Benarkah Indonesia Krisis Energi ? CaPres Mendatang Dihadapk

Bareksa • 05 Jun 2014

an image
Pekerja mengukur ketinggian minyak di Loading Terminal Pertamina EP, Field Bunyu, Kalimantan Timur. (ANTARA/Rosa Panggabean)

Ari Sumarno menyampaikan cadangan minyak mentah saat ini hanya cukup untuk produksi 11 tahun

Bareksa.com – Salah satu persoalan penting yang menjadi pembahasan ekonomi para pasangan calon Presiden adalah ketegasan mereka terkait penanganan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak). Kenapa persoalan mengenai subsidi BBM begitu penting ?

Ari Sumarno, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006 - 2009  menyampaikan beban subsidi BBM yang besar, serta produksi minyak yang kurang menjadi salah satu warisan dari sektor energi yang harus di hadapi dalam pemerintahan baru. Dalam paparan platform ekonomi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi dan Jusuf Kalla, Rabu 4 Juni 2014, Ari mengatakan bahwa subsidi untuk BBM meningkat menjadi Rp 400 triliun di tahun 2014.

Tahun 2004, produksi minyak 1,1 juta barel per hari, sepuluh tahun kemudian yakni tahun 2014 produksi minyak turun menjadi 0,82 juta barel per hari. Penurunannya mencapai hampir 30 persen. Cadangan minyak juga turun dari 4,7 miliar barel menjadi 3,7 miliar barel, dan menurut Ari nilai tersebut hanya cukup untuk produksi kurang lebih 11 tahun kedepan. Berdasarkan data olahan Bareksa.com, rata-rata pertumbuhan produksi minyak mentah dari tahun 2008 sampai 2013 adalah  negatif 1,1 persen. Sementara pada periode yang sama konsumsi minyak mentah Indonesia tumbuh 4,3 persen.

Grafik Pertumbuhan Konsumsi dan Produksi Minyak Mentah

Sumber : Bareksa.com

Sejak tahun 2003, Indonesia mengimpor minyak mentah dan nilai impor itu terus mengalami pertambahan karena gap pertumbuhan produksi dan konsumsi yang semakin melebar. Agar APBN tidak jebol karena hal tersebut, Ari menyarankan perlunya kenaikan harga BBM secara langsung maupun bertahap.

Grafik Produksi dan Konsumsi Minyak Mentah Dalam Ribu Barel Per Hari

Sumber : www.bp.com, diolah Bareksa.com

Sementara itu menurut Rangga Cipta, economist dari PT Samuel Sekuritas Indonesia mengungkapkan bahwa masalah energi di Indonesia merupakan masalah struktural. Kenaikan harga menurutnya hanyalah solusi jangka pendek, untuk menahan defisit pada APBN sementara waktu. Perkiraan dari PT Samuel Sekuritas Indonesia defisit anggaran pada tahun 2014 jika tidak terjadi kenaikan harga BBM berkisar 2,5 – 2,7 persen dari PDB, hampir mendekati batas maksimal pemerintah yakni di level 3 persen PDB.

Seperti dilihat dari data APBN, ketika pemerintah menaikan harga BBM, tahun berikutnya nilai subsidi menurun tetapi setelah itu pertumbuhannya tetap tinggi karena konsumsi bahan bakar tidak menurun. Pemberian subsidi seharusnya tidak memberikan harga yang tetap terhadap harga BBM, tetapi lebih kepada pemberian discount terhadap harga minyak dunia. Contohnya jika harga BBM besarnya adalah discount Rp 2.000,- per liter terhadap harga internasional, maka harga BBM dapat mengikuti pergerakan harga internasional tanpa harus pemerintah menaikan atau menurunkan harga BBM tersebut.

“Anggaran lebih terkontrol dan pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap pergerakan harga minyak” ujar Rangga dalam wawancara dengan Bareksa.com.

Grafik Subsidi BBM Tahun 2004 - 2011

Sumber : Kementrian Keuangan, diolah Bareksa.com

Perbaikan sektor energi merupakan proses jangka panjang, seperti rencana konversi energi. Sehingga tindakan yang dilakukan siapapun pemimpin dari pemerintahan baru nanti tidak akan dengan cepat akan dirasakan masyarakat. Diperlukan ketegasan dan komitmen pemerintah baik dari solusi jangka pendek dan jangka panjang.