OJK Sebut Fintech Bisa Atasi Masalah Keuangan Syariah

Bareksa • 12 Oct 2018

an image
Seminar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fintech Talk “Utilizing Fintech as a Platform for Platform for Enhancing SMEs and Islamic Financing” di Bali, Jumat (12/10). (doc OJK)

Berdasarkan Fintech Report 2017, terdapat 196 fintech rintisan di Indonesia dengan total investasi US$176,75 juta

Bareksa.com – Penetrasi yang tinggi dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap keuangan, membuat financial technology (fintech) bisa berkembang mengikuti lembaga jasa keuangan lainnya.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan mendorong penggunaan fintech sebagai “platform” inklusi keuangan dalam meningkatkan akses pendanaan bagi segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan Keuangan Syariah dengan tetap memitigasi risiko guna mengedepankan perlindungan konsumen.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyampaikan dengan rendahnya penetrasi keuangan syariah di Indonesia, fintech juga dapat digunakan sebagai alat untuk memperluas cakupan keuangan syariah dan pencapaian untuk mewujudkan tujuan keuangan syariah.

“Dengan layanan dan produknya yang lebih mudah, fintech dapat mendorong industri keuangan Islam maju dan mengatasi masalah yang telah menghambat pertumbuhan keuangan syariah,” katanya saat membuka seminar OJK Fintech Talk “Utilizing Fintech as a Platform for Platform for Enhancing SMEs and Islamic Financing” di Bali, Jumat, 12 Oktober 2018.

Untuk mendukung pengembangan fintech, OJK sudah mengeluarkan berbagai ketentuan pengaturan dan pengawasan dengan tetap mengedepankan perlindungan konsumen dan menjaga stabilitas keuangan.

OJK juga telah mendirikan Fintech Center yang dinamakan OJK infinity (Innovation center for digital financial technology). Fintech Center ini bertujuan untuk menjadi ekosistem untuk tempat berdiskusi antarpelaku dan regulator serta stakeholders. Fintech Center juga merupakan tempat untuk melakukan 'regulatory sandbox' dan pusat keilmuan fintech.

Berdasarkan Fintech Report 2017, terdapat kurang lebih 196 Fintech rintisan di Indonesia dengan total investasi mencapai US$176,75 juta dan produk serta bisnis model yang baru.

Hal yang sama terlihat dalam perkembangan model fintech peer to peer lending di Indonesia yang sampai Agustus 2018 mencapai 70 perusahaan dengan akumulasi nilai pinjaman Rp11,68 triliun, tumbuh 355,73 persen (ytd). Jumlah rekening pemberi pinjaman sebanyak 150.061 entitas atau tumbuh 48,66 persen (ytd) dan rekening peminjam mencapai 1.846.273 entitas atau tumbuh 611,10 persen (ytd).

Segmen UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian negara berkembang karena mencakup 60 persen dari lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi hingga 40 persen dari PDB. Di Indonesia, berdasarkan data 2016, 99 persen perusahaan terkategorikan UMKM, mencakup 89 persen dari lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi 57 persen terhadap PDB negara.

Gambaran ini menunjukkan potensi dari segmen tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum, segmen UMKM dikategorikan sebagai unbankable karena keterbatasan akan jaminan, sehingga akses terhadap pendanaan merupakan kendala utama bagi pertumbuhan ke depan.

Keuangan syariah merupakan salah satu cara pendaanan alternatif yang semakin menarik perhatian dalam menjawab financing gap tersebut karena mengedepankan standar etika dan sosial yang bersifat tanggung renteng dimana manfaat dan resiko dapat dibagi secara proposional di antara pihak terkait dalam transaksi pendanaannya.

Indonesia telah memiliki beberapa catatan pencapaian dalam keuangan syariah dimana Indonesia merupakan negara pertama yang menerbitkan Sukuk Retail dan mendirikan lembaga pendanaan mikro Baitul Maal Wat Tamwil. Walaupun demikian, perkembangan keuangan syariah di Indonesia yang merupakan salah satu dari 10 negara dengan potensi ekonomi Islam terbesar, belum terasa optimal.

(AM)