Membaiknya 2 Data Perekonomian AS Ini Membuat IHSG dan Rupiah Terus Tertekan?

Bareksa • 26 Apr 2018

an image
Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell menyampaikan pidato pertamanya tentang kebijakan moneter di depan Kongres AS. (www.federalreserve.gov/www.flickr.com)

IHSG telah berada di bawah level psikologis 6.000 atau melanjutkan pelemahannya di level terendah tahun ini

Bareksa.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini anjlok 2 persen dibanding penutupan kemarin, menyentuh level terendah tahun ini di 5.956 secara intraday. Artinya, IHSG telah berada di bawah level psikologis 6.000 atau melanjutkan pelemahannya di level terendah di tahun ini.

Hingga pukul 10:00 WIB, investor asing masih melanjutkan penjualan saham-saham Indonesia dan telah mencatat jual bersih (net sell) Rp356,5 miliar. (Baca Juga : Baru 1 Jam Perdagangan, IHSG Longsor 2 Persen ke Bawah Level 6.000)

Pada perdagangan kemarin investor asing tercatat melakukan jual bersih (net sell) dari saham-saham Indonesia senilai Rp1,96 triliun. Selain itu, imbal hasil (yield) Treasury 10 tahun AS kembali bergerak naik dan telah menembus level 3 persen dengan berakhir pada level 3,02 persen. Hal ini menjadi salah satu acuan para pelaku pasar sehingga berdampak pada tingginya tekanan jual baik di pasar saham maupun obligasi domestik.

Apa yang terjadi dengan perekonomian Amerika Serikat?

Mengacu pada data perekonomian AS yang rilis pada bulan Maret 2018, dua faktor yang memberikan tanda jika perekonomian AS semakin membaik ialah semakin membaiknya Inflasi dan angka pengangguran.

Pertumbuhan Inflasi dan Tingkat Pengangguran AS

Sumber : Tradingeconomics, diolah Bareksa.com

Tingkat Inflasi AS pada Juni 2017 hanya berkisar 1,6 persen. Namun, pada Maret 2018 tingkat inflasi AS naik hingga 2,4 persen. Sebagai catatan, semakin tinggi inflasi di suatu negara menggambarkan tingginya minat daya beli (demand) masyarakat, sehingga dapat dikatakan jika roda perekonomian sedang bertumbuh.

Kenaikan inflasi tersebut juga didukung oleh terus turunnya angka pengangguran AS. Dalam 6 bulan terakhir, tingkat pengangguran AS terus bertahan di 4,1 persen atau level terendahnya dalam 17 tahun terakhir.

Dua faktor tersebut dapat dijadikan acuan para pelaku pasar jika pertumbuhan ekonomi AS sedang bagus-bagusnya. Tak heran, banyak pelaku pasar yang memperkirakan jika rencana kenaikan suku bunga AS dari yang semula direncanakan hanya 3 kali bisa berubah jadi 4 kali tahun ini seiring membaiknya data-data perekonomian AS.

Hal ini juga memberikan kekuatan terhadap mata uang dolar AS yang terus menguat, sehingga berdampak negatif terhadap mata uang negara berkembang, tak terkecuali rupiah.

Sehingga membaiknya ekonomi AS, diikuti mata uang dolar AS yang menguat, serta adanya ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed hingga 4 kali tahun ini, membuat pasar saham dan obligasi Indonesia pada khususnya terus tertekan pekan ini. (AM)