Moody's Proyeksi Ekonomi Indonesia Tumbuh di Bawah 5%, Ini Tanggapan Pemerintah

Bareksa • 15 Feb 2019

an image
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10). Rapat itu membahas penetapan postur sementara RUU APBN 2019. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Prediksi tersebut mengacu pada perkiraan belanja pemerintah yang moderat dan pembangunan infrastruktur yang melambat

Bareksa.com - Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Service memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5 persen pada 2019 dan 2020. Prediksi tersebut mengacu pada perkiraan belanja pemerintah yang lebih moderat dan pembangunan infrastruktur yang melambat.

Namun, Moody’s menyebut angka proyeksi tersebut masih baik. "Perkiraan ini masih lebih kuat dibandingkan rata-rata negara yang memiliki peringkat (setara dengan Indonesia) Baa2," demikian tertulis dalam siaran pers, Kamis (14 Februari 2019).

Moody’s menyinggung tentang kebijakan pemerintah mengelola defisit anggaran dan beban utang di level yang rendah. Tahun ini, pemerintah membidik defisit anggaran di level 1,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah batas yang dibolehkan Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 3 persen PDB.

Grafik : Defisit Fiskal Indonesia Terhadap PDB

Sumber : Kemenkeu

Seiring level defisit tersebut, Moody’s menyebut kebijakan belanja pemerintah lebih moderat. Sementara itu, pembangunan infrastruktur diprediksi melambat.

Di sisi lain, lembaga tersebut mencermati besarnya porsi kepemilikan asing dalam surat utang negara (SUN). Ini membuat adanya risiko dari segi arus keluar modal asing di tengah kondisi moneter global yang diperkirakan mengetat.

Adapun dari sisi global, Moody's menilai dampak dari perlambatan perdagangan global ke Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Pasifik. Namun, penurunan harga komoditas global akan membebani pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Prediksi Moody’s ini lebih pesimistis dibandingkan dua lembaga pemeringkat dunia lainnya, yaitu Fitch dan S&P yang memprediksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen tahun ini. Prediksi tersebut juga lebih pesimistis dibandingkan dengan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang masing-masing memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen dan 5,1 persen.

Adapun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasang asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi berada di rentang 5-5,5 persen tahun ini.

Tanggapan Pemerintah 

Menanggapi proyeksi Moody's tersebut, Kementerian Keuangan menampik asumsi bahwa terjadi moderasi pada belanja pemerintah tahun ini.

Mengutip Kontan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Adrianto mengatakan, belanja negara secara keseluruhan bahkan dipatok naik dari Rp2.202,2 triliun pada 2018 menjadi Rp2.461,1 triliun dalam APBN 2019.

"Peningkatan belanja ini meliputi seluruh jenis belanja, termasuk belanja modal. Pemerintah Pusat terus mengalokasikan belanja produktif melalui peningkatan belanja modal di APBN," ujar Adrianto

Dalam anggaran, pagu belanja pemerintah pusat tahun ini sebesar Rp1.634,3 triliun atau naik 12,4 persen dari anggaran belanja pusat tahun lalu. Adapun, alokasi belanja modal dipatok sebesar Rp189,3 triliun, lebih tinggi dari realisasi tahun lalu Rp184,87 triliun, tetapi lebih rendah dari pagu APBN 2018 sebesar Rp203,8 triliun.

Sementara, alokasi bantuan sosial mencapai Rp102,1 triliun atau naik 25,6 persen dari pagu dalam anggaran tahun sebelumnya yang hanya Rp81,3 triliun. Begitupun dengan anggaran subsidi yang dipatok sebesar Rp224,3 triliun, lebih tinggi dari pagu tahun sebelumnya yang hanya Rp156,2 triliun.

"Peningkatan belanja sosial di 2019 diharapkan mampu mendorong tingkat konsumsi masyarakat terutama masyarakat berpendapatan rendah melalui penyaluran yang tepat waktu yang pada akhirnya akan mendorong konsumsi rumah tangga," tutur Adrianto.

(KA02/hm)