskal guna membiayai pembangunan infrastruktur.

Walaupun begitu berbeda dengan Malaysia, rasio utang terhadap PDB Indonesia sampai kuartal I 2015 masih terjaga pada level 25 persen. (kd)