Berita Hari Ini: 3 Saham Keluar LQ45; Kisaran Inflasi 3 Persen di 2020-2021

Bareksa • 26 Jul 2019

an image
Aktivitas pekerja di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. IHSG menguat ditopang sejumlah saham berkapitalisasi pasar besar. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Pemerintah akan lelang SUN 7 seri Rp30 triliun; Ekonomi dan keuangan di semester II-2019 positif; Rasio pajak terendah

Bareksa.com - Berikut ini adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Jumat, 26 Juli 2019.

LQ45

Bursa Efek Indonesia (BEI) merilis daftar saham-saham perusahaan hasil evaluasi mayor dalam Indeks LQ45 untuk periode perdagangan Agustus 2019-Januari 2020. Menurut keterangan resmi BEI yang dikutip CNBC Indonesia disebutkan, dalam evaluasi yang dilaksanakan awal tahun ini, BEI juga menambahkan indikator jumlah saham free float sebagai perhitungan pembobotan tersebut, selain melakukan revisi anggota saham dalam Indeks LQ-45.

Free float adalah jumlah saham minimal yang dimiliki pemegang saham non-pengendali dan bukan pemegang saham utama yakni paling kurang 50 juta saham dan minimal 7,5 persen dari jumlah saham dalam modal disetor. Adapun anggota baru konstituen indeks yang berisi saham-saham paling likuid di BEI ini yakni: PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA). Sementara, saham-saham yang terdepak dari indeks ini yakni PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Elnusa Tbk (ELSA), PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).

Inflasi

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan beberapa capaian penting pengendalian inflasi. Konsistensi kebijakan pengendalian inflasi yang didukung oleh program pengendalian inflasi di seluruh wilayah di Indonesia dapat mengarahkan inflasi nasional dalam empat tahun terakhir 2015-2018 berada dalam kisaran target. Inflasi hingga pertengahan 2019 juga tetap terkendali dalam rentang sasaran 3,5±1 persen.

Gubernur Bank Indonesia menyebutkan bahwa sinergi yang kuat antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia merupakan kunci bagi terjaganya inflasi berada dalam kisaran sasaran tersebut. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan untuk mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai sasaran, dengan tetap mendorong momentum pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut termasuk melalui pengembangan sejumlah klaster pangan di daerah secara terintegrasi, antara lain dengan memfasilitasi kegiatan tersebut agar terkoneksi dengan teknologi dan sistem informasi. Bank Indonesia meyakini inflasi tetap rendah dan terkendali dalam sasaran inflasi yang makin rendah pada kisaran 3,0±1 persen di 2020-2021.

Lelang SUN

Pemerintah akan melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) dalam mata uang Rupiah untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2019. Adapun pokok-pokok terms & conditions SUN yang akan dilelang adalah sebagai berikut: tanggal lelang berlangsung pada Selasa, 30 Juli 2019, dibuka pukul 10.00 WIB dan ditutup pukul 12.00 WIB, tanggal setelmen Kamis, 1 Agustus 2019, target indikatif Rp15 triliun dengan target maksimal Rp30 triliun.

Seri SUN yang akan dilelang antara lain SPN03191031 (New Issuance), SPN12200410 (Reopening), FR008 (New Issuance), FR0082 (New Issuance), FR0080 (Reopening), FR0079 (Reopening), FR0076 (Reopening). Penjualan SUN tersebut akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Lelang bersifat terbuka (open auction), menggunakan metode harga beragam (multiple price).

Pemenang lelang yang mengajukan penawaran pembelian kompetitif (competitive bids) akan membayar sesuai dengan yield yang diajukan. Pemenang lelang yang mengajukan penawaran pembelian non-kompetitif (non-competitive bids) akan membayar sesuai dengan yield rata-rata tertimbang (weighted average yield) dari penawaran pembelian kompetitif yang dinyatakan menang. Pemerintah memiliki hak untuk menjual ketujuh seri SUN tersebut lebih besar atau lebih kecil dari jumlah indikatif yang ditentukan. SUN yang akan dilelang mempunyai nominal per unit sebesar Rp1.000.000.

Yield Obligasi

PT Bank CIMB Niaga Tbk optimistis prospek pasar keuangan dan perekonomian Indonesia pada semester II/2019 akan positif. Di sisi lain, para pelaku ekonomi diminta untuk tetap waspada dan memperhatikan tantangan-tantangan yang ada. Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan prospek positif tersebut di antaranya terlihat dari menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke level Rp13.900 dan turunnya yield obligasi bertenor 10 tahun ke level 7,0 persen dari 7,80 persen.

“Kondisi tersebut merupakan kontribusi dari net foreign inflow di pasar modal yang sangat besar pada semester I/2019, mencapai sekitar Rp160 triliun. Hal ini juga didukung faktor lainnya seperti dollar AS yang relatif soft dibanding bulan lalu serta kurs mata uang Tiongkok [CNY] yang tidak banyak terdepresiasi terhadap dollar AS,” katanya seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Adrian juga melihat penguatan rupiah dan turunnya yield obligasi bertenor 10 tahun terjadi karena ekspektasi para pelaku ekonomi terhadap kebijakan terbaru Bank Indonesia (BI). Seperti diketahui pada 18 Juli 2019, BI menurunkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR) sebesar 25 bps dari 6,00 persen menjadi 5,75 persen

Rasio Pajak

Dalam laporan terbarunya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan faktor-faktor penentu tinggi rendahnya rasio pajak (tax ratio) di berbagai negara, terutama di kawasan Asia dan Pasifik.  Selain itu, OECD juga menemukan bahwa  rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) paling rendah dari negara lain yang disurvei.

Menurut OECD dalam edisi keenam  Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies, pendapatan (PDB) per kapita suatu negara memang berkaitan dengan tax ratio-nya, tetapi itu tak menjadi penentu utama. “Tax ratio cenderung lebih tinggi di negara berpenghasilan tinggi (high-income economies) meskipun kaitannya tidak selalu secara langsung dan ada faktor-faktor lainnya,” terang OECD seperti dikutip Kontan.

PT Federal International Finance (FIF Group)

Perseroan telah menyalurkan pembiayaan mencapai Rp18,5 triliun selama periode semster I-2019 atau tumbuh 7 persen secara year on year (yoy). Pencapaian tersebut akan berlanjut hingga akhir tahun dengan proyeksi target pembiayaan sebesar Rp39 triliun. CEO FIF Group Margono Tanuwijaya menjelaskan, perseroan masih optimistis dalam mencapai target pembiayaan hingga akhir tahun. Ia berharap bisnis pada semester II akan lebih baik dan dapat membantu menyumbangkan pertumbuhan setahun penuh sebesar 3 persen yoy.

"Tahun ini dari Januari sampai Juni, FIF Group sudah lepas kredit Rp18,5 triliun. Tumbuh sekitar 7 persen. Kalau sampai akhir tahun, dan kalau semester II ini bisa tumbuh lebih baik sedikit, kita akan diangka Rp39-41 triliun. Target tumbuh 3 persen yoy," ungkap dia seperti dikutip Investor Daily.

Melihat target pertumbuhan tahunan yang lebih rendah dari semster I, Margono menampik, adanya revisi target. Setidaknya perusahaan dapat mencapai target sebesar Rp39 triliun, target ambisius hingga Rp41 triliun dianggapnya sebagai bonus. Sementara itu, perseroan mencatat non performing financial (NPF) terjaga di kisaran 0,7 persen. (hm)