Berita Hari Ini : Bloomberg Ramal Harga Emas US$4.000, SBN Tenor Panjang Diburu

Bareksa • 17 Sep 2020

an image
Ilustrasi emas batangan logam mulia emas antam dengan latar grafik harga

PSBB tekan reksadana saham, 89 fintech IKD tercatat di OJK, suku bunga BI diprediksi tetap, ADB proyeksi ekonomi RI -1%

Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 17 September 2020 :

Harga Emas

Emas berjangka menguat pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), memperpanjang kenaikan untuk hari ketiga berturut-turut, menjelang keputusan kebijakan Federal Reserve AS, yang diperkirakan akan mengulangi sikap kebijakan moneter dovish untuk mendukung pemulihan ekonomi dari krisis akibat pandemi covid-19.

Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman Desember di divisi COMEX New York Mercantile Exchange, naik US$4,3 atau 0,22 persen menjadi ditutup pada US$1.970,5 per ounce. Sehari sebelumnya, Selasa (15/9/2020), emas berjangka naik US$2,5 atau 0,13 persen menjadi US$1.966,2.

Emas berjangka terangkat US$15,8 atau 0,81 persen menjadi US$1.963,7 pada Senin (14/9/2020), setelah jatuh US$16,4 atau 0,83 persen menjadi US$1.947,9 pada Jumat lalu (11/9/2020), dan naik US$9,4 atau 0,48 persen menjadi US$1.964,3 pada Kamis lalu (10/9/2020)

"Harapannya adalah Fed akan membiarkan suku bunga rendah untuk jangka waktu yang sangat lama, dan angka inflasi melebihi tingkat target mereka dua persen," kata David Meger, direktur perdagangan logam di High Ridge Futures, dilansir Antara.

Keputusan kebijakan Fed yang akan dirilis pada pukul 14.00 waktu setempat (18.00 GMT) setelah penutupan pasar. Pertemuan tersebut merupakan yang pertama sejak bank sentral mengambil sikap lebih rileks terhadap inflasi bulan lalu. Pengumuman tersebut akan diikuti dengan konferensi pers oleh Ketua Fed Jerome Powell. Sementara itu, belanja konsumen AS melambat pada Agustus, menunjukkan kemacetan daam pemulihan ekonomi akibat dampak virus corona.

Dilansir CNBC Indonesia, Bloomberg Intelligence memprediksi harga emas masih akan terus menguat bahkan tidak menutup kemungkinan mencapai US$4.000 per troy ounce pada 2023. Pergerakan harga emas juga diprediksi akan lebih unggul dari perak yang belakangan ini juga mencuri perhatian pelaku pasar.

"Kondisi saat ini, di mana bank sentral terus menerapkan kebijakan moneter longgar menjadi fondasi yang solid bagi emas, tetapi kurang berdampak untuk perak dan tembaga. Logam untuk industri lebih terkait dengan stimulus fiskal dan bangkitnya perekonomian ekonomi global," kata Mike McGlone ahli strategi senior komoditas di Bloomberg Intelligence, sebagaimana dilansir Kitco, Senin (14/9/2020).

McGlone mengatakan rally harga emas baru saja dimulai, artinya kenaikan harga emas masih akan terus berlanjut. "Emas mencapai dasar (bottom) di US$700 pada tahun 2008, dan mencapai puncak US$1.900 pada tahun 2019. Dengan kecepatan yang sama 2,7 kali dari level terendah di dekat US$1.470 tahun ini menunjukkan emas menuju US$4.000 per troy ounce di tahun 2023," katanya.

Meski McGlone memberikan outlook optimistis terhadap emas, tetapi ia juga memperingatkan level US$2.000 per troy ounce terbukti menjadi resisten yang kuat. Sehingga akan memerlukan waktu agak lama untuk menembus level tersebut.

Dari dalam negeri, harga emas Antam pada Rabu (16/9/2020) turun Rp7.000 per gram jadi Rp 1.030.000 per gram. Dilansir Detik Finance yang mengutip situs logam mulia harga emas sempat naik ke level Rp1.037.000 per gram pada perdagangan Selasa. Harga pembelian kembali atau buyback emas Antam ikut turun Rp8.000 menjadi Rp932.000 per gram. Harga buyback ini berarti, jika Anda ingin menjual emas, maka Antam akan membelinya dengan harga emas tersebut.

SBN

Laju pergerakan harga obligasi negara pada Rabu (16/9/2020) berbalik arah dari perdagangan hari sebelumnya. Tercatat obligasi negara dengan tenor 15 tahun dan 20 tahun mengalami kenaikan harga, sisanya mengalami penurunan harga. Dilansir CNBC Indonesia, Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 15 dan 20 tahun ramai dikoleksi investor, sedangkan sisanya cenderung dilepas investor. Yield (imbal hasil) SBN dengan tenor 15 tahun turun 1,5 basis poin ke level 7,436 persen dan yield SBN 20 tahun turun 0,2 basis poin ke 7,473 persen.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1 persen. Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara mengalami penguatan 0,2 basis poin ke level 6,915 persen. Artinya, harga obligasi acuan tersebut sedang melemah.

Kenaikan yield tertinggi tercatat di SBN dengan tenor 1 tahun yang naik 4,3 basis poin ke level 3,811 persen. Sementara itu, kenaikan yield terendah terjadi pada SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield SBN acuan. Investor sedang menunggu dan mencermati (wait and see) pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG-BI) tentang kebijakan suku bunga acuan yang berlangsung hari ini dan besok

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan bakal tetap bertahan di 4 persen dalam RDG bulan ini. Selain itu, investor juga masih menanti kebijakan Federal Reserve (The Fed) terkait hal yang sama, yaitu kebijakan suku bunga acuan. Investor optimistis The Fed tetap mempertahankan suku bunga acuannya. Ketika suku bunga acuan tetap di tengah membesarnya risiko resesi, pemodal pun mencari aset yang lebih aman dan menawarkan pengembalian tetap, seperti obligasi pemerintah yang bertenor panjang.

Reksadana

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan untuk kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai Senin (14/9) hingga dua minggu mendatang. Keputusan ini diperkirakan akan memberi dampak terhadap kinerja reksadana saham.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan kinerja reksadana saham akan ikut terpengaruh terhadap kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan pemberlakuan PSBB berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi lebih buruk dari ekspektasi sebelumnya.

“Reksadana saham kinerjanya kan mengekor Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), kami semula memperkirakan pada akhir tahun IHSG akan ada di level 5.500. Mempertimbangkan kondisi saat ini, kami bisa mengoreksi proyeksi tersebut, namun kami akan menunggu laporan keuangan perusahaan pada kuartal III 2020 terlebih dahulu,” kata Wawan dilansir Kontan.co.id, Rabu (16/9).

Semula, Wawan memperkirakan kinerja reksadana saham secara year to date akan minus 15 persen. Dengan perkembangan terbaru tersebut, ia menyebut rentangnya pun melebar hingga minus 20 persen. Kendati demikian, Wawan menilai momen saat ini justru bisa membuat para investor untuk kembali masuk ke reksadana saham seiring harga saham yang turun.

“Unit Penyertaan (UP) reksadana saham pada Agustus itu mengalami penurunan karena adanya aksi profit taking seiring IHSG yang sempat membaik. Jadi banyak investor yang melakukan redemption, walau dari segi dana kelolaan masih berhasil naik karena nilai asetnya yang juga naik,” tambah Wawan.

Fintech

Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus bertumbuh hingga kini mencapai 89 perusahaan. Hingga Agustus 2020, OJK telah memberikan status tercatat kepada 89 pemohon penyelenggaraan IKD. OJK bahkan tengah memberikan izin prototype regulatory sandbox kepada 45 calon penyelenggara lainnya.

Sekadar informasi, POJK Nomor 13/POJK.02/2018 mengatur adanya tiga lapis perizinan bagi para penyelenggara IKD, yakni tercatat, terdaftar, dan berizin. Penelitian dan pendalaman terhadap para perusahaan inilah yang dinamai mekanisme regulatory sandbox.

Direktur Eksekutif Group Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono Gani menjelaskan bahwa jumlah penyelenggara tercatat terbanyak masih berada di klaster aggregator dengan 36 penyelenggara.

"Aggregator itu situs web atau aplikasi yang membantu masyarakat terkait informasi produk dan layanan jasa keuangan. Membantu menyaring dan memperbandingkan secara digital. Seperti KPR, kartu kredit, asuransi, tabungan, atau produk pembiayaan lain," jelasnya dilansir Bisnis (16/9/2020).

Klaster paling ramai urutan kedua, yakni credit scoring atau platform assesement kelayakan nasabah secara digital terkait kelayakannya memperoleh layanan jasa keuangan. Fintech yang bermain di klaster ini tercatat mencapai 13 perusahaan.

Klaster financing agent dan financial planner masing-masing diramaikan oleh 7 perusahaan fintech. Disusul klaster project financing dengan 5 penyelenggara, serta e-KYC dan verification non-CCD masing-masing 4 penyelenggara.

Selain itu, ada klaster tax & accounting (3), InsurTech (2), property investment management (2), serta masing-masing 1 penyelenggara RegTech, Insurance Broker Marketplace, Online Distress Solution, FundingAgent, Claim Service Handling, dan Blockchain-based.

Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17 September 2020. BI diperkirakan akan menahan suku bunga acuan pada RDG kali ini. Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi memprediksi BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 4 persen, bahkan hingga akhir 2020.

Eric menilai, penurunan suku bunga BI lebih lanjut, justru akan berisiko menekan rupiah. Di sisi lain, permintaan kredit belum tentu akan terdorong dikarenakan sisi permintaan kredit masih lemah. "BI memfasilitasi sisi supply kredit, tapi demand terhadap kredit masih lemah karena investor sektor riil masih belum agresif meminjam sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang masih tertekan," katanya dilansir Bisnis, Rabu (16/9/2020).

Menurut Eric, BI sudah cukup banyak memberikan bantuan dari sisi kebijakan moneter di tengah pandemi Covid-19 ini. Selanjutnya, yang perlu didorong adalah dari sisi kebijakan fiskal. "Sekarang tinggal bagaimana kebijakan fiskal, terutama program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang berkait dengan pemulihan daya beli masyarakat, bisa dipercepat," jelasnya.

Senior Economist PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Anton Hendranata juga memprediksi BI akan menahan penurunan suku bunga acuan meski inflasi tercatat rendah dan pertumbuhan ekonomi mengarah kepada resesi pada kuartal III 2020. Menurutnya, volatilitas rupiah dan tekanan keluar arus modal asing diperkirakan akan menjadi pertimbangan bank sentral dalam menentukan kebijakan suku bunga.

"BRI memperkirakan suku bunga kebijakan [7DRRR] dipertahankan tetap pada 4 persen pada RDG BI yang berakhir pada 17 September 2020," katanya.

Pertumbuhan Ekonomi

Asian Development Bank (ADB) memperkirakan perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi 1 persen tahun ini di tengah pandemi penyakit virus Corona (Covid-19), sebelum naik kembali ke tingkat pertumbuhan 5,3 persen pada 2021. Asian Development Outlook (ADO) 2020 Update menyebutkan  pemulihan ekonomi Indonesia tahun depan akan didukung oleh perekonomian global dan reformasi domestik yang meningkatkan investasi.

Kontraksi tahun ini, yang merupakan kemerosotan perekonomian Indonesia yang pertama sejak krisis keuangan Asia tahun 1997–1998, terjadi di tengah proyeksi pertumbuhan negatif secara keseluruhan di kawasan Asia yang sedang berkembang, termasuk Malaysia (-5 persen), Filipina (-7,3 persen), dan Thailand (-8 persen).

“Meskipun memiliki fundamental makroekonomi yang kuat, Indonesia diperkirakan akan menghadapi jalur pertumbuhan yang sulit sampai dengan akhir tahun 2020, mengingat besarnya ketidakpastian dalam cakupan dan tren pandemi di Indonesia,” kata Winfried Wicklein, Direktur ADB untuk Indonesia dilansir Bisnis.com.

Ke depannya, dia melihat prioritas kebijakan yang konsisten dan terkoordinasi, disertai keseimbangan antara perlindungan nyawa dan mata pencaharian, serta memulai kembali kegiatan usaha secara aman, tetaplah penting guna memastikan pemulihan yang cepat dan inklusif.

Konsumsi Indonesia mengalami kontraksi pada paruh pertama tahun 2020, seiring pemotongan belanja oleh rumah tangga dan penundaan investasi oleh dunia usaha. Permintaan terhadap ekspor Indonesia ikut merosot seiring diberlakukannya karantina wilayah di seluruh dunia. Pemerintah merespons dengan kebijakan yang luas guna mengurangi dampak pandemi, termasuk dukungan penghasilan bagi rumah tangga dan pekerja yang rentan, peningkatan perawatan kesehatan, serta bantuan ekonomi bagi dunia usaha.

Menurutnya, laporan ADB ini memperkirakan belanja rumah tangga masih akan tetap rendah dalam waktu dekat, mengingat pembatasan sosial yang dilaksanakan guna mengendalikan penyebaran virus. Karena permintaan global dan domestik akan tetap lemah pada 2020, kegiatan perdagangan dan investasi pun akan tetap rendah. Namun, laporan ini memproyeksikan pemulihan yang cepat, dengan permintaan domestik yang tadinya tertahan mampu mendongkrak indeks manajer pembelian di bidang manufaktur hingga melampaui ambang batas 50 pada bulan Agustus.

(*)