Bahana : Ada Ketidakpastian Global, Pembiayaan Alternatif Perlu Didorong

Bareksa • 11 Sep 2019

an image
Karyawan beraktivitas di dekat grafik pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 41.36 poin atau 0,65 persen ke level 6,340.18. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.

Perusahaan menahan diri untuk melepas saham atau menerbitkan obligasi

Bareksa.com – Ketidakpastian global yang masih berkepanjangan akibat memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina serta dimulainya era suku bunga rendah, telah menyebabkan volatilitas dan tekanan di pasar keuangan global meningkat termasuk Indonesia. Hasilnya, investor semakin berhati-hati dalam mencari pendanaan dari pasar keuangan baik melalui penerbitan saham maupun emisi obligasi.

Memasuki awal September 2019, sudah 33 perusahaan yang mencatatkan sahamnya menjadi emiten baru di Bursa Efek Indonesia. Terbaru adalah PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN) yang melepas 733 juta saham dengan harga perdana Rp396 per unit, sehingga total perolehan dana mencapai Rp290 miiar.

Dari sisi pencatatan obligasi, ada obligasi berkelanjutan Indonesia Eximbank IV bernilai Rp1, 018 triliun dan sukuk Mudharabah berkelanjutan Indonesia Eximbank I 2019 Rp150 miliar, yang diterbitkan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Sehingga total emisi obligasi dan sukuk yang sudah tercatat hingga awal September 2019, mencapai 73 emisi dari 41 emiten dengan total nilai emisi mencapai Rp86,1 triliun.

“Saat tren suku bunga turun, biasanya pasar saham menjadi semakin menarik, namun hal itu belum maksimal terjadi di pasar keuangan domestik karena investor masih khawatir terhadap volatilitas yang ada, yang lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal,” papar Direktur Utama PT Bahana Sekuritas Feb Sumandar, Rabu, 11 September 2019.

Feb menambahkan, beberapa emiten yang tadinya berencana menerbitkan saham ataupun obligasi masih menahan diri karena khawatir bila nanti diterbitkan, tidak mampu diserap oleh pasar.

Bila dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu, hingga akhir September 2018, ada sebanyak 37 perusahaan yang mencatatkan saham perdana di BEI. Sedangkan total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat mencapai 63 emisi dari 41 perusahaan dengan total nilai sebesar Rp77,71 triliun. Tahun lalu, bank sentral melakukan pengetatan moneter secara bertahap demi menjaga defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.

Sejak Mei 2018, BI secara bertahap menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day reserve repo rate (RRR) dari 4,25 persen, menjadi 6 persen, yang bertahan hingga Juni 2019. Sejak Juli, BI mulai mengambil langkah pelonggaran moneter dengan memotong BI 7-day RRR masing-masing sebesar 25 basis points (bps) selama dua bulan berturut-turun menjadi 5,5 persen, demi mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

“Dalam kondisi ini, sangat diperlukan adanya instrument pembiayaan alternatif yang membuat investor yakin untuk berinvestasi, sehingga pada akhirnya diserap oleh pasar meski kondisi pasar keuangan sedang diliputi volatitlitas tapi tidak akan terkena dampaknya,” ujar Feb. Sepertinya misalnya menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) ataupun kontrak investasi kolektif efek beragun asset (KIK EBA).

Pada minggu lalu, Bukopin mencatat kontrak investasi kolektif efek beragun asset (KIK EBA) Bahana Bukopin Kumpulan Tagihan Kredit Pensiunan yang Dialihkan Kelas A1, dengan nilai emisi mencapai Rp480,4 miliar, dengan tingkat bunga sebesar 9,25 persen.

(AM)