OJK akan Revisi Aturan Perhitungan Modal Minimum Bank

Bareksa • 15 Jan 2019

an image
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Wimboh Santoso memberikan keterangan kepada wartawan hasil rapat perdana DK OJK periode 2017-2022 di Jakarta, Kamis, 20 Juli 2017. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Revisi perhitungan kebutuhan modal minimum bank bertujuan melengkapi pedoman dalam dokumen Basel III sebelumnya

Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi perhitungan modal minimum bank untuk risiko pasar. Hal ini ditetapkan melalui kesepakatan para pimpinan otoritas pengawas sektor jasa keuangan yang tergabung dalam 'The Basel Committee on Banking Supervision'.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan dalam pertemuan rutin yang dihadiri oleh Pimpinan Otoritas Pengawas Sektor Jasa Keuangan dari 28 negara tersebut, pihaknya merevisi pendekatan perhitungan kebutuhan modal minimum untuk risiko pasar yang bertujuan untuk memitigasi ketidaksempurnaan pada pendekatan sebelumnya.

Penyempurnaan tersebut antara lain menetapkan batasan yang lebih jelas antara trading book dan banking book serta pendekatan perhitungan yang lebih risk-sensitive.

“Perubahan ini melengkapi sejumlah pedoman dalam dokumen Basel III sebelumnya yang telah diterbitkan pada Desember 2017 khususnya terkait dengan Pilar 1 sebagai respons atas terjadinya Global Financial Crisis,” ujar dia melalui keterangan tertulis yang diterima Bareksa, Selasa (15/1).

Kerangka perhitungan risiko pasar yang telah direvisi tersebut memiliki tiga pendekatan yang dapat digunakan oleh bank, yaitu internal model approach (IMA), standardised approach (SA), dan simplified standardised approach (SSA).

“Namun demikian untuk kecukupan perhitungan modal minimum (KPMM) risiko pasar, perbankan di Indonesia hanya diwajibkan untuk menggunakan SA dan SSA yang lebih hati-hati dan relevan sedangkan IMA hanya diperbolehkan untuk keperluan proses risk management di internal bank,” kata Wimboh.

Berdasarkan hasil simulasi di Indonesia, dampak penerapan SSA ini tidak terlalu besar karena eksposur risiko pasar di Indonesia relatif kecil yang didominasi oleh risiko nilai tukar dan suku bunga.

Pertemuan GHOS kali ini juga menyepakati program kerja dan prioritas strategis BCBS selama tahun 2019, termasuk rencana regulatory consistency assessment program (RCAP) untuk aspek net stable funding ratio (NSFR) yang telah diterapkan di Indonesia sejak Juli 2017 dan large exposures (LEX) di Indonesia yang baru diterbitkan pada akhir Desember 2018 untuk diterapkan pada 1 Juni 2019.

Wimboh menambahkan bahwa Indonesia senantiasa berkomitmen untuk mengawal penerapan Basel III di Indonesia dengan tetap memperhatikan karakteristik dan kepentingan perbankan nasional (best fit untuk Indonesia). Pada 2016 Indonesia telah dilakukan regulatory consistency assessment programme (RCAP) dengan mendapatkan peringkat compliant (C) untuk RCAP LCR (liquidity coverage ratio) dan largely compliant (LC) untuk RCAP Capital.

(AM)